Di sini akhir aliran sungai. Saat air tawar dan air laut bertemu. Di sini akhir masa. Saat yang lampau dan yang kemudian bertemu. Bercampur. Serasa payau. Setengah tawar, setengah asin. Meski begitu, keduanya berbeda. Berbeda lingkungan. Berbeda pohon. Berbeda hewan. Tak ada yang perlu disesali.
“Kita menjenguk Menik segera, Pak. Pesan saja tiket bus untuk keberangkatan sore hari ini,” Bu Sri memberi saran kepada Guru Bisma saat ini meletakan telepon genggamnya.”
“Pesan tiketnya lewat aplikasi saja ya, Bu. Hari ini anak-anak kelas tiga berencana untuk latihan soal matematika. Aku tidak bisa meninggalkan mereka,” jawab Guru Bisma sambil meletakan piring makannya di tempat cucian piring.
Guru Bisma memeriksa lagi tas kerjanya. Memastikan semua peralatan yang dibutuhkannya untuk mengajar hari ini telah lengkap terbawa. Kemudian ia meraih helm dan jaket yang diletakannya di ujung meja makan.
Guru Bisma bergerak menuju teras rumah disusul istrinya berjalan di belakang. Ini keseharaian biasa. Sarapan pagi. Memeriksa peralatan. Memakai sepatu di teras rumah. Menyalakan sepeda motor. Berangkat mengajar. Pulang sore hari. Disambut sang istri. Membersihkan diri. Makan malam. Memeriksa pekerjaan para murid dan mempersiapkan bahan ajar esok hari. Berbincang di ruang keluarga. Beristirahat malam.
Berulang setiap hari. Tidak ada yang baru di bawah matahari.
“Aku berangkat dulu ya, Bu. Tenangkanlah pikiran. Lupakan. Maafkan. Kasihi. Tiga hal sederhana untuk situasi sulit saat hubungan kita dengan sesama merenggang oleh persoalan,” Guru Bisma menghibur istrinya saat ia berdiri di samping sepeda motor.
“Kita ada di muara sungai saat senja. Langit tampak merah. Bukan semata karena matahari yang bersiap terbenam. Warna merah itu juga berasal dari kota dan perkampungan yang terbakar,” Bu Sri berdiri di ambang pintu sambil melanjutkan kisah mimpinya.
“Terbakar?,” Guru Bisma menatap istrinya.
“Perang terjadi antara orang-orang yang berlari menyusuri sungai dengan orang-orang yang naik dari pantai. Perang yang aneh. Orang-orang yang ada di tepi sungai membawa panah, tombak, parang, juga senapan. Orang-orang pantai membawa senapan, laser, dan robot pelacak,”Bu Sri menuturkan mimpinya.
“Mimpi yang aneh,” ujar Guru Bisma.
“Setiap rumah, kampung dan kota yang dilalui mereka yang kini berkumpul di muara, dibakarnya. Mereka menjarah makanan, pakaian, juga perhiasan dari tempat yang dibakar itu. Semakin mereka dikejar orang-orang pantai, semakin jauh mereka berlari dan semakin banyak tempat yang dibakar. Jingga langit senja berubah merah darah perusakan. Mereka benar-benar beringas,”Bu Sri menarik nafas panjang.