Ganjar Pranowo memang cukup singkat, kurang lebih hanya setengah jam, namun meniupkan banyak cerita sejarah. Bayangan masa silam yang pernah terjadi di tanah Lombok seperti tak bisa dicegah hadir kembali.
KunjunganIa tiba di wisma Raden Soedjono, di Desa Tete Batu, Lombok Timur pada Sabtu 19 Maret 2022. Ornamen bangunannya tampak masih kental Hindia Belanda, barang-barang lawas peninggalan dulu juga bertebaran di tiap sudut.
Ada sekitar 29 koleksi foto yang terpajang di dinding salah satu ruangan. Ganjar bangkit dari kursi, lalu berkeliling mengamati foto itu satu persatu. Ada gambar ketika dr. Raden Soedjono berkumpul bersama kawannya, atau saat ia bersama pasiennya di rumah miskin, tempat pengobatan gratis untuk masyarakat tak mampu.
Ribuan masyarakat Lombok pernah dihajar wabah lepra atau kusta, sebuah penyakit kulit yang mengerikan dengan penyebaran begitu cepat. Lebih-lebih saat itu orang-orang masih mengandalkan dukun untuk pengobatan.
Raden Soejono lah yang menjadi dokter pertama di Lombok untuk menangani wabah itu pada tahun 1910. Ia ditugasi pemerintah Hindia Belanda yang saat itu cemas dan ketakutan menghadapi serangan wabah. Stigma buruk sempat dialami penderitanya, hingga harus diasingkan.
Dokter Soedjono perlahan-lahan menyingkirkan momok itu. Di tengah keterbatasan perlengkapan medis, ia berjuang mengobati ribuan pasien. Pertama-tama dia mendirikan klinik agar memudahkan pengobatan.
Ketelatenan dan keramahan Soedjono dalam melayani masyarakat, membuat dia menjadi dokter yang disukai warga. Soedjono juga senang berkeliling kampung berbincang dengan warga, dan selalu ringan tangan memberi pertolongan.
Sampai akhirnya ia mendirikan Rumah Miskin, tempat pengobotan gratis. Orang tua, anak-anak semuanya datang ke Saoedjono. Bahkan tidak sedikit pasien anak-anak yang dia sekolahkan agar kelak punya kehidupan yang lebih baik.
Di tengah pengabdiannya, pada 1930, saat sang doker bertugas di Kabupaten Lotim, dia sempat membangun sebuah rumah di kawasan Tete Batu. Rumah itu digunakan sebagai tempat istirahat Soedjono bersama teman-temannya.
Rumah itulah yang kini dikunjungi Ganjar Pranowo. Rumah tersebut telah menjadi wisma penginapan. Bung Karno juga pernah singgah dan beristirahat di wisma ini saat kunjungannya ke Lombok.
Kedatangan Ganjar disambut hangat cucu dokter Soedjono yang kini mengelola wisma. Obrolan pun mengalir deras. Lebih-lebih dokter Soedjono rupanya asli kelahiran Karanganyar, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.
Aku membayangkan, 100 tahun lalu Lombok mungkin bukan apa-apa. Jalannya tentu masih tanah. Dan seorang dokter dari Jawa Tengah dikirimkan untuk mengatasi lepra. Sulit dibayangkan bagaimana perjuangan sang dokter di tengah keterbatasan obat-obatan dan alat medis. Pastilah tak mudah.
Bahkan ada cerita, karena keakrabannya dokter Soedjono dengan masyarakat, membuat Belanda ketar ketir, disangka sedang merencanakan perlawanan. Namun kedekatan sang dokter dengan masyarakat tak ubahnya adalah sebuah ketulusan, sebuah bentuk pengabdian, ia akan mengulurkan tangan jika ada yang membutuhkan pertolongan.
Masa Soedjono dan Ganjar adalah jaman yang jauh berbedaa, terpaut lebih dari satu abad. Tapi sebuah perjuangan tak mengenal batas waktu.
Jika Soedjono kemudian memelopori berdirinya lembaga pendidikan bagi anak-anak Lombok yang namanya kini telah berganti menjadi SMPN 2 Selong, Â Ganjar juga mendirikan sekolah gratis SMK Negeri Jateng untuk masyarakat miskin.
Sejarah, kita tahu, terus memanen orang-orang hebat. Mereka menghadirkan terobosan dan kebaruan-kebaruan untuk generasi selanjutnya. Kita beruntung bisa belajar dari mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H