Pekerja Rumah Tangga  dalam konteks perlindungan anakÂ
oleh: Ronven AprianiÂ
Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah pekerja anak yang cukup tinggi. Kemudian dijelaskan oleh Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang bahwa angka pekerja anak di indonesia saat ini semakin memprihatinkan. Hal tersebut disebabkan oleh turunnya perekonomian Indonesia. Berdasarkan data hasil rapid assessment yang dilakukan oleh Jaringan Advocasi Nasional Kerja Layak PRT (JALA PRT) pada tahun 2009 lalu, menyatakan bahwa jumlah PRT di indonesia mencapai 10.744.887, dimana 67% dari rumah tangga kelas mengah dan menengah atas telah memperkerjakan PRT. Dari data tersebut, terhitung 30% diantaranya adalah Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA), bahkan hingga saat ini angka PRTA tercatat meningkat pada tahun 2020 sesuai dengan data Sakernas, dimana terdapat 9 dari 100 anak usia 10-17 tahun sekitar 9,34% atau 3,36 juta anak yang bekerja dan 1,17 juta diantaranya bekerja sebagai PRT.
Latar belakang Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA)
Banyaknya anak yang bekerja informal sebagai Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) kemudian menjadi sebuah masalah sosial di lingkungan masyarakat. Menurut ILO No. 182 yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang No. 1 Tahun 2000 bahwa pada dasarnya pekerjaan informal seperti PRT tersebut dilarang dilakukan oleh anak berusia dibawah umur 18 tahun, hal ini dianggap sebagai pekerjaan terburuk bagi seorang anak yang berusia dibawah umur 18 tahun. Â Dianggap sebagai pekerjaan terburuk bagi anak dibawah umur karena pekerjaan informal PRT memberi dampak buruk bagi kesehatan, perkembangan anak, kerentanan kekerasan fisik, psikis dan human trafficking, bahkan memberi peluang besar untuk putus sekolah.
Penyebab banyaknya anak yang bekerja sebagai PRT ini melalui beberapa faktor baik internal maupun eksternal, mulai dari penyampaian informasi mengenai pekerjaan PRT, diajak dan direkomendasikan kepada majikan agar bisa segera mulai bekerja. Kebanyakan seorang actor perantara melakukan hal tersebut untuk memasukan anak sebagai PRT, yang mana actor yang dimaksud adalah orang yang berada dalam lingkungan internal maupun eksternal. Actor tersebut akan berperan aktif untuk  memberi informasi dan memasukan anak. Actor yang paling berperan dalam hal ini biasanya adalah berasal dari kalangan kerabat atau saudara PRTA dalam garis keturunan, sehingga menjadi pekerjaan turunan dalam suatu keluarga tertentu yang dikaderisasi oleh kerabat sendiri dengan maksud menolong namun pada hakikatnya anak menjadi korban. Hal tersebut dianggap serius yang terjadi di Bandung, sehingga pemerintah tidak boleh tinggal diam. Pemerintah mengambil kebijakan dengan bekerja sama dengan LAHA (Lembaga Advocasi Hak Anak) yang secara khusus menangani masalah pekerja anak di kota Bandung yang sampai saat ini terus mengalami peningkatan.
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan dari latar belakang masuknya anak sebagai PRTA adalah adanya proses kaderisasi dan ajakan oleh kerabat atau saudara sendiri. Keterlibatan kerabat dalam pengkaderisasian anak menjadi PRT tersebut tidak hanya melalui saudara, akan tetapi bisa saja melalui orang tua, sehingga PRT menjadi pekerjaan turun temurun dalam suatu keluarga.
Ancaman dan Pelanggaran yang dialami oleh PRTAÂ
Ancaman dan pelanggaran HAM yang dialami oleh Pekerja Rumah Tangga Anak ini tidak jauh berbeda dengan ancaman dan pelanggaran HAM yang dialami oleh PRT pada umumnya. Hal tersebut dikarenakan PRT dan PRTA merupakan pekerjaan yang bekerja di lingkungan privat dan berada di rumah masing-masing pribadi, sehingga ancaman dan pelanggaran HAM sangat rentan terjadi terhadap PRTA, pelanggaran HAM yang dimaksud antara lain: kekerasan; eksploitasi; kekerasan fisik, psikis dan seksual. Selain itu, menyangkut Hak Asasi Manusia, anak juga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, dengan adanya pekerjaan PRT tersebut menjadi penghalang sekaligus menjadi perampas hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak karena kebanyakan anak putus sekolah untuk bekerja sebagai PRT.
Sebagai contoh pada tahun 2012 lalu, seorang PRT yang masih berusia anak jatuh sakit akibat tindakan kekerasan oleh pemberi kerja, kekerasan yang dimaksud meliputi memukul, menendang dan menampar tanpa ampun. Disinyalir pekerja melakukan tindakan kekerasan tersebut dikarenakan PRTA tidak bisa melaksanakan pekerjaanya sesuai dengan perintah majikan. Akibat dari perbuatannya tersebut, pemberi kerja kemudian dituntut berdasarkan UU PKDRT dan UU Perlindungan Anak. Hakim memutuskan bahwa terdakwa dihukum dengan hukuman pidana penjara selama 2 (dua) tahun.
Dengan demikian, UU PPRT hadir memberi jalan keluar sebagai landasan membangun strategi perlindungan terhadap PRTA serta melindungan PRT sebagai bagian dari prinsip upaya menegakkan Hak Asasi Manusia. Hak asasi seorang anak merupakan bagian dan satu kesatuan dari Hak Asasi Manusia (HAM) sesuai dengan pasal 28B ayat (2) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, perlindungan anak juga dibahas dan diatur dalam pasal 64 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang berbunya :
"setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari tindakan, perilaku, kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerja yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan, fisik, moral, kehidupan sosial dan mental spiritual"
Melihat betapa mirisnya fenomena kekerasan, eksploitasi dan tindakan kejahatan lainnya terhadap PRTA di indonesia, maka sepatutnya tindakan tersebut segera ditindak lanjuti secara tegas oleh pemerintah sebagai penyelenggara sekaligus penegak hukum. UU PPRT sebagai jalan dan upaya melindungi hak asasi pekerja perlu kiranya untuk segera disahkan agar setiap PRT dan PRTA memiliki rasa kepercayaan keamanan dilingkungan kerja.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H