“Itu cuma mimpi, Bu,” Guru Bisma tersenyum sambil mengenakan helm.
“Itu tampak sangat nyata,Pak. Itu mengerikan. Tidak hanya itu. Kita ada bersama-sama dengan orang-orang beringas itu,” wajah Bu Sri tampak muram.
“Lupakan. Maafkan. Kasihi,” Guru Bisma menyemangati istrinya. Bu Sri mengangguk setuju.
“Jangan lupa meminta izin kepala sekolah untuk pulang lebih awal,”Bu Sri mengingatkan suaminya saat ia sudah menarik sedikit gas dan motor perlahan bergerak.
“Baik, Bu. Aku jalan dulu,” Guru Bisma menjawab sambil bergerak keluar pekarangan rumahnya.
***********
“Ibu…….Ibu……ke sini”, suara seseorang yang sangat dikenal memanggil Bu Sri. Perempuan paruh baya itu berpaling ke segala arah mencari di mana sumber suara. Hiruk pikuk orang yang berkumpul di muara memperlambat Bu Sri mengidentifikasi sumber suara.
“Ibu……kami di sini,”Menik melambai memanggil ibunya dari balik pepohonan bakau. Bu Sri menarik tangan Guru Bisma dan mengajaknya berlari ke sana. Komunikasi antara pasangan suami istri itu tenggelam oleh suara pekikan massa, bunyi tembakan dan sirene.
“Ayo, Bu. Masuk ke sini. Kita harus berlari kembali ke hulu sungai, “Menik memeluk ibunya saat Bu Sri dan Guru Bisma menemui anak perempuan mereka di hutan bakau. Suami Menik dan kedua anaknya memegang tangan Guru Bisma sambil bergegas di depan.
“Ini jalan paling aman bagi kita untuk kembali. Hutan bakau ini memungkinkan kita berjalan melewati delta sungai dan kembali ke jalan dari mana kita datang. Kembali melalui tepi muara besar risikonya. Ayo, Bu. Kita pasti keluar dari sini,” Menik memeluk bahu ibunya sambil terus menyemangatinya.”
Di sini akhir aliran sungai. Saat air tawar dan air laut bertemu. Di sini akhir masa. Saat yang lampau dan yang kemudian bertemu. Bercampur. Serasa payau. Setengah tawar, setengah asin. Meski begitu, keduanya berbeda. Berbeda lingkungan. Berbeda pohon. Berbeda hewan. Tak ada yang perlu disesali.