Mohon tunggu...
Roni Kurniawan
Roni Kurniawan Mohon Tunggu... -

menyukai sebuah senyuman

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Politik Ekonomi Pangan

8 Januari 2015   00:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:36 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

IDENTITAS BUKU

Judul Buku      : Politik Ekonomi Pangan. Menggapai Kemandirian, Mewujudkan Kesejahteraan

Penulis           :    Ir. H. E. Herman Khaeron, M.Si.

Penerbit         :    Pustaka Cidesindo

Tahun Terbit  :    2012

Tebal Buku     :    xiv + 218 Halaman

Jumlah Bab    :    6 Bab

IDENTITAS PENULIS

Ir. H. E. Herman Khaeron, M.Si. lahir di Kuningan, Jawa Barat pada tanggal 4 Mei 1969. Beliau merupakan anggota DPR RI masa jabatan 2009-2014. Sebelum menjadi anggota DPR RI, beliau merupakan Direktur Utama PT. Swadaya Budi Hartama, Jakarta pada tahun 2003-2009, Government and Public Appairs BP Indonesia pada tahun 2000-2004, Direktur Eksekutif Pusat Pemberdayaan Pembangunan Regional (P3R) di Jakarta pata tahun 2001-Sekarang, Peneliti di PT. Cides Persada Consultant Jakarta pada tahun 1998-2000, dan di PT. Aquatec Mascon Indonesia pada tahun 1996-1998.

Lulusan Master Kelautan dari Institut Pertanian Bogor ini sudah lama konsen dan peduli terhadap isu-isu pertanian dan kelautan. Beberapa pengalaman organisasi, Herman juga tidak lepas dari urusan pertanian dan kelautan, antara lain, Ketua Dewan Pengawas Gabungan Koperasi Pesisir Nusantara (GKPN), Ketua Bidang Kelautan dan Perikanan Centre for Information and Development Studies (CIDES), Pengurus Pusat Masyarakat Pembenihan dan Perbibitan Indonesia, dan masih banyak lagi pengalaman organisasi lainnya.

PENDAHULUAN

Buku ini adalah bagian dari ikhtiar meningkatkan kesadaran yang lebih membumi tentang sejumlah persoalan pangan dari sisi politik-ekonomi. Terlepas dari konsep atau paradigma yang digunakan dan kini hangat menjadi perdebatan, buku ini tidak hendak mengambil posisi pada salah satu kutub perdebatan tersebut. Yang menjadi fokus dari kajian buku ini adalah bagaimana mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan pangan, yaitu kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

ULASAN

Sejarah seringkali mencatat bahwa masalah pangan merupakan isu krusial bagi sebuah negara, ia dapat digunakan sebagai alat politik-ekonomi untuk mencapai tujuan. Sebuah negara atau bangsa yang memiliki ketahanan pangan kuat adalah negara yang memiliki kemampuan untuk mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya, dengan harga terjangkau, mudah diperoleh dan dengan kualitas baik. Terlepas darimana pangan itu diperoleh, apakah sepenuhnya hasil produksi dalam negeri atau sebagian besar diantaranya diimpor dari negara lain. Singapura adalah contoh sebuah negara yang memiliki ketahanan pangan kuat meskipun tidak memproduksi sendiri pangan yang dibutuhkan

Indonesia juga relatif memiliki ketahanan pangan yang kuat meskipun masih mengimpor sebagian kebutuhan pangannya dari negara lain. Buktinya Indonesia berani mengancam menghentikan impor daging sapi dari Australia dan juga tidak khawatir jika pasokan impor beras dari Vietnam atau Thailand dihentikan. Sebagian besar daging sapi yang dibutuhkan Indonesia adalah produk impor, sementara beras secara relatif merupakan sebagian kecil yang diimpor meskipun secara absolut jumlahnya cukup besar karena mencapai angka jutaan ton per tahun. Untuk kedua produk pangan hewani dan nabati tersebut, Indonesia tergolong memiliki ketahanan pangan yang kuat, setidaknya untuk beberapa tahun ke depan dengan asumsi tidak ada perubahan di pasar pangan secara radikal.

