Amis bau tubuhmu bercampur kengerian. Â Lelehkan bahaduri di bawah kilau dasa mahkota. Lautkah yang memahat aksara penuh hujat pada tujuh kepalamu? Â Suah ditutur. Kaki manusia berlari pada pesona yang entah bermula dari mana.
"Aku minta maaf," Menik mengambil tempat duduk di sisi Guruh.
 Langit malam tampak cerah dari teras rumah. Kartika bersinar dalam redup. Menuntun perjalanan purnama yang tidak lagi sempurna tertatih menuju fajar.
 "Maaf untuk apa, Mbak?", Guruh meletakan laptop yang dipangkunya ke meja kecil yang memisahkannya dengan pot Monstera Obliqua.
Â
Â
"Mbak gak enak aja. Perbincangan kita sejak pagi hingga petang tadi mungkin menyinggung perasaanmu," Menik memandang Guruh serius.
Guruh tersenyum. "Tidak, Mbak. Aku rapopo."
Menik tersenyum gembira. Setidaknya ia bisa tidur nyenyak malam ini. Tidak ada masalah antara dirinya dengan Guruh. Memiliki seorang kakak laki-laki dan seorang adik laki-laki tidak pernah mudah. Apalagi jika keduanya tidak pernah sejalan.
Dalam keseharian, senyatanya Menik bertindak laksana dirigen yang menjaga irama keluarga. Menekan Guruh dan ibunya agar tidak selalu menggebu-gebu dalam semangat. Sambil menantang kakaknya Andra dan bapaknya yang cenderung diam menghadapi banyak hal.
Jika mengikuti Weton mestinya ia diruwat. Dirinya masuk dalam kelompok Wong Sukert pada pola sendang kapit pancuran. Anak perempuan berada di tengah dua anak laki-laki. Kelak jika bertemu perempuan yang sudah diruwat ia ingin bertanya. Apakah peran dirigen yang dijalaninya bagian dari sukerta.
Kalau teman-teman di tempatnya bekerja justru berpandangan terbalik. Punya mobil baru dibilang rejeki sendang kapit pancuran. Bisnis berkembang dikomentari nasib baik sendang kapit pancuran. Padahal, semua diperoleh atas kerja keras suaminya. Terutama karena doa dan puasa.
"Aku hanya memikirkan hari esokmu, Dik."Menik berempati.
"Makasih, Mbak. Aku tidak apa-apa, kok."
"Benarkah apa yang kamu katakan tadi sore?"
"Uang digital?"Guruh menatap kakak perempuannya.
"Iya."
"Hahahaha....Mbak ini aneh." Guruh mengesah.
"Aku butuh jawabanmu sekali lagi."
"Mbak tidak usah percaya apa yang aku katakan. Uji apa yang aku katakan."
"Sebagian sudah aku lakukan."
"Kesimpulannya?"
"Kamu mungkin benar."
"Mungkin benar," Guruh mengulangi kata-kata Menik.
"Sebagian informasimu palsu."
"Kata fact checker."
Menik memandang adiknya. Guruh tahu apa yang dipikirkan kakaknya. Ia meraih laptopnya dari atas meja dan menyerahkannya kepada Menik.
"Semua file ada di direktori D. Buka. Baca. Nonton videonya."
"Untuk apa?"
"Untuk menguji. Apakah informasiku benar atau fact checker yang benar."
"Baik. Akan aku lihat nanti."
"Oke. Kembali ke pertanyaan Mbak. Uang digital itu agenda lama. Bacalah situs resmi bank kita. Arsiteknya direncanakan dua tahun dari hari ini."
"Kamu yakin?"
"Bukan aku yakin. Bank sentral kita sudah menyiapkan platformnya."
"Jadi kamu tidak berpartisipasi di pasar?"
"Tidak bisa. Aku tidak bisa membeli apapun. Tidak juga bisa menjual apa pun"
"Kenapa?"
"Karena satu-satunya uang adalah uang digital itu. Bank sentral yang mengeluarkannya. Mendistribusikannya. Juga mengatur siapa pemegangnya. Hanya mereka yang memiliki identitas digital yang dapat memilikinya"
"Yang tidak punya?"
"Akan terbuang dari sistem."
"Jadi akan ada dua masyarakat?"
"Dua dunia, Mbak."
Menik terdiam. Tidak pernah dibayangkannya ia akan digiring masuk dalam logika Guruh. Logika yang menempatkannya pada posisi orang aneh. Jika bukan teknofobia.
"Mbak tidak perlu percaya apa yang aku ucapkan. Lakukan saja pengecekan ulang informasi. Silahkan dilihat filenya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H