Mohon tunggu...
ronisalasa mappeware
ronisalasa mappeware Mohon Tunggu... -

lahir dari sebuah keluarga sederhana beranggotakan 8 orang. menempuh pendidikan dasar hingga lanjutan atas di kabupaten bone. menyelesaikan s1 di Universitas Negeri Makassar dalam kurun waktu 7 tahun. saat ini mengabdikan diri sebagai tenaga pendidik pada sebuah sekolah islam di makassar. kecintaan pada dunia sastra, drama, dan olahraga masih tersimpan dengan baik.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

bertanya pancasila

2 Juni 2011   06:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:57 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Ayah, pancasila itu siapa?” Lelahku menguap berganti kaget. Belum sempat kulepas sepatu dan kaos kaki, anakku, gadis kecil yang baru akan menginjak usia 4 tahun, berlari menyongsong dengan antusias. Matanya yang selalu meneduhkanku, senantiasa menghapus penat dan semua masalah yang terjadi di tempat kerja. Hari ini berbeda, mata kecilnya memancarkan keingintahuan yang besar, menyelidik tepatnya. “Ayah boleh duduk dulu, sayang?” tanpa jawaban ia menarik lengan dan menuntunku ke ruang tengah. Dengan cekatan ia mengambil segelas air putih. Ia tahu kebiasaanku. Ia melakukannya karena ingin segera tahu jawaban pertanyaannya. “ibu ke mana?” kucoba mengalihkan perhatiannya sembari mengumpulkan memori untuk dapat menjawab pertanyaanya. Ke rumah bu RT, katanya mau ada perayaan hari lahir pancasila. “ayah, pancasila itu siapa?” diulanginya pertanyaan itu, kini mata beningnya sedikit berair. Saya tahu bahwa ia sudah sangat ingin mendengar jawaban pertanyaannya. “pertanyaannya kok pakai siapa?” kucoba meyakinkan pendengaran saya tentang pertanyaannya. “Iya. Tadi ibu bilang akan ada perayaan hari lahir pancasila, berarti pancasila ulangtahun kan, Yah! Nah, mengapa ibu mau bersusah-susah mempersiapkan ulangtahun pancasila sedangkan ulangtahun anak sendiri tidak pernah dirayakan.” Kembali saya dihampiri keterkejutan yang lain. Saya melepaskan kemeja. Ia kini berdiri dihadapanku, matanya masih menuntut jawaban. Kuraih dan kuangkat dia ke pangkuanku. Ia menoleh dan berusaha melepaskan diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun