Semua telah kusiapkan. Tengah malam saat terbangun, kubuka gudang penyimpanan dan kusiapkan semua perlengkapan memancing. Dan pagi ini, aku siap memulainya. Untuk anakku. Sejak hari itu rutinitasku berubah. Setelah sarapan aku akan melangkahkan kaki ketepi telaga, di bawah pohon asam yang rindang, mungkin usianya sudah ratusan tahun, melemparkan pancing dan menunggu dengan sangat serius. Setelah mendapatkan seekor ikan aku akan segera pulang. Memang ia memesankan "hasil pancingan tidak boleh lebih dari satu".
Seminggu. Aku semakin bersemangat. Ia mengatakan dirinya telah hamil kini. Tiga bulan. Semua berjalan sesuai rencana. Aku memperhatikan perubahan pada badannya setiap saat. Ada sesuatu yang hilang bila aku luput memperhatikannya sejenak saja. Perutnya semakin besar.
Bulan kedelapan. Seperti biasa setelah sarapan aku melangkahkan kaki ketepi telaga, di bawah pohon asam tua itu. Tetapi mungkin hari ini hari sialku. Hingga panas matahari sudah mulai agak menyengat tak jua kudapatkan seekor ikanpun. Kuambil jaring yang telah lama tergantung di pohon asam itu. Kumasukkan kakiku ke telaga. Kulemparkan jaring, lalu aku menariknya dengan susah payah. Puluhan bahkan hampir ratusan ikan emas menggelepar di dalam jarring. Rasa marah dan jengkel menguasaiku. Ikan yang begitu banyak tak ada yang mau menggigit pancingku. Kuraih seekor lalu kubunuh dengan memencet lehernya. Seekor lagi mati terhempas pada pokok pohon asam. Yang lainnya, semua kubunuh setelah kuambil seekor untuk istriku.
Aku pulang. Belum terlalu siang, bahkan masih tergolong pagi. Istriku tergolek di tempat tidur. Bukan kebiasaannya. Setiap aku pulang memancing, ia akan berdiri di depan pintu, telah berdandan dan menyambutku dengan tangan terbuka lebar dengan senyumnya yang menawan. Ia tak pernah peduli pada bau badanku. Tapi sekarang. Ia terbaring di tempat tidur. Matanya terpejam. Wajahnya damai, tenang, tak ada kesusahan yang tergambar di sana. Tangannya menangkup di atas perutnya yang tinggal menunggu waktu melahirkan. Ia mengenakan gaun putih yang dikenakannya saat kami menikah. Di atas meja kecil, seonggok bunga warna- warni telah dirangkainya dengan sangat indah. Yang luput kuperhatikan, ia juga mengenakan mahkota dari bunga.
Kuhampiri ia dalam tidurnya yang aneh itu, sambil menjinjing ikan emas hasil tangkapanku hari ini. Tubuhku seakan kehilangan tulang saat kuperhatikan tak ada detak pada jantungnya. Kulepaskan ikan emas, kuletakkan telunjukku di kedua lubang hidungnya tak ada angin yang berhembus. Aku berteriak, meronta, meraung sejadi-jadinya. Tak rela aku mengubah dandanannya. Semua karena aku, aku yang tak memenuhi keinginannya, aku yang memperturutkan amarah. Aku telah membunuhnya. Bersama anak yang dikandungnya. Anak yang kami dambakan. Anak yang kami belum pernah melihatnya. Anak yang namanya saja belum berhasil kami temukan. Anak yang membuatku harus memancing setiap hari. Anak yang harusnya mengisi hari-hari kami. Anak yang akan menyusu pada ibunya. Tapi aku melanggar semuanya. Aku membunuhnya. Dan aku tidak sempat memohon maaf.
Makassar, 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H