Secara teori dan konsep, ketahanan pangan yang kuat tidak sama dengan kedaulatan pangan yang kuat. Sebagian besar negara di dunia menganut konsep ketahanan pangan sebagaimana konsep ini dianut dan menjadi acuan lembaga internasional termasuk PBB dan FAO. Faktanya tidak ada negara yang bisa memenuhi semua kebutuhan pangan dari dalam negeri atau memproduksinya sendiri, kemudian selebihnya akan diekspor ke negara yang membutuhkannya. Yang ada adalah sebuah negara yang mengekspor jenis pangan tertentu, baik nabati atau hewani ke negara lain sekaligus juga mengimpor kebutuhan sebagian kebutuhan pangannya dari negara lain. Negara tempat mengekspor atau mengimpor itu bisa sama seperti layaknya sebuah barter, tetapi kebanyakan berbeda.

Dalam RUU Pangan yang belum lama ini dibahas, dijelaskan bahwa yang dinamakan Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa dalam mewujudkan ketahanan Pangannya, dapat menentukan kebijakan pangannya secara mandiri,  menjamin hak atas pangan bagi rakyatnya, dan memberi hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem usaha Pangannya sesuai dengan potensi sumber daya dalam negeri. Sedangkan arti dari kemandirian pangan yakni kemampuan negara memproduksi Pangan dalam negeri untuk mewujudkan ketahanan Pangan dengan memanfaatkan sebesar-besarnya potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

Hampir semua negara memiliki pola pemenuhan kebutuhan pangan berbeda yang saling tergantung dan membutuhkan karena pasokan atau produksi pangan yang ada memang dirancang dan dikondisikan terbatas atau seperlunya saja hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Jika ada kelebihan pasokan atau produksi, akan mengacaukan harga pangan dunia, hal ini sebagaimana dialami oleh petani Indonesia ketika panen raya terjadi gejolak harga berupa turunnya harga pangan. Begitu juga sebaliknya ketika terjadi kelangkaan atau kekurangan pasokan harga pangan bisa melambung tinggi dan sangat tidak rasional. Semua itu terjadi karena manajemen pengelolaan produksi pangan dan distribusinya yang tidak baik dan belum mampu dirancang atau dikondisikan pas dengan kebutuhan konsumen, sehingga harganya relatif bisa dikendalikan dan berada di kisaran yang wajar dan rasional.

Pasang Surut Ketahanan Pangan Indonesia

Di awal kemerdekaan, Indonesia pernah mengalami masa sulit akibat pasokan dan distribusi pangan yang tidak lancar. Untungnya Indonesia dikaruniai tanah yang relatif subur dan air yang begitu melimpah sehingga banyak jenis tanaman dan hewan yang bisa dimakan untuk sekedar bertahan hidup. Hingga akhir masa pemerintahan Soekarno dan awal masa pemerintahan Soeharto, Indonesia masih disibukkan dengan persoalan bagaimana mencukupi kebutuhan pangan dalam jumlah yang cukup, harga yang terjangkau, mudah mengaksesnya dan kualitasnya yang baik. Untuk menjaga stabilitas pasokan harga dan kualitas pangan yang dibutuhkan masyarakat Indonesia yang terus bertumbuh, maka pemerintahan Soeharto meluncurkan serangkaian kebijakan antara lain dengan membentuk Bulog dan memperkuat sistem dan kelembagaan departemen yang terkait dengan pertanian dan pangan. Anggaran yang dikeluarkan relatif besar dibandingkan sektor lain yang dipandang kurang strategis dan mendesak.

Sejak 1984, indonesia belum bisa dikatakan pernah mencapai swasembada beras meskipun cenderung impor berasnya semakin turun. Sejak 2007 sampai 2008, indonesia terpaksa mengimpor produk pangan, terutama beras, dalam jumlah besar sehingga banyak kalangan khawatir akan terjadinya krisis pangan yang lebih dalam.  Prestasi yang dikatakan bahwa pernah mencapai swasembada beras pada tahun 1984 sering disebut sebagai keberhasilan monumental bagi indonesia karena beras adalah makanan pokok ratusan juta penduduk indonesia, sedangkan tingkat konsumsi pangan lain masih sedikit. Idealnya harus terjadi diversifikasi pangan sehingga bukan hanya beras yang  menjadi makanan pokok.

Terlepas dari itu, berbagai penelitian mutakhir menunjukkan bahwa beras merupakan komoditas yang menduduki posisi strategis dalam proses pembangunan pertanian , karena beras telah menjadi komoditas politik dan menguasai hajat hidup rakyat indonesia. Masyarakat telah mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok sehingga beras menjelma menjadi sektor ekonomi strategis bagi perekonomian dan ketahanan pangan nasional.

Ada yang meramalkan Indonesia diprediksi akan mengalami krisis pangan pada tahun 2017 dengan mengacu dari sejumlah kasus, seperti kelangkaan kedelai pada awal 2008 atau impor beras, gula, dan komoditas pangan lain (daging sapi).

Faktanya hingga kini Indonesia masih mengimpor pangan untuk menjaga ketahanan pangan pada tingkat yang dianggap aman. Dalam konteks itu, tidaklah aneh jika sejumlah kalangan termasuk anggota DPR RI mengingatkan pemerintah agar selalu mewaspadai potensi krisis pangan nasional. Memang wajar ketika ketersediaan pangan semakin tipis atau masyarakat tidak mampu menjangkau harga pangan yang terus naik, stakeholders pangan menekan pemerintah agar mengatasi persoalan itu. Salah satu cara klasik yang ditempuh pemerintah adalah dengan mendorong petani menggenjot produksi pangan baik dengan pola intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian.

Dilema produksi dan diversifikasi pangan

Hingga tahun 2012 masalah ketanahan pangan khususnya beras menjadi persoalan besar bangsa Indonesia. Angka kuota impor beras rata-rata masih diatas angka jutaan ton. Pada tahun 2011, impornya 1,6 juta ton dan diperkirakan pada tahun 2012  tidak akan jauh bergeser. Besarnya angka impor dimaksudkan untuk menjaga ketahanan pangan agar pasokan dan harga pangan tetap terjangkau dan stabil. Sebagai negara yang berpenduduk banyak dan dengan tingkat konsumsi terhadap beras yang juga tinggi, besar kecilnya impor beras yang dilakukan Indonesia seara langsung memiliki pengaruh signifikan pada harga beras dunia. Dengan membeli 1,5 juta ton sampai 2 juta ton beras dari 8  juta ton beras yang ada di pasaran dunia, angka itu sangat mungkin akan memicu kenaikan harga beras dunia.

Keadaaannya akan beda jika tingkat konsumsi beras Indonesia diturunkan dengan cara diversifikasi konsumsi pangan. Pola konsumsi yang dominan beras menjadikan kebutuhan beras begitu besar, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah. Berbagai sumber menunjukkan bahwa pola konsumsi beras masyarakat Indonesia mencapai dua kali lipat dibandingkan konsumsi beras masyarakat negara-negara tetangga, bahkan tertinggi di dunia. Konsumsi beras indonesia saat ini adalah 139 kg per kapita/tahun. Padahal konsumsi beras Thailand dan Malaysia hanya berkisar 65-70 kg per kapita/tahun.

Jika pola konsumsi beras masyarakat bisa ditekan dan diganti dengan jenis pangan yang lain (jagung, umbi-umbian atau gandum), persoalan ketahanan pangan Indonesia akan lebih kuat karena sejumlah pangan Indonesia akan bekembang. Jagung, atau umbi-umbian (ubi jalar, singkong, uwi, suweg, gembili, talas dan ganyong) sejak lama telah menjadi makanan alternatif bagi penduduk Indonensia. Untuk itu, diversifikasi pangan adalah bagian dari upaya memperkuat ketahanan pangan meskipun tidak langsung. Dengan kata lain, semua jenis pangan baik yang berasal dari tanaman, ternak, maupun ikan, menjadi hal yang penting dalam sistem ketahanan pangan. Ketergantungan masyarakat pada jenis pangan tertentu perlu ditekan dengan menawarkan jenis pangan alternatif. Edukasi publik yang intensif diperlukan agar masyarakat mau beralih dari beras.

Memang produksi pangan kini semakin mengkhawatirkan, sejumlah ahli memperkirakan untuk periode 2000-2015 laju peningkatan produksi pangan akan turun menjadi rata-rata 1,6% per tahun. Namun angka itu masih lebih tinggi jika dibandingkan laju pertumbuhan penduduk dunia yang diprediksi 1,2% per tahun. Untuk periode 2015-2030, laju pertumbuhan produksi pangan diprediksikan akan lebih rendah lagi yakni 1,3% per tahun dan itu masih lebih tinggi daripada pertumbuhan penduduk dunia sebesar 0,8% per tahun. FAO pun memprediksi, bahwa produksi biji-bijian dunia akan meningkat sebesar 1 miliar ton selama 30 tahun ke depan dari 1,84 miliar ton tahun 2000 menjadi 2,84 miliar ton tahun 2030.

Pangan Milik Kita Bersama

Dalam beberapa dasarwarsa terakhir, dimensi politik dan ekonomi pangan terasa semakin krusial dan mengkhawatirkan. Fakta bahwa semakin sulit negara mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya sekalipun secara agregat produksi pangan dunia masih mencukupi. Rendahnya daya beli seiring dengan meningkatnya harga pangan menjadi persoalan yang mengancan ketahanan pangan sebuah negara dan kelompok masyarakat tertentu. Di sejumlah tempat, isu pangan menjadi sesuatu yang sangat sensitif dan sering dijadikan komoditas politik untuk mencapai tujuan politik. Dari perspektif ekonomi juga demikian, misalnya ketika terjadi kelangkaan pasokan, banyak pihak yang dirugikan, tetapi tidak sedikit yang menangguk keuntungan besar. Sejumlah sektor industri dan jasa yang terkait dengan pangan juga terpengaruh sehingga mengganggu stabilitas ekonomi sebagai tercermin dari tingkat inflasi yang disumbangkan sektor pangan jika ada masalah seperti kenaikan harga akibat kelangkaan pasokan atau sebab lain.

Tidak diragukan lagi bahwa pangan adalah komoditas politik dan ekonomi yang sangat strategis. Keberadaannya sangat menentukan kepentingan dan hajat hidup orang banyak sehingga tidak ada pilihan lain kecuali negara harus campur tangan terhadapnya. Negara atau pemerintah harus dapat memastikan bahwa barang strategis itu bukan hanya tersedia pasokannya dalam jumlah cukup, terjangkau dan berkualitas, tetapi harus bisa berujung pada kesejahteraan rakyat sebagaimana yang diamanatkan konstitusi. Indonesia memiliki potensi untuk mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya jika kekayaan alam berupa tanah dan air yang ada dapat dikelola secara efektif dan efisien dengan senantiasa menjaga kelestariannya.

Dengan semua potensi itu idealnya bangsa Indonesia bukan hanya mampu mencapai kedaulatan pangan yang sangat kuat tetapi memiliki kedaulatan dan kemandirian pangan dalam arti mampu memenuhi sendiri semua produksi dan mengatur distribusinya secara mandiri dan otonom. Ketahanan pangan atau apapun konsep yang sejenis dengan itu, tidak terkecuali kedaulatan dan kemandirian pangan adalah alat untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan itu sendiri. Tujuannya adalah mencapai sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Jika melalui ketahanan pangan yang kuat tujuan itu bisa dicapai, maka tidak ada salahnya jika konsep tersebut yang dijadikan acuan bangsa ini dalam mengelola pangan. Namun, adalah fakta bahwa bangsa Indonesia yang kaya potensi alam masih mengimpor pangan dari negara lain, maka hal demikian bukanlah aib atau kegagalan dalam mengelola produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Sejauh ini fakta menunjukkan bahwa kebutuhan tersebut secara umum masih bisa dipenuhi dengan jumlah yang cukup, harga terjangkau dan mutu yang tergolong baik.

Tanah air Indonesia memang relatif subur, demikian juga air Indonesia yang begitu melimpah dan Indonesia juga kaya akan sumber daya alam yang potensial dikelola menjadi sumber pangan, seperti rumput laut, ikan dan sebagainya. Idealnya Indonesia mampu memproduksi sejumlah jenis pangan utama dalam jumlah yang lebih dari cukup, dimana surplusnya bisa diekspor yang secara tidak langsung memperkuat posisi tawar Indonesia terhadap bangsa lain. Semua itu kata kuncinya terletak pada bagaimana mengelola dan mengotimalkan potensi tersebut. Dalam mengelola dan mengoptimalkan potensi tersebut mutlak adanya kerjasama yang sinergis diantara stakeholders dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dengan begitu bukan hanya kemandirian pangan yang bisa diwujudkan tetapi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang menjadi tujuannya akan segera tercapai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun