Mohon tunggu...
Ronsen Pasaribu
Ronsen Pasaribu Mohon Tunggu... PNS -

Dalam hal mengabdi demi ibu pertiwi, tak pernah berpikir untuk berhenti.

Selanjutnya

Tutup

Money

Pasar Bebas Asean: Sudah Siapkah Bona Pasogit Menghadapinya?

17 April 2016   15:05 Diperbarui: 17 April 2016   15:24 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[Masyarakat Ekonomi Asean][Sumber Gambar]

 

Sharing Makalah dari Rekan DR. Mangasi Panjaitan (Ketua Dewan Pembina FBBI)

AFTA (ASEAN Free Trade Area), atau yang lebih dikenal dengan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), adalah suatu zona perdagangan bebas di wilayah negara-negara ASEAN yang meliputi 10 negara yaitu; Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunei Darusalam, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja.  MEA akan mulai diberlakukan pada akhir tahun 2015. Dengan berlakunya MEA, maka tidak ada lagi hambatan seperti (tarif  atau kuota) terhadap lalulintas barang dan jasa, tenaga kerja dan modal antara negara-negara ASEAN itu sendiri.

Mulai akhir Desember 2015 produksi, tenaga kerja dan modal dari Indonesia bebas masuk kedalam sembilan negara anggota ASEAN lainnya, tanpa hambatan yang berarti. Sebaliknya produksi, tenaga kerja dan modal dari sembilan negara lainnya bebas masuk ke Indonesia.  Dampaknya, produk mahal dan/atau buruk akan “dilibas” oleh produk yang murah dan/atau berkualitas.  Tenaga kerja yang tidak terampil akan “digusur” menjadi pengangguran oleh tenaga kerja yang terampil.  Modal hanya akan pergi dan diam di negara yang iklim investasi lebih kondusif  (mis: infrastruktur, perizinan dan energi lebih baik).

Pada waktunya MEA diberlakukan sesungguhnya yang terjadi adalah “pertarungan” antara negara-negara anggota ASEAN itu sendiri  untuk masing-masing mendapatkan pangsa yang sebesar-besarnya.  Sudah siapkah Indonesia dan masyarakat Batak mengahadapinya?  Beberapa pejabat Indonesia khawatir akan kesiapan kita; antara lain Menteri  Perdagangan RI Rahmat Gobel (23 Februari 2015) dan Menteri PPN/Ketua Bappenas Armida Alisjabana (2014).  Lalu apa yang bisa FBBI dan masyarkat Batak  lakukan?

Sejauh mana kesiapan Indonesia mengahadapi MEA dapat dilihat dengan antara lain membandingkan peringkat daya saing negara,peringkat universitas terkemuka, IPM (indeks pembangunan manusia), pendidikan tenaga kerja Indonesia dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya’.

Posisi Relatif Indonesia di ASEAN

Menurut World Economic Forum (2014), peringkat daya saing Indonesia di tingkat dunia berada di posisi ke-34 atau peringkat ke-4 di tingkat ASEAN berada dibawah peringkat Singapore, Malaysia dan Thailand (Tabel 1).  Posisi ini telah mengalami peningkatan dari peringkat ke-55 tahun 2008, dan peringkat ke-50 tahun 2012.

Salah satu indikator daya saing suatu bangsa adalah peringkat  universitas di negara masing-masing.  Untuk tingkat Asia, peringkat Universitas terbaik di negeri ini masih kalah dengan universitas di Singapura, Thailand dan Malaysia, walau masih lebih baik dari peringkat universitas di negara lain diluar ketiga negara tadi.  Tabel 2, menjelaskan peringkat universitas terkemuka Indonesia dan beberapa universitas di negara ASEAN lainnya.

Seperti halnya daya saing negara, peringkat universitas terkemuka Indonesia, masih berada dibawah peringkat universitas terkemuka di Singapore, Thailand dan Malaysia (Tabel 2).

Indeks Pengembangan Manusia (IPM), adalah ukuran harapan hidup, tingkat pendidikan  dan hidup layak penduduk suatu negara.  IPM, mengindikasikan sejauh mana pembangunan di negara tersebut berhasil meningkatkan kualitas penduduknya.  IPM Indonesia  berada pada ranking 124 dari 174 negara di dunia. Posisi ini, berada dibawah IPM Singapore, Brunei Darusalam, Malaysia, Thailand dan Filipina (Tabel 3). Dengan kata lain, penduduk Singapore, Brunei, Malaysia dan Thailand relatif lebih berkualitas dibanding penduduk Indonesia. IPM Indonesia berada diatas IPM Vietnam, Laos  dan Kamboja. 

Menurut Menteri PPN/Ketua Bappenas (2014), pendidikan pekerja Indonesia usia ≥ 25 tahun adalah rata-rata 5,8 tahun (setara dengan kelas 6 SD).  Masih berada dibawah, Filipina 8,9 tahun (setara kelas 3 SMP), Malaysia dengan rata-rata 9,5 tahun (setara hampir SMA kelas 1) , dan Thailand 10,1 tahun (setara SMA kelas 1).   Rata-rata pendidikan pekerja Singapore tentu jauh lebih tinggi lagi.

Posisi  Relatif Sumatera Utara di Indonesia

Sumatera Utara dengan jumlah penduduk ke-empat di Indonesia, memiliki 28 Universitas, 79 Sekolah Tinggi, 69 akademi, 10 politeknik dan tiga institut (Tabel 4).

Namun menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2015), dari 18 Universitas di Indonesia yang terakreditasi A, tidak satu pun berada di Sumatera Utara (Lihat Tabel 5).  Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa peringkat universitas suatu negara atau suatu daerah dapat dipakai sebagai indikator daya saing, walau bukan satu-satunya indikator.  Dalam hubungan ini,  daya siang Sumatera Utara di kancah nasional tidaklah terlalu menggembirakan.

Indikator daya saing lainnya sebagaimana juga diuraikan dalam konteks  Indonesia-ASEAN juga coba dibandingkan dalam konteks Sumatera Utara-Indonesia.  Menurut BPS (2011), IPM (Indeks Pengembangan Manusia), di Sumatera Utara, merupakan urutan kedelapan dari  33 Provinsi yang ada di Indonesia.  Peringkat pertama adalah DKI Jaya dengan IPM 77, dan urutan terakhir adalah Papua dengan IPM sebesar  65,36.  Tabel 6, menguraikan peringkat IPM 10  besar  tahun 2011.

Menurut Litbang Kompas (2013), peringkat daya saing Sumatera Utara berada pada posisi 10 besar dari 33 provinsi se Indonesia  (Lihat Tabel 7).

Pertumbuhan ekonomi menunjukkan seberapa meningkatnya perekonomian suatu wilayah dibanding tahun sebelumnya.  Dalam  hal ini Sumatera Utara lebih tinggi dibandingkan dengan Sumatera secara keseluruhan maupun Indonesia.   Perekonomian Sumatera Utara pada tahun 2013 tumbuh  sebesar 6,01% , tertinggi di Pulau Sumatera, secara relatif lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional yang “hanya” 5,78%, namun masih kalah dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata di Pulau Jawa (6,14%) dan juga Sulawesi (7,84%) (Tabel  8).

Angkatan kerja yang merupakan salah satu faktor produksi dan juga pemain utama dalam pasar bebas.  Menurut BPS Sumatera Utara (2014), angkata kerja di Sumatera Utara  yang berumur 15 tahun keatas, mayoritas (57,28%)  berpendidikan SMP ke bawah.  Selebihnya (42,72%) berpendidikan SMTA , Diploma dan Universitas (Tabel 9).

Posisi Relatif Bonapasogit[2] di Sumatera Utara

Dalam kesempatan ini, untuk melihat posisi relatif Bonapasogit, digunakan Indeks Pengembangan Manusia (IPM)[[3], dan  tingkat PDRB per kapita. Walau belum sepenuhnya lengkap, namun cukup untuk melihat posisi relatif.

Menurut BPS Sumatera Utara (2014), Indeks Pengembangan Manusia daerah Bonapasogit, sebagian saja (tiga kabupaten) berada diatas IPM Sumatera Utara dan sebagian lainnya (delapan kabupaten) berada dibawah IPM Sumut (sebesar 75,55 tahun 2013).  Artinya kualitas SDM umumnya di bonapasogit masih lebih rendah dibandingkan dengan kualitas rata-rata SDM Sumatera Utara. Uraian IPM Sumut menurut Kabupaten se Bonapasogit dapat dilihat pada Tabel 10.

Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, dapat  juga digunakan sebagai indikator posisi relatif; karena makin tinggi PDRB per kapita artinya  makin kaya pula manusianya.  Dearah dengan PDRB per kapita yang lebih tinggi berarti daerahnya lebih kaya, lebih makmur. Dearah yang lebih makmur tentu berdaya saing lebih.  Menurut BPS Sumatera Utara (2014),  “hanya”  tiga kabupaten  yaitu   Kabupaten Toba Samosir, Karo dan Kabupaten Samosir  yang PDRB per kapitanya lebih tinggi dari Sumatera Utara, selebihnya (delapan kabupaten) adalah lebih rendah dari Sumatera Utara (Tabel 11). Artinya penduduk di delapan kabupaten di bonapasogit lebih miskin dibanding rata-rata saudaranya di Sumatera Utara. 

Melihat beberapa posisi relatif Indonenesia terhadap ASEAN, lalu posisi relatif Sumatera Utara terhadap Indonesia, kemudian posisi bonapasogit terhadap Sumatera Utara, ternyata keraguan banyak pihak tentang kesiapan Indonesia, Sumatera Utara dan bonapasogit bukan isapan jempol belaka, karena faktanya memang demikian.

Melihat data tersebut, suka atau tidak suka, siap atau tidak siap masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat Batak khususnya harus segera meningkatkan daya saingnya. Tidak ada lagi waktu untuk menunda karena hari H sudah ditentukan yaitu akhir tahun 2015.  Ibarat pertandingan tinju. Hari H sudah ditetapkan dan kita harus bertanding sejak itu.  Pertandingan bukan sehari, tetapi tiada henti terus menerus sepanjang   tahun. Agar kalah terhormat dan tidak kalah  KO (knock out) setiap unsur dalam masyarakat harus mengambil peran aktif.  Pemerintah punya kemampuan terbatas, sehingga tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada  mereka. Lagi pula pasar bebas ASEAN ini menyangkut kehidupan masyarakat, yaitu masyarakat ekonomi ASEAN, ya kita.

Masyarakat Batak harus mengambil bagian dalam “pertempuran” secara nyata yaitu;

a.   Secara individu, meningkatkan kemampuan atau kompetensi diri dengan meningkatkan pendidikan dan ketrampilan dengan level nasional dan internasional.

b.   Secara rumah tangga, meningkatkan pendapatan melalui produksi barang dan jasa yang berkualitas. Lalu memilih sekolah terbaik bagi putra dan putri kita.   Pendidikan adalah investasi, sehingga jangan segan-segan  mengelurakan dana besar untuk pendidikan anak-anak.

c.   Secara sosial, meningkatkan soliditas antar anggota marga, kumpulan marga dengan saling membantu satu sama lain untuk meningkatkan pendidikan dan keterampilan sosial. Motto: bersatu kita kuat bercerai kita hancur, justru makin relevan kini.

d.   Membantu pemerintah pusat maupun pemerintah dalam pembangunan ekonomi, pendidikan di berbagai level.

 ***

 

 

 

 

Keterangan:

[1]  Variabel daya saing yang dihitung; stabilitas ekonomi makro, perencanaan pemerintah & institusi, kondisi keuangan, bisnis, tenaga kerja, kualitas hidup, dan pembangunan infrastruktur.

[2] Bonapasogit dalam makalah ini adalah: Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Toba Samosir, Samosir, Humbang Hasundutan, Dairi, Karo, Simalungun, Pakpak Barat.

[3] Komponen IPM yang dihitung adalah: 1) tingkat harapan hidup, 2) tingkat melek huruf, 3) Rata-rata lamanya   sekolah, dan 4) pengeluaran riel per kapita.

***

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun