Andai saja mereka tau, tuduhan PKI kepada keluargaku adalah fitnah, HOAX, bohong belaka. Andai saja mereka mengenal kami dari kami langsung, bukan dari orang lain yang dengan sengaja menyebarkan berita bohong tersebut. Andai saja mereka merasakan apa yang kami rasakan. Tentu mereka tidak akan berkata seperti tadi.
Aku bergegas memeluk dan menggendong anakku. Pergi meninggalkan mereka, dengan harapan tidak akan pernah bertemu lagi. Hingga kapanpun, dalam mimpi sekalipun.
Anakku belum mengerti apa yang kurasakan, dia juga belum mengerti apa yang baru saja terjadi. Aku berharap dan berdoa, kelak tuduhan, fitnah dan berita bohong itu dipahami semuanya, bahwa itu semua hanyalah strategi lawan politik, strategi yang ampuh, telak seperti yang aku rasakan sekarang.
Dalam keterpurukan seperti ini, aku selalu ingat perkataan ayahku. Dia selalu berkata dengan tenang.
"Biarkan saja, Karena dibalik fitnah itu ada berkah. Kita harus tetap berdiri kokoh. Karena diantara penghinaan itu ada kemuliaan yang harus kita jaga dan kita pertahankan. Seperti pohon, semakin besar maka semakin banyak angin yang menerjang".
Sesampainya di rumah, kegelisahan yang kurasakan lenyap dengan seketika. Karena kembali tingkah anakku membuatku tersenyum. Anakku adalah anugrah titipan Tuhan. Dia adalah salah satu dari sekian hal yang aku syukuri.
***
cerita ini hanyalah fiktif belaka, mohon maaf jika ada kesamaan tokoh dan jalan cerita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H