Anak saya yang nomor dua, Ahsanu Nadia, meski seorang perempuan, dia memiliki keberanian yang barangkali ia warisi dari ayahnya. Dia memiliki jiwa petualang, ingin terus berjuang hingga sampai di tujuan. Ia tidak peragu seperti Ummahnya.
Setelah menghadiri acara "Baralek" di Paninggahan, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, seorang Bapak -- bapak warga lokal yang kami tanyai tentang jalan pintas menuju pulang, malah menyarankan kami mendaki Puncak Gagoan.
"Anda akan menyesal, sudah sampai di Paninggahan, tapi tidak singgah di Puncak Gagoan." Sang Bapak berusaha menyakinkan kami.
"Apa yang ada di sana, Pak?" Dia malah bingung menjawabnya.
Bismillah, kami tancap gas mobil, berjalan pelan di jalanan yang dicor, kadang berbatu, menanjak di beberapa bagian, di kanan kirinya kebun masyarakat dan hutan.
Istri saya dihampiri ketakutan, karena tidak lagi bertemu rumah warga. Tapi Nadia, yang duduk persis di belakang saya, terus memberikan semangat.
"Lanjut Yah." Di hatinya memang tidak lagi menyimpan rasa takut.
Kira -- kira 10 menit perjalanan kami sampailah.
Subhanallah, dari atas sini terlihat hamparan Danau Singkarak yang indah, di tepinya persawahan warga dan pohon kelapa. Di ujung jalan itu, kawasan hutan belantara yang hijau dan masih asri.
Kami langsung singgah di sebuah kedai, yang dari dalam sana, semua keindahan itu terpampang lebih jelas lagi.
"Cobalah mendaki Puncak Gagoan Pak, hanya 15 menit. Di atas puncak ada padang savana yang memanjakan mata. Spot foto terbaik ada di pucaknya."
Bismillah, saya, istri dan Nadia mencoba mendaki. Memang tidak mudah. Meski jalannya sudah dibuat tangga dan tali tempat berpegangan, jalannya curam dan menanjak, beberapa bagian ada bebatuan tajam. Jalan itu hanya muat utk 1 orang dan mesti berhenti jika berpapasan.
Baru 5 menit mendaki istri sudah menyerah. Melihat jalan yang semakin curam dan mendaki, lututnya lunglai, semangatnya padam.
"Ayo Yah, kita daki sampai ke puncak." Anak perempuan saya ini nampaknya tetap semangat. Dia abai terhadap bahaya yang mengintai. Jalanan yang curam itu sebenarnya belum cocok untuk anak seusianya. Sebelah kanan jalan, jika terpeleset, ada jurang dalam menanti.
"Tidak nak, Ummahmu sudah menyerah, kita sampai di sini saja. In shaa Allah lain waktu kita taklukkan puncak itu."
Hari itu, kami hanya sampai di pinggangnya saja, lalu berfoto beberapa gambar. Kami kembali dan turun.
"Nanti kita balik lagi Yah, kita ajak Alif." Alif, anak saya yang pertama, tidak ikut karena sedang ada kegiatan di sekolahnya.
In shaa Allah, lain waktu kita ke sini lagi ya." Saya belum hendak memadamkan semangat anak gadis saya itu.
Ya, in shaa Allah kami akan kembali suatu hari nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H