“Tetap bergerak. Jaga agar senapan dan peralatan komunikasi tidak terendam air. Tetap dekat dengan semak-semak untuk menghindari pelacakan drone. Lalu tunggu hingga aku memberi aba-aba.”
Ketika matahari semakin mendekati horizon sore, orang-orang goa telah mencapai kedua sisi jembatan dari jarak dekat. Pasukan kota tidak mampu menghadapi gempuran demi gempuran.
Sirene sore terdengar dari pusat kota. Memanggil pulang pasukan yang bertempur. Para prajurit kota melompati kendaraan tempur mereka. Sementara prajurit yang tewas ditinggalkan. Merekat yang terluka dievakuasi segera.
Kendaraan-kendaraan perang beroda besar membawa kembali pasukan yang porak poranda dan kehilangan semangat. Dua kendaraan lapis baja yang kini ada dalam kondisi rusak mengikuti rombongan kembali ke kota.
Pasukan kota kehilangan titik strategis mereka. Jembatan Mata jatuh ke tangan orang-orang goa. Ratusan prajurit goa yang mengepung jembatan itu kini berlari naik ke atasnya. Mereka bersorak dan menari.
“Manusiaaaaaaaaaaaa……………” Pekik seorang prajurit penyerang.
“Manusiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,” sambut ratusan prajurit diikuti tembakan ke angkasa sebagai rayaan kegembiraan.
Guruh menoleh ke arah penyertanya dan memberi tanda. Aman. Dia dan prajurit yang bersamanya naik dari rawa. Mereka bergabung dengan para prajurit lain di atas jembatan. Di antara kerumunan orang, keduanya menemukan Suami Menik dan prajurit penyertanya.
“Kita berhasil.” Suami Menik memeluk adik iparnya.
“Apa yang Mas peroleh di Boas?” Guruh tertawa senang.
“Aku ceritakan nanti.” Suami Menik berbicara dekat telinga Guruh karena riuh suara orang di jembatan.”