PENDAHULUAN
Buku ini adalah bagian dari ikhtiar meningkatkan kesadaran yang lebih membumi tentang sejumlah persoalan pangan dari sisi politik-ekonomi. Terlepas dari konsep atau paradigma yang digunakan dan kini hangat menjadi perdebatan, buku ini tidak hendak mengambil posisi pada salah satu kutub perdebatan tersebut. Yang menjadi fokus dari kajian buku ini adalah bagaimana mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan pangan, yaitu kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
ULASAN
Sejarah seringkali mencatat bahwa masalah pangan merupakan isu krusial bagi sebuah negara, ia dapat digunakan sebagai alat politik-ekonomi untuk mencapai tujuan. Sebuah negara atau bangsa yang memiliki ketahanan pangan kuat adalah negara yang memiliki kemampuan untuk mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya, dengan harga terjangkau, mudah diperoleh dan dengan kualitas baik. Terlepas darimana pangan itu diperoleh, apakah sepenuhnya hasil produksi dalam negeri atau sebagian besar diantaranya diimpor dari negara lain. Singapura adalah contoh sebuah negara yang memiliki ketahanan pangan kuat meskipun tidak memproduksi sendiri pangan yang dibutuhkan
Indonesia juga relatif memiliki ketahanan pangan yang kuat meskipun masih mengimpor sebagian kebutuhan pangannya dari negara lain. Buktinya Indonesia berani mengancam menghentikan impor daging sapi dari Australia dan juga tidak khawatir jika pasokan impor beras dari Vietnam atau Thailand dihentikan. Sebagian besar daging sapi yang dibutuhkan Indonesia adalah produk impor, sementara beras secara relatif merupakan sebagian kecil yang diimpor meskipun secara absolut jumlahnya cukup besar karena mencapai angka jutaan ton per tahun. Untuk kedua produk pangan hewani dan nabati tersebut, Indonesia tergolong memiliki ketahanan pangan yang kuat, setidaknya untuk beberapa tahun ke depan dengan asumsi tidak ada perubahan di pasar pangan secara radikal.
Secara teori dan konsep, ketahanan pangan yang kuat tidak sama dengan kedaulatan pangan yang kuat. Sebagian besar negara di dunia menganut konsep ketahanan pangan sebagaimana konsep ini dianut dan menjadi acuan lembaga internasional termasuk PBB dan FAO. Faktanya tidak ada negara yang bisa memenuhi semua kebutuhan pangan dari dalam negeri atau memproduksinya sendiri, kemudian selebihnya akan diekspor ke negara yang membutuhkannya. Yang ada adalah sebuah negara yang mengekspor jenis pangan tertentu, baik nabati atau hewani ke negara lain sekaligus juga mengimpor kebutuhan sebagian kebutuhan pangannya dari negara lain. Negara tempat mengekspor atau mengimpor itu bisa sama seperti layaknya sebuah barter, tetapi kebanyakan berbeda.
Dalam RUU Pangan yang belum lama ini dibahas, dijelaskan bahwa yang dinamakan Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa dalam mewujudkan ketahanan Pangannya, dapat menentukan kebijakan pangannya secara mandiri, menjamin hak atas pangan bagi rakyatnya, dan memberi hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem usaha Pangannya sesuai dengan potensi sumber daya dalam negeri. Sedangkan arti dari kemandirian pangan yakni kemampuan negara memproduksi Pangan dalam negeri untuk mewujudkan ketahanan Pangan dengan memanfaatkan sebesar-besarnya potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.
Hampir semua negara memiliki pola pemenuhan kebutuhan pangan berbeda yang saling tergantung dan membutuhkan karena pasokan atau produksi pangan yang ada memang dirancang dan dikondisikan terbatas atau seperlunya saja hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Jika ada kelebihan pasokan atau produksi, akan mengacaukan harga pangan dunia, hal ini sebagaimana dialami oleh petani Indonesia ketika panen raya terjadi gejolak harga berupa turunnya harga pangan. Begitu juga sebaliknya ketika terjadi kelangkaan atau kekurangan pasokan harga pangan bisa melambung tinggi dan sangat tidak rasional. Semua itu terjadi karena manajemen pengelolaan produksi pangan dan distribusinya yang tidak baik dan belum mampu dirancang atau dikondisikan pas dengan kebutuhan konsumen, sehingga harganya relatif bisa dikendalikan dan berada di kisaran yang wajar dan rasional.
Pasang Surut Ketahanan Pangan Indonesia
Di awal kemerdekaan, Indonesia pernah mengalami masa sulit akibat pasokan dan distribusi pangan yang tidak lancar. Untungnya Indonesia dikaruniai tanah yang relatif subur dan air yang begitu melimpah sehingga banyak jenis tanaman dan hewan yang bisa dimakan untuk sekedar bertahan hidup. Hingga akhir masa pemerintahan Soekarno dan awal masa pemerintahan Soeharto, Indonesia masih disibukkan dengan persoalan bagaimana mencukupi kebutuhan pangan dalam jumlah yang cukup, harga yang terjangkau, mudah mengaksesnya dan kualitasnya yang baik. Untuk menjaga stabilitas pasokan harga dan kualitas pangan yang dibutuhkan masyarakat Indonesia yang terus bertumbuh, maka pemerintahan Soeharto meluncurkan serangkaian kebijakan antara lain dengan membentuk Bulog dan memperkuat sistem dan kelembagaan departemen yang terkait dengan pertanian dan pangan. Anggaran yang dikeluarkan relatif besar dibandingkan sektor lain yang dipandang kurang strategis dan mendesak.
Sejak 1984, indonesia belum bisa dikatakan pernah mencapai swasembada beras meskipun cenderung impor berasnya semakin turun. Sejak 2007 sampai 2008, indonesia terpaksa mengimpor produk pangan, terutama beras, dalam jumlah besar sehingga banyak kalangan khawatir akan terjadinya krisis pangan yang lebih dalam. Prestasi yang dikatakan bahwa pernah mencapai swasembada beras pada tahun 1984 sering disebut sebagai keberhasilan monumental bagi indonesia karena beras adalah makanan pokok ratusan juta penduduk indonesia, sedangkan tingkat konsumsi pangan lain masih sedikit. Idealnya harus terjadi diversifikasi pangan sehingga bukan hanya beras yang menjadi makanan pokok.