Senang rasanya, memiliki anak pertama yang lucu, ganteng dan disukai banyak orang. Tingkahnya terkadang membuatku tersenyum sendiri. walau terkadang membuatku cemas, malu bahkan marah, tetap saja kehadirannya adalah sesuatu yang aku syukuri.
Sepertinya, anakku memiliki keistimewaan yang lebih jika dibandingkan anak yang lain. Tentu saja ini mungkin berlebihan, tapi sepertinya orang lain juga merasakan hal yang sama terhadap anaknya. Begitulah, sama sepertiku sekarang.
Tetapi, memang ada yang lain. Anakku sering sekali aku ajak jalan jalan. Begitupun dengan ayahnya. Sehingga sesekali orang lain menyapa anakku, sepertinya mereka pernah bertemu, bahkan ada yang sepertinya akrab sekali. Walaupun aku tidak mengenalnya. Mungkin mereka yang menyapa itu adalah teman ayahnya.
Suatu ketika, kami bertiga jalan bersama. Disebuah taman kota itu banyak sekali orang bersama keluarganya. Kami dikagetkan dengan seseorang yang menghampiri, tidak satupun dari kami mengenalnya. Sepertinya dia tidak salah orang, karena dia tau persis nama anakku lengkap dengan nama kakeknya. Dia memanggilnya dengan jelas dan tanpa ragu.
Kali ini aku tidak senang dengan sapaan orang tak dikenal itu. Kalimat terakhirnya membuatku marah dan malu yang belum kurasakan sebelumnya. Entah disengaja atau tidak, perkataannya membuatku enggan untuk melanjutkan perjalanan hari itu.
Lengkap sudah perasaan yang tak mengenakan di sore itu, karena seseorang yang mengikutinya kemudian mengiyakan kalimat sebelumnya.
"Ooh, ini cucunya PKI itu, ya".
Kalimat itu diungkapkan dengan nada yang sinis. Terang saja mereka tidak menunggu reaksi kami. Mereka berlalu tanpa melihat kami dengan kemarahan yang sangat.Â
Sepertinya kalimat itu dikatakan dengan suara yang keras, karena beberapa orang disekelilingku melihat kami bertiga. pandangan mereka berputar diantara kami. Meskipun tak ada kata dari mereka, tapi bagiku mereka sedang berteriak. "PKI!". Bahkan aku merasa seisi dunia berteriak dengan kata yang sama.
Ingin rasanya aku mengejar mereka yang tadi menghampiriku, untuk bertanya tentang identitas dan alasan apa mereka berkata seperti itu. Agar mereka yang disekelilingku tau, bahwa kalimat adalah kalimat yang sangat menyakitiku.
Sebelumnya, tuduhan PKI itu memang pernah aku dengar. Tuduhan itu dengan cepat menyebar di media sosial, dunia maya yang tak pernah kubayangkan, akan tiba langsung dengan nyata kepadaku. Seperti saat ini.
Andai saja mereka tau, tuduhan PKI kepada keluargaku adalah fitnah, HOAX, bohong belaka. Andai saja mereka mengenal kami dari kami langsung, bukan dari orang lain yang dengan sengaja menyebarkan berita bohong tersebut. Andai saja mereka merasakan apa yang kami rasakan. Tentu mereka tidak akan berkata seperti tadi.
Aku bergegas memeluk dan menggendong anakku. Pergi meninggalkan mereka, dengan harapan tidak akan pernah bertemu lagi. Hingga kapanpun, dalam mimpi sekalipun.
Anakku belum mengerti apa yang kurasakan, dia juga belum mengerti apa yang baru saja terjadi. Aku berharap dan berdoa, kelak tuduhan, fitnah dan berita bohong itu dipahami semuanya, bahwa itu semua hanyalah strategi lawan politik, strategi yang ampuh, telak seperti yang aku rasakan sekarang.
Dalam keterpurukan seperti ini, aku selalu ingat perkataan ayahku. Dia selalu berkata dengan tenang.
"Biarkan saja, Karena dibalik fitnah itu ada berkah. Kita harus tetap berdiri kokoh. Karena diantara penghinaan itu ada kemuliaan yang harus kita jaga dan kita pertahankan. Seperti pohon, semakin besar maka semakin banyak angin yang menerjang".
Sesampainya di rumah, kegelisahan yang kurasakan lenyap dengan seketika. Karena kembali tingkah anakku membuatku tersenyum. Anakku adalah anugrah titipan Tuhan. Dia adalah salah satu dari sekian hal yang aku syukuri.
***
cerita ini hanyalah fiktif belaka, mohon maaf jika ada kesamaan tokoh dan jalan cerita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H