“Ayah, pancasila itu siapa?” Lelahku menguap berganti kaget. Belum sempat kulepas sepatu dan kaos kaki, anakku, gadis kecil yang baru akan menginjak usia 4 tahun, berlari menyongsong dengan antusias. Matanya yang selalu meneduhkanku, senantiasa menghapus penat dan semua masalah yang terjadi di tempat kerja. Hari ini berbeda, mata kecilnya memancarkan keingintahuan yang besar, menyelidik tepatnya. “Ayah boleh duduk dulu, sayang?” tanpa jawaban ia menarik lengan dan menuntunku ke ruang tengah. Dengan cekatan ia mengambil segelas air putih. Ia tahu kebiasaanku. Ia melakukannya karena ingin segera tahu jawaban pertanyaannya. “ibu ke mana?” kucoba mengalihkan perhatiannya sembari mengumpulkan memori untuk dapat menjawab pertanyaanya. Ke rumah bu RT, katanya mau ada perayaan hari lahir pancasila. “ayah, pancasila itu siapa?” diulanginya pertanyaan itu, kini mata beningnya sedikit berair. Saya tahu bahwa ia sudah sangat ingin mendengar jawaban pertanyaannya. “pertanyaannya kok pakai siapa?” kucoba meyakinkan pendengaran saya tentang pertanyaannya. “Iya. Tadi ibu bilang akan ada perayaan hari lahir pancasila, berarti pancasila ulangtahun kan, Yah! Nah, mengapa ibu mau bersusah-susah mempersiapkan ulangtahun pancasila sedangkan ulangtahun anak sendiri tidak pernah dirayakan.” Kembali saya dihampiri keterkejutan yang lain. Saya melepaskan kemeja. Ia kini berdiri dihadapanku, matanya masih menuntut jawaban. Kuraih dan kuangkat dia ke pangkuanku. Ia menoleh dan berusaha melepaskan diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H