[caption id="attachment_154984" align="aligncenter" width="574" caption="Dok pribadi. R-82"][/caption] * Oleh: R-82 No: 46
Maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok. Kepada langit, kepada bumi dan pada udara yang tiada lelah memberiku kehidupan.
Teringat pada masa kecil. Dari balik kaca jendela ruangan tengah, aku tatap hujan turun membasahi halaman rumah. Riak air berloncatan ketika butiran hujan jatuh pada genangan itu.
Ingin rasanya aku sesegera mungkin membuka pintu. Berlarian di tengah hujan saat itu. Menginjak genangan, meraba air yang berapa pada pucuk dedauanan, mengusap air yang sesekali mengenai mata.
Sesekali aku arahkan pandangan ke atas langit. Sedikit kubuka mata, nyaris kupejamkan. Kubuka lebar kedua tangan, biarkan air hujan membasahi seluruh tubuh. Rasanya begitu bebas, lepas seperti jutaan tetes air hujan. Mereka terbang berjatuhan diudara dengan asal mereka yang tak dapat aku lihat berada dimana. Karena aku sejak tadi mengintipnya, namun tidak pernah kutemukan darimana mereka berasal.
Buyar sudah lamunanku, juga kuurungkan niat membuka pintu untuk berlarian di tengah hujan. Saat ibuku datang dan menyapa. Ditangannya sebuah nampan berisi teh panas beserta makanan ringan yang rasanya masih menempel dilihaku, hingga saat ini.
Aku suka saat seperti itu. Ibuku bercerita dengan iringan rintik hujan diluar sana. Makanan ringan itupun mencair setelah kunikmati rasanya, mereka perlahan kutelan dengan temannya yang sudah siap aku pegang di tangan kanan. Aku suka rasanya, aromanya dan aku suka ketulusan ibuku membuatnya. Semua terasa enak dan selalu kunantikan. Hingga aku heran, ibuku bisa membuat obat yang pahit itu terasa manis, sehingga ketika aku sakit, aku tidak pernah segan untuk menelan aneka obat. Dengan semua ceritanya itu, semua obat terasa manis untukku.
Hujan mulai reda. Tegukkan teh panas mengiringi pintaku kepada ibu. Aku bersiap membuka pintu rumah, mencari pelangi yang biasa terlukis indah di atas sana. Senyum ibuku seakan memastikan, ijin itu telah aku dapat. Seketika itupun aku berlari menuju temanku yang telah menunggu di depan rumah.
Aku tidak takut air, kuman dan segala yang dikhawatirkan ibuku. Dengan riang aku injak genangan, cipratkan air mengenai temanku yang sudah basah kuyup sejak tadi. Mereka sudah bermain sejak hujan masih deras. Kini mereka berlari menuju pematang sawah. Aku Mengikuti dengan bersemangat. Hingga aku lupa dengan pelangi yang aku cari. Pelangi itu sudah ada sejak aku keluar rumah membentang diatas langit yang cerah selepas hujan.
Rasanya aku tak tahan lagi. Aku raih tanah sawah itu dan kulemparkan. Mengarah kepada temanku sudah mulai perang tanah itu. Tak jelas siapa musuh dan kawan. Kami hanya melempar kepada orang lain. Tak peduli dengan kotor dan basah. Hingga aku lupa, nanti akan mendapat jeweran ketika pulang.
Beberapa saat kemudian, aku sedang di bawa ibuku menuju ke kamar mandi. Telingaku terasa panas karena sedetik lalu terkena jeweran. Ibuku terus berbicara sambil memandikan. Aku diam saja, seraya berjanji esok tidak akan ku ulangi lagi.