Pada Akhir Agustus 2011 lalu, saya berkesempatan mengunjungi Provinsi Gorontalo. Gorontalo merupakan provinsi ke-32 di Indonesia. Sebelumnya Gorontalo merupakan wilayah Kabupaten Gorontalo dan Kota Madya Gorontalo yang masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Utara. Seiring dengan munculnya pemekaran wilayah berkenaan dengan otonomi daerah, provinsi ini kemudian dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000 pada tertanggal 22 Desember 2000.
Provinsi yang memiliki luas wilayah 12.215,44 km² dengan jumlah penduduk sebanyak 1,038.585 jiwa (Sensus Penduduk 2010) ini, sedang mengalami kemajuan pesat dalam memacu pembangunannya. Terbukti, Fadel Muhammad mantan gubernur Bumi Hulondalo ini dipercayakan menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Program Minapolitan dari sosok yang disayangi rakyat Gorontalo ini menarik SBY untuk mengangkatnya sebagai pembantu dalam Kabinet Indonesia Bersatu.
Sampai dengan 2011, wilayah adminitrasi Provinsi Gorontalo mencakup 5 kabupaten (Kabupaten Boalemo, Bone Bolango, Gorontalo, Gorontalo Utara, dan Pohuwato), dan 1 kota (Kota Gorontalo), dengan 75 kecamatan, 532 desa, dan 69 kelurahan.
Kedatangan saya kali ini ke Gorontalo, dalam rangka mendokumentasikan sebuah tradisi dalam masyarakat Gorontalo dalam menyambut datangnya Idul Fitri. Malam Pasang Lampu atau lebih dikenal dengan nama Tumbilatohe. Sebuah tradisi turun menurun, yang dilakukan 3 hari menjelang Idul Fitri. Namun, saya juga menyempatkan diri untuk berkunjung ke Danau Limboto.
Danau Limboto
Dari Bandara Jalaludin Gorontalo, Danau Limboto dapat ditempuh selama 45 menit dengan menggunakan kenderaan bermotor. Akses lainnya dapat dilalui dari Pusat Kota Gorontalo melalui jalan Trans Batudaa-Bongomeme. Berjarak kurang lebih 2 km, paling asyik menggunakan Bentor, yang merupakan salah satu moda transportasi yang banyak tersedia di Kota Gorontalo.
Menurut catatan Cabang Dinas Perikanan Kabupaten Gorontalo (2000), Luas Danau Limboto pada tahun 1999 berkisar antara 1.900-3.000 ha, dengan kedalaman 2-4 meter. Malah pada tahun 1932, luas perairannya mencapai 7.000 ha. Kedalaman air Danau Limboto pada masa itu dimanfaatkan sebagai tempat mendaratnya pesawat bertipe amphibi. Tercatat Presiden RI pertama, Soekarno dalam kunjungannya ke Gorontalo, memanfaatkan Danau Limboto sebagai lokasi pendaratan. Peristiwa itu diabadikan dengan membangun sebuah Monumen Peringatan di tepi Danau, yang terpelihara sampai saat sekarang.
Menurut tuturan cerita, Danau Limboto dahulunya merupakan hamparan laut yang luas. Ditengahnya terdapat dua buah gunung, yaitu Gunung Boliohuto dan Gunung Tilongkabila. Sampai saat sekarang, danau ini menjadi salah satu daya tarik wisata di Gorontalo. Danau ini juga merupakan bagian dari sejarah Gorontalo. Dimana di danau ini sejarah awal terciptanya perdamaian pada masyarakat Gorontalo, ketika abad XVII, saat Raja Limboto Popa dan Raja Gorontalo Eyato mengakhiri perang dengan melepas cincin di danau tersebut.
Didekat danau ini, terdapat pula Benteng bersejarah. Benteng Otonaha. Terletak di atas bukit di Kelurahan Dembe I, Kota Barat, benteng yang dibangun pada tahun 1522 pada masa bangsa Portugal mejelajahi Nusantara. Keindahan Danau Limboto sangat jelas, jika kita melihatnya dari atas Benteng Otanaha.
Kondisi Memprihatinkan
Kondisi diatas sangat berbeda sekali saat sekarang. Saat ini daerah paling dalam Danau Limboto hanya mencapai 1,9 meter. Luas perairannya pun hanya tersisa 1.980 ha. Aktivitas masyarakat disekitar danau telah membuat proses sendimentasi semakin parah. Pengundulan hutan disekitarnya juga menambah beban danau yang indah ini.
Enceng Gondok, yang merupakan masalah utama di hampir semua danau di Indonesia, turut menyumbang parahnya pedangkalan danau yang juga menjadi sumber mata air
Dambuhi, 40 tahun, seorang nelayan yang sejak kecil menjadikan danau ini sebagai sumber penghasilan keluarganya menuturkan, "menurut cerita orang tua, eceng gondok ini berasal dari ikan yang dibawah dari pulau Jawa, Ikan-ikan itu telah menelan bibit eceng gondok, dan pada akhirnya bibit itu keluar dari perut ikan dan tumbuh memenuhi hampir seluruh danau." Kini sejauh mata memandang, sejauh itu pula hamparan eceng gondok terlihat.
Letak Danau Limboto berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bone Bolango, berada di ketinggian 4,5 meter dpl, menjadi muara bagi 23 anak sungai yang ada di sekitarnya, menjadikan Danau Limboto menanggung beban yang sangat berat. Terlebih lagi dengan aktivitas kehidupan masyarakat disekitarnya yang seakan tidak peduli dengan hilangnya bagian danau yang justru merupakan sumber penghidupan bagi ekosistem di sekitar danau.
Kini kondisi Danau Limboto semakin memprihatinkan. Jika tidak ada penanganan yang serius terhadap pedangkalannya, tidak mustahil danau yang indah ini akan lenyap dalam beberapa tahun kedepan.
Danau Limboto sedang mengalami proses eutrofikasi. Eutrofikasi merupakan masalah lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah fosfat (PO3-), khususnya dalam ekosistem air tawar. Sejatinya, eutrofikasi merupakan sebuah proses alamiah di mana danau mengalami penuaan secara bertahap dan menjadi lebih produktif bagi tumbuhnya biomassa.
Salah satu yang memberikan kontribusi terhadap semakin hilangnya area Danau Limboto adalah aktivitas nelayan dengan jaring apung yang menyebar di hampir semua bagian danau. Sekali lagi menurut Dumbuhi (40) salah seorang pemilik jaring apung, "hampir setiap tahun kami mengganti bambu yang menjadi tiang penyangga jaring, tetapi setiap kali itu pula, bambu-bambu itu hanya di tenggelamkan di dasar danau, tidak diangkut ke daratan sebagai sampah." Terdapat ratusan nelayan yang mengantungkan mata pencahariannya dengan menebar jaring apung.
Kesadaran pemerintah bersama masyarakat untuk segera menyelematkan danau yang indah ini dari kepunahan sangat diperlukan. Agar bagian dari sejarah daerah Gorontalo di danau ini, tidak hanya menjadi kenangan pada sebuah daratan tanpa air.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H