Mohon tunggu...
ronisalasa mappeware
ronisalasa mappeware Mohon Tunggu... -

lahir dari sebuah keluarga sederhana beranggotakan 8 orang. menempuh pendidikan dasar hingga lanjutan atas di kabupaten bone. menyelesaikan s1 di Universitas Negeri Makassar dalam kurun waktu 7 tahun. saat ini mengabdikan diri sebagai tenaga pendidik pada sebuah sekolah islam di makassar. kecintaan pada dunia sastra, drama, dan olahraga masih tersimpan dengan baik.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Saya Anggap Cerpen

4 Oktober 2010   06:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:44 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ana` Bidadari

Roni S. Mappeware

Joran pancingku bergerak-gerak. Talinya menegang. Seekor ikan pasti telah tersangkut pada mata pancingku. Aku melangkah dengan tenang. Joran itu tak mungkin lepas, aku mengikatnya kuat pada tangkai pohon asam di tepi telaga. Sebenarnya, tak ada lagi niat untuk mengangkatnya. Hari telah menjelang siang. Tapi ada rasa ingin tahu yang sangat kuat memaksaku untuk menghampirinya. Saat hendak menarik pancing. Sesosok bayangan berkelebat di balik rindangnya daun asam. Terdengar suara tapak-tapak kecil semakin menjauh dari pokok besar asam itu. Rasa penasaran menguasaiku. Kucoba menarik pancing, namun suara selain tapak -tapak kecil menarikku untuk mengikutinya. Kulepas pancingku, setengah berlari kuikuti jejaknya pada rumput sore yang tengah menanti cumbuan embun.

Jejak itu menuju hutan. Tepatnya rimbunan pohon-pohon asam. Terlihat jelas semak tersibak . aku bergegas. Rimbun pohon asam telah berakhir. Kembali semak menutupi jalanku. Jejak itu berakhir. Tak ada bekas sibakan lagi pada semak. Aku merinding. Seluruh tubuhku bergetar. Dari posisi jongkok memeriksa jejak kuangkat badanku perlahan. Dua langkah dari tempatku ada sebuah batu besar. Besar sekali. Padanya terdapat undakan-undakan kecil. Tangga. Kucoba memperhatikan semuanya. Tepat, salah satu jejak mengarah ke batu dan jejak lain tertekan lebih dalam dari jejak yang lain. Berarti ia melompat.

Kutapaki setiap undakan itu. Tak urung kucoba menghitungnya. Hingga puncak, ada 13 undakan yang tidak teratur. Aku kini berdiri tegak. Angin sepoi menyapaku. Sinar mentari menyengat lembut. Hamparan hutan lebat berada didepanku. Terdengar suara dari sisi kiriku. Kutolehkan kepala. Hamparan bunga matahari dengan kembangnya yang menguning. Dikakinya bunga asoka warna warni. Semua bunga yang aku kenal ada di sana. Di kiri kanan kerikil-kerikil kecil berkilau.

Ia disana. Rambut panjang terurai. Gaun putih menggelembung mekar menyapu setiap jengkal tanah yang dilaluinya. Suara-suara aneh tetap terdengar. Kadang seperti terkekeh kadang justru terisak. Pelan kakiku kulangkahkan. Kulepaskan sepatu bot yang selalu kupakai saat memancing. Ah, pancingku bagaimana kabarnya. Ikan yang menggigit mata pancing itu pastinya akan kesakitan. Mungkin ia telah ikhlas menyerahkan dirinya kepadaku. Tapi ikan itu tak lebih menarik dari suara dan jejak dari bayang itu.

Setiap langkahku kubuat sangat hati-hati. Aku takut mengejutkannya. Aku telah berdiri tepat di belakangnya. Kuperhatikan setiap bagian tubuhnya untuk memastikan kakinya betul-betul menjejak bumi dan tak ada lubang memerah di punggungnya. Saat semua kulakukan ia bergerak pelan. Berdiri. Membuatku terpaku. Ia membalikkan badan. Sosoknya, senyumnya, parasnya, aku mengenalnya.

Saat kucoba untuk berkata-kata, terdengar suara merdu nan indah dari balik rimbun kembang kertas putih. Sosok anak kecil bergerak malu-malu. Kepalnya tertunduk tapi tak sedikitpun ia terantuk. Masih sambil menyanyikan "lihat kebunku" ia meraih tangan sosok itu dan bergelayut manja. Ia perlahan mengangkat wajahnya, menatapku. Tak sadar tubuhku telah merendah dan berlutut di depannya. Aku mengenalnya, aku sangat akrab dengan tatapnya, aku ingin memeluknya, aku ingin menagis di pundaknya, aku ingin melakukan apa saja untuknya, tapi siapa dia. Sesaat kemudian ia mendongak, aku pun mendongak. Kulihat sosok itu mengangguk.

Anak kecil itu menangis, tak ada suara. Air matanya bergenang lalu tumpah. Penglihatanku kabur oleh air mata. Kucoba berdiri. Kulangkahkan kaki menghampiri sosok itu. Ia tak bergeming. Wajahnya menggambarkan sedih dan bahagia. Kupeluk tubuhnya. Ia membalas memelukku, mesra. Sambil tetap berurai air mata, kusandarkan kepalaku pada pundaknya. Perlahan ia berbisik lirih, hampir-hampir aku tak dapat mendengarnya. "ia anakmu, anak kita". Tangisku pecah.

Pagi yang cerah. Seperti biasa, setelah menyiapkan sarapan ia akan berjalan-jalan di halaman sambil menyapa bunga-bunga peliharaannya. Setiap bunga itu diberinya nama layaknya manusia. Setiap bunga itu diperlakukannya seperti anaknya. Disapa, diajak bercanda dan bercengkerama. Ia telah melakukannya saat usia pernikahan kami menginjak tahun kedua dan belum juga dikaruniai seorang anak pun. Telah banyak usaha kami lakukan, semua memastikan tak ada kelainan pada kami berdua. Kami tetap menjalani hidup dengan damai, tenang, jauh dari hiruk pikuk keramaiaan desa.

Setelah berkeliling, ia menghampiriku. Ia menyampaikan mimpinya semalam. Mimpi yang membuatku terbangun. Mimpi yang membuatku bahagia. Aku mendengarkan dengan saksama, meski sebenarnya aku tahu apa yang dimimpikannya. Aku mendengar semuanya. Untuk pertama kalinya ia mengigau. "kita akan segera memiliki anak, beberapa bulan lagi aku pasti hamil. Seorang nenek menghampiriku dan menyampaikannya, hanya saja ia mengharuskan saya untuk makan ikan emas dari telaga di tepi hutan itu setiap pagi. Setiap pagi, dan harus hasil pancinganmu".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun