Mohon tunggu...
R_82
R_82 Mohon Tunggu... Wiraswasta - Adalah seseorang yang hidup, menghidupi dan di hidupkan OlehNya. Begitupun dengan kematian dan semua diantaranya. tanpa terkecuali.

Bukan sesiapa yang mencari apa dibalik mengapa dan bagaimana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[RAMEN] Harapanku Pada Tanah Kelahiran

10 Januari 2012   05:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:06 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_154984" align="aligncenter" width="574" caption="Dok pribadi. R-82"][/caption] * Oleh: R-82 No: 46

Maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok. Kepada langit, kepada bumi dan pada udara yang tiada lelah memberiku kehidupan.

Teringat pada masa kecil. Dari balik kaca jendela ruangan tengah, aku tatap hujan turun membasahi halaman rumah. Riak air berloncatan ketika butiran hujan jatuh pada genangan itu.

Ingin rasanya aku sesegera mungkin membuka pintu. Berlarian di tengah hujan saat itu. Menginjak genangan, meraba air yang berapa pada pucuk dedauanan, mengusap air yang sesekali mengenai mata.

Sesekali aku arahkan pandangan ke atas langit. Sedikit kubuka mata, nyaris kupejamkan. Kubuka lebar kedua tangan, biarkan air hujan membasahi seluruh tubuh. Rasanya begitu bebas, lepas seperti jutaan tetes air hujan. Mereka terbang berjatuhan diudara dengan asal mereka yang tak dapat aku lihat berada dimana. Karena aku sejak tadi mengintipnya, namun tidak pernah kutemukan darimana mereka berasal.

Buyar sudah lamunanku, juga kuurungkan niat membuka pintu untuk berlarian di tengah hujan. Saat ibuku datang dan menyapa. Ditangannya sebuah nampan berisi teh panas beserta makanan ringan yang rasanya masih menempel dilihaku, hingga saat ini.

Aku suka saat seperti itu. Ibuku bercerita dengan iringan rintik hujan diluar sana. Makanan ringan itupun mencair setelah kunikmati rasanya, mereka perlahan kutelan dengan temannya yang sudah siap aku pegang di tangan kanan. Aku suka rasanya, aromanya dan aku suka ketulusan ibuku membuatnya. Semua terasa enak dan selalu kunantikan. Hingga aku heran, ibuku bisa membuat obat yang pahit itu terasa manis, sehingga ketika aku sakit, aku tidak pernah segan untuk menelan aneka obat. Dengan semua ceritanya itu, semua obat terasa manis untukku.

Hujan mulai reda. Tegukkan teh panas mengiringi pintaku kepada ibu. Aku bersiap membuka pintu rumah, mencari pelangi yang biasa terlukis indah di atas sana. Senyum ibuku seakan memastikan, ijin itu telah aku dapat. Seketika itupun aku berlari menuju temanku yang telah menunggu di depan rumah.

Aku tidak takut air, kuman dan segala yang dikhawatirkan ibuku. Dengan riang aku injak genangan, cipratkan air mengenai temanku yang sudah basah kuyup sejak tadi. Mereka sudah bermain sejak hujan masih deras. Kini mereka berlari menuju pematang sawah. Aku Mengikuti dengan bersemangat. Hingga aku lupa dengan pelangi yang aku cari. Pelangi itu sudah ada sejak aku keluar rumah membentang diatas langit yang cerah selepas hujan.

Rasanya aku tak tahan lagi. Aku raih tanah sawah itu dan kulemparkan. Mengarah kepada temanku sudah mulai perang tanah itu. Tak jelas siapa musuh dan kawan. Kami hanya melempar kepada orang lain. Tak peduli dengan kotor dan basah. Hingga aku lupa, nanti akan mendapat jeweran ketika pulang.

Beberapa saat kemudian, aku sedang di bawa ibuku menuju ke kamar mandi. Telingaku terasa panas karena sedetik lalu terkena jeweran. Ibuku terus berbicara sambil memandikan. Aku diam saja, seraya berjanji esok tidak akan ku ulangi lagi.

***

Hari ini, dua puluh tahun telah berlalu. Aku kembali bisa menatap hujan dari kaca jendela yang sama. Tak bisa ku bayangkan, begitu kokoknya bangunan tua ini. Telah melindungi selama ini. Tapi tidak sama dengan ibuku yang kini telah banyak perubahan.

Keriput wajah tak bisa dia tolak lagi. Umurnya tidak bisa disembunyikan lagi, tidak muda dan kuat seperti sebelumnya. Kini aku yang membuatkannya secangkir teh panas dalam ruangam yang sama seperti waktu aku kecil dulu.

Bu, aku tidak bisa bercerita seperti ibu dulu. Aku tidak bisa membuat obat ini terasa manis. Tapi, minumlah obat ini, Bu! Agar ibu cepat sembuh.

Marahi dan jewer aku lagi seperti dulu, Bu! Aku tidak merasa sakit hati. Aku tidak akan melawan dan membantahnya. Semua kasih sayang ibu dulu tidak akan pernah aku lupakan. Hingga saat seperti sekarang ini.

Bu, bicaralah! Jangan hanya terbaring dan diam saja. Aku rindu ibu bercerita dalam hujan seperti ini. Dan aku sekarang tidak akan berniat berlari di tengah hujan lagi. Aku sudah siap mendengar hingga ibu lelah bercerita disini.

***

Tak dapat kupungkiri, dia sudah lelah bercengkrama dengan waktu. Tak terelakan lagi, masa masa bersamanya telah terenggut dan tak akan kembali lagi. Belum pernah aku bayangkan sebelumnya, dia yang dulu selalu memandikanku, kini tengah dimandikan untuk disemayamkan.

Ditanah kelahiranku ini. Aku meminta, momohon, berharap, bersujud dengan segala kesungguhan. Berikan dia tempat yang terbaik. Berikan dia kebahagiaan yang paling indah, sehingga dia pernah membayangkan akan mendapatkannya.

Dan aku yakin, ibu akan mendapatkan semua itu. Amiiin.

***

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menujuke sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun