Mohon tunggu...
Rooy John
Rooy John Mohon Tunggu... Administrasi - Cuma Orang Biasa

God gave me a pair of wings Love and Knowledge With both, I would fly back home to Him

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Muara (5)

11 April 2022   00:05 Diperbarui: 11 April 2022   00:38 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Di sini akhir aliran sungai. Saat air tawar dan air laut bertemu. Di sini akhir masa. Saat yang lampau dan yang kemudian bertemu. Bercampur. Serasa payau. Setengah tawar, setengah asin. Meski begitu, keduanya berbeda. Berbeda lingkungan. Berbeda pohon. Berbeda hewan. Tak ada yang perlu disesali.

“Kondisinya baik. Tidak ada gejala geger otak. Tidak ada juga gejala patah tulang. Memar di kepala nanti dikompres saja secara bertahap.”

“Pakai obat kompres, Dok?”

“Gak usah. Pakai es batu juga cukup.”

Suara orang berbincang terdengar sayup-sayup di telinga Bu Sri. Tetapi ia masih terus berjuang mengangkat kakinya dari antara lumpur agar bisa terus berlari dalam hutan bakau yang belum terlihat ujungnya.

“Kakak, bantu Ibu mengandeng tangan Mbah Putri, “suami Menik memberi perintah kepada anak sulungnya. Ia sendiri masih menggandeng tangan Guru Bisma. Membantu mertuanya berjuang melawan ketakutan dan kepiluan.

Di belakang mereka terlihat tujuh, delapan atau sembilan rombongan lain yang berlari. Sementara suara letusan senapan bersahut sahutan dari tepian muara. Beberapa orang laki-laki yang berhasil menyusul keluarga Guru Bisma memberi semangat. “Kuat! Kuat! Jangan menyerah!”

“Seberapa jauh kita mencapai jalan di ujung delta?,”suami Menik bertanya kepada seorang laki laki bersorban.

“Tidak lebih dari dari lima ratus meter,”jawab laki-laki itu sambil berlari.

“Baik. Tetap aktifkan radio,” suami Menik berteriak ketika jarak laki-laki itu makin jauh di depan keluarga Guru Bisma.

Satu tahun setelah World Government Summit dengan tema “Are you ready for The New World Order?” digelar di sebuah negara kaya di jasirah, segala hal berubah. Sebuah pemerintahan tunggal dunia dengan visi menegakan hukum yang adil untuk semua dipromosikan secara luas. Pemerintahan tunggal yang dimotori oleh perserikatan bangsa-bangsa. Pemerintahan yang tidak hanya menjaga manusia dari ancaman perang, tetapi juga memberi layanan kesehatan, komunikasi, transportasi, perdagangan, dan semua layanan pemerintah maupun swasta. Pemerintahan yang mampu mengubah konstitusi semua negara untuk alasan kepentingan global. Pemerintahan yang mengakhiri konflik dan mempromosikan kerjasama antar pemeluk kepercayaan.

Bagi mereka yang menolak tunduk pada agenda new world order, dalam semua bentuk virtual dan sistemnya, mereka kini dicap kelompok “teroris” dan “pemberontak” dalam segala makna dan ruang. Mereka diburu pemerintah. Mereka tidak dapat mengakses internet. Semua akses mereka ke layanan kesehatan juga tertutup. Mereka berubah menjadi masyarakat primitif. Hampir dalam semua arti.

“Dooorrr!! Dooor!!!Dooooorrr!! Tiga kali letupan senapan terdengar dari arah depan hutan bakau. Suami Menik memberi aba-aba agar semua anggota keluarga merunduk. Ia menuntun ayah mertuanya ke balik pohon bakau besar dan meminta putri bungsunya berlindung bersama kakeknya. Ia berjalan ke arah istri dan anak sulungnya dan menuntun mereka ke tempat di mana ayah mertuanya berlindung. “Tunggu di sini. Jangan ke manapun untuk alasan apapun,” Ia memberi instruksi kepada Menik. Menik mengangguk mantap.

Para laki-laki yang semula sudah berjalan mendahului rombongan keluarga Guru Bisma kini berlari kembali ke arah depan hutan bakau. Segera baku tembak terjadi antara para pelarian yang bertahan di muara sungai dengan para pengejar yang bergerak dari arah pantai. Bunyi senapan bersahut sahutan dan bau mesiu terbang memenuhi udara. Perang yang entah kapan akan berakhir.

Bu Sri hanya bisa menitikan air mata. Ia memandang wajah suami, anak perempuannya serta kedua cucunya. Wajah yang tampak sayu dan takut. Wajah yang berubah kotor oleh debu, lumpur dan sengatan matahari. Ia ingin mengatakan sesuatu kepada Guru Bisma, tetapi keinginannya seperti tersangkut di kerongkongan dan menolak melompat keluar.

Ketika hari berubah gelap, suara tembakan perlahan mulai berkurang. Beberapa saat kemudian baku tembak benar-benar berakhir. Para laki laki terlihat mulai berjalan menuntun keluarga mereka menyusuri hutan bakau. Kaki Bu Sri benar-benar telah kaku oleh dinginnya air muara setelah berdiri bersembunyi di balik pohon bakau selama beberapa jam.

Suami Menik tiba beberapa menit kemudian. Tidak sendiri. Bersama seorang laki-laki. Laki-laki yang tersenyum manis di depan Bu Sri. Tidak sanggup lagi menahan haru, Bu Sri menabrak badan laki-laki itu dan menumpahkan tangisnya.

“Guruh, Kamu dari mana, Le?.”isak Bu Sri memeluk lelaki muda yang tidak lain putra bungsunya.

“Ayo, Bu. Aku gendong. Ibu pasti tidak kuat lagi berjalan,” ajak Guruh tanpa menjawab pertanyaan ibunya.

Hari berubah gelap ketika semua orang yang melewati hutan bakau tiba di ujung delta. Mereka bertemu dengan kumpulan orang lain yang berjalan di tepi dalam muara. Jalan tanah yang menghubungkan delta dengan akses menuju hulu sungai kini penuh sesak dengan ribuan manusia. Tetapi kegelapan tidak menyurutkan semangat mereka. Setelah pertempuran yang berlangsung setengah hari, mereka tidak juga menyerah oleh malam.

“Kita beristirahat dulu di sini,” suami Menik memberi arahan ketika mereka sudah berjalan sejam lamanya.”

Guruh menurunkan Bu Sri dari punggungnya dan membaringkannya di padang rumput. Perlahan. Dari rumput tempatnya berbaring Bu Sri kini dapat menatap bulan yang bersinar terang ditemani ribuan bintang.

Guruh memegang erat tangan ibunya. “Bagaimana keadan ibu?”

Bu Sri tidak dapat menjawab pertanyaan putra bungsunya. Air matanya menetes membasahi kedua pipinya.

Kisah sebelumnya:

https://www.kompasiana.com/rooy60254/624ededbbb44864bb760fdc2/muara-4

https://www.kompasiana.com/rooy60254/624eb294c6682678e2271722/muara-3?page=4&page_images=1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun