Menuju Pemilu 2024, rasa-rasanya kita sudah mulai merasakan kembali ingatan-ingatan akan persoalan pemilu pada tahun-tahun sebelumnya. Mengenai persoalan-persoalan dalam dalam pemilu, penulis menemukan beberapa persoalan yang kerap kali masih terjadi, seperti:Â
- Black Campaign atau kampanye hitam.
Perlu diketahui bahwa sejatinya bahwa kampanye merupakan suatu alat untuk menyebarkan informasi dan meningkatkan kesadaran, kepedulian serta perubahan dari target audiens yang dijumpainya. Kampanye ini dalam proses pemilu tentu sudah diatur waktunya. Definisi kampanye sendiri jika mengacu pada UU Nomor 7 Tahun 2017 adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilih.
Dalam Pasal 275 Bagian ketiga, metode kampanye dapat dilakukan dengan pertemuan terbatas; pertemuan tatap muka; penyebaran bahan kampanye pemilu kepada umum; pemasangan alat peraga di tempat umum; media sosial; iklan media massa cetak elektronik, dan internet; rapat umum; debat pasangan calon tentang materi kampanye pasangan calon; dan kegiatan lain yang melanggar larangan kampanye pemilu dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan seiring berjalannya waktu yang juga diiringi dengan berkembangnya teknologi, maka saat ini proses kampanye juga ikut menyesuaikan perkembangan tersebut. Kampanye saat ini bisa dilakukan secara digital, bisa melalui TV, handphone, dan media sosial. Yang menjadi persoalan setiap kali menjelang pemilu adalah black campaign. Suatu kampanye terselubung untuk membunuh karakter seseorang yang menjadi rival politiknya. Informasi yang keluar di dalamnya berisikan fitnah, hoaks, dan segala tuduhan yang tanpa didasarkan pada bukti. Tentu dampak dari adanya black campaign ini sangatlah buruk bagi proses pendidikan terhadap masyarakat, karena ini menyangkut dengan cara-cara yang dilakukan dianggap sebagai suatu yang lazim untuk mendapatkan sesuatu meski dilalui dengan proses yang salah. Dampak lain dari adanya black campaign ini juga pada kemungkinan mengkerucutnya konflik antar calon dan tim dari setiap calon serta para pendukung-pendukungnya.
Saat ini problem yang cukup sering hadir dalam pemilu ataupun Pilkada adalah adanya politisasi agama. Politisasi agama saat ini sudah dijadikan sebagai black campaign untuk melakukan manipulasi pemahaman mengenai suatu kepercayaan atau agama yang dianut yang diselubungi oleh kepentingan suatu agenda politik. Menurut penulis, untuk mengatasi praktik black campaign adalah dengan mencermati dengan detail informasi yang didapat dari media-media yang mempublikasikan berita seputar pemilu, peserta pemilu, proses pemilu dan lainnya yang berkaitan dengan pemilu. Selain media yang harus kita cermati, kita juga perlu menganalisa siapa penulisnya. Selanjutnya adalah berita serupa yang ditulis oleh rival politiknya dalam pemilu, dan yang terakhir adalah jangan sampai kita ikut menyebarkan rumor yang belum jelas.
-Netralitas ASN dalam Pemilu
Kasus terbaru yang hadir di Kabupaten Banyumas beberapa waktu lalu, Jawa Tengah di mana seorang ASN yang menjabat sebagai kepala sekolah di salah satu Sekolah Dasar (SD) melakukan suatu pelanggaran yang terkait dengan "Netralitas Pemilu". Oknum ASN ini diduga aktif mengajak masyarakat untuk mendukung kepada salah satu bakal calon DPD RI yang berasal dari Jawa Tengah dan bahkan oknum tersebut juga mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik dari guru-guru sekolahnya terutama guru-guru honorer beserta istrinya.
Perilaku oknum ini tentu menyalahi Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, pada bagian ketiga mengenai larangan tepatnya pada Pasal 5 huruf n yang menyatakan "memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara: ikut kampanye; dst...".
Dengan adanya perilaku ini, tentu sudah seharusnya oknum ini untuk diberikan sanksi sesuai aturan yang ada. Dan untuk ke depannya, untuk menghindari kejadian yang sama, maka penulis mendorong untuk diberikan sanksi sesuai yang sudah diatur dan jika masih dilakukan pelanggaran yang serupa atau bahkan lebih berat pelanggarannya penulis sarankan agar langsung diberhentikan saja sebagai ASN agar persoalan menjadi cambuk bagi ASN ataupun orang lain agar tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran serupa.
-Keterwakilan perempuan
Untuk mendorong perempuan sebagai seseorang yang memiliki hak yang sama dengan laki-laki, maka cara yang harus dilakukan juga bukan hanya antar perempuan yang saling mendorong, tapi lak-laki juga harus sadar akan hal ini. laki-laki juga harus mendorong kepada setiap perempuan yang memiliki minat dalam penyelenggaraan pemilu, atau mungkin kepada perempuan yang belum memiliki kesadaran akan penyelenggaraan pemilu. Maka laki-laki harus lebih aktif lagi dalam menyadarkan perempuan untuk aktif dalam penyelenggaraan pemilu.
-Rendahnya integritas para wakil rakyat
Hasil pemilu dikatakan baik apabila setiap orang yang terpilih dari hasil pemilu yang kemudian duduk di kursi pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif mampu menciptakan pemerintahan yang efektif juga mampu mengakomodir segala kebutuhan masyarakat yang kemudian dapat direalisasikan dalam bentuk kebijakan.
Sampai saat ini masih banyak persoalan-persoalan yang muncul akibat dari kebijakan yang dikeluarkan oleh eksekutif maupun legislatif. Banyak contoh, yang terbaru mengenai disahkannya UU Cipta Kerja. Baik, saya akan memfokuskan pada masalah integritas seorang pejabat. Banyak pejabat yang terjerat kasus korupsi, kasus seperti ini merupakan dampak dari adanya politik transaksional dari segala sisi, dari pusat sampai daerah. Dengan adanya hal ini maka sudah dapat dipastikan bahwa pemerintahan yang dihasilkan bukan hanya tidak efektif, namun juga koruptif, meski memang ini dampak dari beberapa hal.
Solusi yang bisa ditawarkan adalah dengan memperbaiki sistem dan format pemilu serta menguatkan aturan-aturan yang ditujukan untuk menghindari segala hal yang menunjukkan sikap rendahnya integritas seorang pejabat.
- Fanatisme pendukung calon
Mengingat persoalan pemilu pada tahun 2019, yang mana pemilu dihiasi dengan berita pertarungan antara dua kelompok pendukung calon presiden yang kita kenal dengan panggilan cebong dan kampret, dan pemilu tahun 2019 ini benar-benar setiap orang dari masing-masing pendukung sangat fanatik dalam mendukung dan hal ini berakibat pada terpeta-petaknya pendukung, munculnya konflik secara vertikal.
Tentu dari kejadian ini bisa kita jadikan sebagai pengalaman agar ke depan kita tidak mengalami hal serupa. Terkait hal ini, penulis memberikan solusi agar tidak terjadi hal yang demikian terulang kembali, yakni mendorong seluruh partai politik agar berani mencalonkan kader-kader yang potensial untuk dicalonkan dalam konvensi Presiden ataupun Wakil Presiden. Penulis mengharapkan agar calon presiden dan wakil presiden tidak hanya dua, minimal tiga. Hal ini sebagai jalan untuk menghindari kejadian seperti tahun 2019. Hal lain yang bisa penulis tawarkan adalah yakni bagi setiap calon nantinya harus bersaing secara sehat, jangan sekali-kali melontarkan suatu narasi yang memiliki unsur-unsur permusuhan, lemparkan saja gagasan-gagasan ke depan.
-Integritas Penyelenggara Pemilu
Pasal 3 UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum menyatakan "Dalam menyelenggarakan pemilu, penyelenggara pemilu harus melaksanakan pemilu berdasarkan pada asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, akuntabel, efektif dan efisien".
Pasal 4 menyatakan "pengaturan penyelenggaraan pemilu ini bertujuan untuk memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis, mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas, menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu, memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengaturan pemilu serta mewujudkan pemilu yang efektif dan efisien".
Kiranya dari dua Pasal di atas kita dapat mengetahui bahwa sudah seharusnya penyelenggara pemilu harus untuk bersikap integritas. Namun beberapa waktu lalu saat adanya perekrutan PPK dan PPS oleh KPUD, masih banyak menimbulkan masalah. Berbagai keluh kesah yang berasal dari peserta baik dari peserta PPK ataupun PPS yang tidak lolos disampaikan kepada pihak pelaksana yang kemudian disampaikan juga kepada penulis. Dan masalah utamanya adalah kurangnya sikap netral, terkikisnya sikap integritas penyelenggara pemilu. Terkait persoalan ini penulis memberikan solusi bagi KPUD agar lebih transparan dalam segala hal.
Itulah beberapa persoalan yang kerap terjadi dan solusi yang dapat penulis berikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H