Tanya. Selidik. Bertian kini kah laki-laki? Menunduk. Merintih. Berkacak namun mengaduh. Muka pucat pasi pun sakit mencekik.
Â
Laki-laki bersorban duduk di tengah lingkaran. Para kepala pasukan seratus duduk mengelilinginya. Jauh dari tempat perkumpulan itu, para prajurit menggali lobang dan menguburkan rekan-rekan mereka yang gugur. Sementara para prajurit yang terluka dirawat lobang-lobang perlindungan.
"Kita berhasil merebut Mata hari ini. Kemenangan luar biasa. Betapa aku, atas nama rakyat, berterima kasih dan bangga pada capaian kalian. Para prajurit yang gugur hari ini. 39 orang. Mereka yang hilang 8 orang. Semua mereka. Sejatinya adalah pahlawan untuk masa depan anak-anak kita."suara laki-laki bersorban berat dan berwibawa.
"Kita tidak menyangka bisa merebut Mata dalam serangan hari ini."seorang kepala pasukan tersenyum.
"Kekuatan utama mereka ada pada kamera pengawas. Keberhasilan penembak SO menjatuhkan menara merupakan kunci perang hari ini."Lelaki bersorban memberi respons.
"Apakah kita akan mengganti taktik besok hari?" tanya yang lain.
"Pasti. Hasil hari ini akan menggeser taktik hari selanjutnya."
"Logistik kita hanya cukup untuk dua hari lagi." Kepala pasukan yang lain menyela.
"Baik. Semula kita merancang perebutan jembatan dalam tiga hari pertempuran. Ternyata kita berhasil di hari pertama. Aku berencana menyerang kota besok hari." Lelaki bersorban bersemangat.
"Setuju!" jawab para kepala pasukan serentak.
"Guruh. Silahkan kamu bicara,"Lelaki bersorban memberi kesempatan.
Guruh dan Suami Menik berdiri. Berjalan mendekat ke tempat lelaki bersorban duduk. Kemudian keduanya duduk di sisi kiri sang Jenderal.
"Kita tidak mungkin memasuki kota," Guruh membuka paparannya.
Semua mata tertuju pada Guruh.
"Itu bukan kota seperti yang kita ketahui. Itu kota virtual. Hanya mereka yang memiliki identitas digital yang dapat memasukinya. Aku sudah tiba di sana. Tetapi aku sendiri tidak yakin. Karena kota dengan bangunan dan kehidupan hanya ada di downtown. Aku tidak menemukan kota di bagian tengah dan atas." Suara Guruh pelan.
"Jika yang bisa memasuki kota hanyalah pemilik identitas digital, bagaimana kamu mencapai bagian tengah dan atas kota?" seorang komandan pasukan seratus bertanya.
"Seseorang mengantarku dan prajurit penyertaku ke bagian tengah dan atas kota." Guruh menjawab.
"Kamu diantar? Kemudian dilepaskan begitu saja? Apakah kami bisa mempecayaimu?"
Guruh diam.
Keraguan yang sama sudah diungkapkan prajurit penyertanya tadi saat mereka dilepaskan Rahab di ujung batas kota. Mungkinkah Rahab dapat ia percayai? Apakah semua yang ia lihat dapat ia yakini sebagai benar?
"Jika covermu sudah terbuka. Jika kamu sudah terlacak. Maka kamu pasti ditahan mereka. Disiksa. Dipaksa menjadi bagian dari mereka. Bukankah aneh bahwa kamu dibiarkan memasuki kota mereka dan diijinkan kembali kepada pasukan?"
"Aku setuju denganmu, kawan. Adalah aneh jika penyusup dibiarkan kembali dengan selamat setelah samarannya diketahui. Sekarang aku mengijinkanmu, atau siapa saja di sini maju. Geledah aku. Juga semua orang yang berangkat bersamaku. Geledah juga semua peralatan bawaan kami. Siapa tahu kami memang sengaja dibebaskan agar pergerakan pasukan dapat dipantau. Sehingga orang kota dapat memusnahkan kita." Guruh menantang.
Semua yang hadir setuju. Kemudian Guruh bersama Suami Menik dan dua prajurit yang bersama mereka digeladah. Tetapi para kepala pasukan tidak menemukan satu pun indikasi pelacakan maupun penyadapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H