Bu Sri hanya bisa menitikan air mata. Ia memandang wajah suami, anak perempuannya serta kedua cucunya. Wajah yang tampak sayu dan takut. Wajah yang berubah kotor oleh debu, lumpur dan sengatan matahari. Ia ingin mengatakan sesuatu kepada Guru Bisma, tetapi keinginannya seperti tersangkut di kerongkongan dan menolak melompat keluar.
Ketika hari berubah gelap, suara tembakan perlahan mulai berkurang. Beberapa saat kemudian baku tembak benar-benar berakhir. Para laki laki terlihat mulai berjalan menuntun keluarga mereka menyusuri hutan bakau. Kaki Bu Sri benar-benar telah kaku oleh dinginnya air muara setelah berdiri bersembunyi di balik pohon bakau selama beberapa jam.
Suami Menik tiba beberapa menit kemudian. Tidak sendiri. Bersama seorang laki-laki. Laki-laki yang tersenyum manis di depan Bu Sri. Tidak sanggup lagi menahan haru, Bu Sri menabrak badan laki-laki itu dan menumpahkan tangisnya.
“Guruh, Kamu dari mana, Le?.”isak Bu Sri memeluk lelaki muda yang tidak lain putra bungsunya.
“Ayo, Bu. Aku gendong. Ibu pasti tidak kuat lagi berjalan,” ajak Guruh tanpa menjawab pertanyaan ibunya.
Hari berubah gelap ketika semua orang yang melewati hutan bakau tiba di ujung delta. Mereka bertemu dengan kumpulan orang lain yang berjalan di tepi dalam muara. Jalan tanah yang menghubungkan delta dengan akses menuju hulu sungai kini penuh sesak dengan ribuan manusia. Tetapi kegelapan tidak menyurutkan semangat mereka. Setelah pertempuran yang berlangsung setengah hari, mereka tidak juga menyerah oleh malam.
“Kita beristirahat dulu di sini,” suami Menik memberi arahan ketika mereka sudah berjalan sejam lamanya.”
Guruh menurunkan Bu Sri dari punggungnya dan membaringkannya di padang rumput. Perlahan. Dari rumput tempatnya berbaring Bu Sri kini dapat menatap bulan yang bersinar terang ditemani ribuan bintang.
Guruh memegang erat tangan ibunya. “Bagaimana keadan ibu?”
Bu Sri tidak dapat menjawab pertanyaan putra bungsunya. Air matanya menetes membasahi kedua pipinya.
Kisah sebelumnya: