Kredit sosial Cina bukan persoalan ekonomi tunggal. Â Dibelakang praktek kebijakan itu berdiri idiologi dan konsepsi sosial. Confusius (551-479SM) misalnya menyokong ide hubungan antara karakter baik manusia dengan fungsi masyarakat sebagai keseluruhan.Â
Kemudian Mosi (470-391SM) berpendapat bahwa kepedulian antar sesama manusia adalah kunci dari hadirnya masyarakat yang tidak memihak atas perlakuan.
Bagi sebuah masyarakat yang cenderung homogen seperti Cina, kebijakan tunggal dan sentralistik merupakan pilihan tepat selama bertujuan menciptakan kesejahteraan. Tetapi bagi masyarakat di luar Cina, sistem semacam ini dipandang pengekangan atas hakikat manusia. Orang-orang Eropa dan Amerika memandang sistem ini hanya tepat untuk model negara totalitarian marxisme komunisme. Namun untuk negara demokrasi, sistem kredit sosial dengan skor perilaku bukan saja terkesan berlebihan. tetapi juga absurd.
Bagi orang Indonesia sendiri yang memiliki beragam suku, bahasa dan budaya, sistem rangking perilaku merupakan penafikan atas keragaman.Â
Orang mengkonsumsi minuman keras di ruang publik dapat menjadi hal yang mengganggu ketertiban pada satu daerah, namun di daerah lain, perkumpulan kaum laki-laki yang yang mengkonsumsi minuman keras - sepanjang tidak menimbulkan tindak kriminalitas - adalah perkumpulan yang erat kohesi sosialnya. Karena itu, kritik sekaligus penderitaan yang selalu dirasakan pemerintah ada dalam ungkapan "kebijakan tidak harus sama untuk semua daerah".
Kebijakan kredit sosial di Indonesia nampaknya akan dihadapkan dengan kendala budaya yang luas. Belum lagi jika diingat bahwa sistem semacam itu membutuhkan investasi luar biasa di bidang data guna mewujudkan satu data nasional. Â
Pemerintah Cina secara serius membangun sistem informasi dan teknologi guna menjamin kelangsungan sistem kredit sosial. Selain memasang begitu banyak kamera pengawas, pemerintah mengembangkan manajemen pengawasan yang memungkinkan laporan kepatuhan setiap orang dan perusahan diketahui publik secara luas dan saat itu juga.Â
Rogier Creemers (2018) melukiskan keseriusan Cina membangun teknologi informasi dengan mengangkat kasus Tibet dan Xinjiang. Pemerintah Cina mengembangkan sistem peradilan elektronik di dua daerah itu guna menjamin efektivitas proses pencarian keadilan. IHSmarkit melaporkan bahwa 54 persen dari seluruh kamera CCTV di dunia ada di Cina.Â
Jumlah itu setara dengan 415,8 juta kamera. Penempatan kamera ini memungkinkan pemerintah menerbitkan skor kepatuhan secara valid dan real time. Belakangan, pemerintah juga tertarik pada isu big data dan AI. Kedua hal yang disebutkan terakhir ini nampaknya akan sanggup mengakhiri kritik barat atas Cina.
Di Cina, data kepatuhan yang dipublikasi pemerintah itu dapat meliputi : (a) apakah seseorang atau korporasi membayar pajak tepat waktu? (b) apakah sector swasta menjaga kelanjutan izinnya? (c) apakah sector swasta menyediakan standar kualitas produk?
Jika orang atau badan usaha tidak mampu memenuhi standar kepatuhan itu maka sanksi yang diberikan kepada mereka dapat berupa (a) larangan bepergian, (b) larangan sekolah, dan (c) bertambahnya level audit pada perusahan.