Aku menyeka keringat dengan ujung baju olahragaku, sore ini langit terlihat lebih pekat dari hari-hari sebelumnya. Mendung menggelayut angkuh di beberapa sisi, senjapun enggan berdandan, begitu pucat. membuat suasana sore ini terasa seperti di film-film horor, atau ah hanya perasaanku saja.
Dengan gontai ku langkahkan kakiku kerumah, aku lebih bahagia, lebih lebih dan lebih merasa sanggup bernafas lega dimanapun, asal tak di rumah, menatap wajah ibu dan kakak ku membuatku sulit bernafas, bahkan untuk menghembuskan nafas dadaku sesak, sakit.
Yah, mungkin sedikit kasar, tapi itulah nyatanya. Lingkunganku, keluargaku hancur. Urat kemaluan mereka sepertinya sudah di putus oleh tuhan. Air langit akhirnya turun, aku tidak berlari, menengadahkan kepala untuk menatap hujan, menerima tetes demi tetesnya, membiarkannya mengguyurku, biarkan.. biarkan sesakku mereka basuh, sehingga borok-borok di hatiku sedikit berkurang.
==
Semakin malam semakin ramai, seperti itulah tempat tinggalku, dengan beberapa lelaki asing yang biasa ku sebut lelaki hidung belang di beberapa sudut kampung, sedang bernegoisasi kepada makelar si ‘kupu-kupu malam’, dan aku tau apa yang sedang mereka bicarakan.
Akhirnya kakiku sampai di depan rumah, seperti biasa banyak sekali gadis-gadis nakal berpakaian minim menyapaku
“Bayu.. gantengnyaa..“ ih, suara mereka terdengar manja, aku jijik mendengarnya.
“nak, setelah ini lekas mandi yaa, ibu sudah siapkan makanan, panaskan dulu..” ibu hanya sempat berucap singkat, setelah itu pergi bersama lelaki yang entah siapa lagi. Di ruang tamu, kakak ku berbuat hal yang seharusnya tak pantas ku lihat, entah apa yang terjadi dengan semua orang disini, mereka hanya menganggap itu semua hanya permainan dan sumber penghasilan.
Banyaaak sekali janin yang belum sempat menatap dunia terbuang, layaknya sampah. Bahkan janin yang belum ditiupkan ruh oleh sang kuasa. Hampir setiap hari ada saja gumpalan daging yang terbungkus koran atau kain tipis di pinggir-pinggir jalan kumuh.
Aku ingin pergi, aku ingin menghilang, tapi tak mampu. Aku sungguh menyayangi kakak dan ibuku melebihi apapun, sungguh. Namun mereka seakan tak peduli dengan kegelisahanku, berulang kaliii ku ajak mereka pergi dari sini, dari tempat kumuh dan penuh nista ini, namun apa tanggapan mereka? Nihil. Kedua wanitaku menolak dengan alasan yang sungguh membuatku ingin menjerit frustasi,
“apasih bay? Biasa aja kalii.. bukannya malah enak banyak cewek cantik disiini?” jawab kakak ku kala itu, aku hanya mendengus kesal. Ku jawab saja dengan cuek,
“mereka tidak cantik dan menarik, semuanya hanya terlihat murah mbak”
Kakak ku tersentak dan sepertinya ikut tersinggung, akhirnya ibu memnengahi sebelum pembicaraan kami berujung pertengkaran,
“iya nak.. kalo sudah beres urusan disini dan ibu mendapat banyak uang kita pasti segera pindah” ucapnya kala itu.
Ah aku sudah lelah membicarakan dan mengingatkan kedua wanitaku. Mereka tidak berhak dimiliki siapapun! Hanya itu yang kupikirkan. Apalagi kakak ku sudah pernah membuang janin tak berdosa, dia memang tak pernah bercerita pada ibu apalagi padaku, namun shubuh itu kakak tertangkap sudut mataku sedang mengendap-ngendap menuju sumur belakang rumah, dengan membawa bungkusan yang entah apa, tapi dari warnanya aku tau jelaas bahwa itu darah segar yang merembes dari dalam. Kakak ku tak sadar aku memperhatikan sedari tadi, tanpa rasa bersalah ia melemparkan janin yang sebenarnya adalah keponakanku itu kedalam tong sampah.
Aku hanya bisa terus berharap tuhan memberi hidayah pada mereka, iya.. mereka semua yang ada disini, yang terputus urat malunya, agar tuhan mau membasuh gelapnya hati mereka, memberikan sedikit kepekaan rasa kasihan pada mereka, doaku malam ini di seperempat malamku.
==
Seperti biasa, aku berangkat ke sekolah sebelum kakak dan ibuku bangun, aku tau mereka semalam pulang sangat malam, yang penting sudah ku gugurkan kewajibanku membangunkan mereka untuk sholat shubuh.
==
Hatiku mencelos menatap kampung ku sudah hangus, tangis pecah dimana-mana, beberapa gadis yang menjadi anak buah ibuku juga terlihat di beberapa tempat, menangisi entah apa, pakaiannya mungkin.
Pandangan ku liar, menatap sekeliling, mencari kedua wanitaku, ibu.. kakak! Dimana kalian, aku memaksa menerobos masuk garis polisi, benakku penuh akan bayangan-bayangan kampung ini, kegelapan, kenistaan, dusta, zina, perjudian, pembunuhan bayi tak berdosa, ibuku, kakakku.. semua berkumpul menjadi satu, aku sedikit berlari menuju rumah, seharusnya aku pulang sekolah lebih awal sesalku dalam hati, mataku basah, beberapa bulir air mata membasahi pipiku, ku usap kasar dengan lenganku.
Kakiku tertahan, pandanganku nanar menatap 2 mayat perempuan yang tergeletak tak jauh dari kakiku, tiba-tiba lututku lemas, aku menangis dalam diam, seraya memukul-mukul dada, ada sakit di dalam sana, 2 wanitaku terbujur kaku, kulit mereka menghitam, beberapa bagian tubuh mereka melepuh karena terbakar, rambut ibu bahkan habis.
Aku sangat menyesal, menyesal karena tak mendampingi kematian mereka dengan bacaan syahadat dan kalimat tahlil, kini tinggal mayat yang menghitam karena terbakar. Ya Allah ampuni dosa ibu dan kakak ku, ringankan siksa Mu, maafkan aku tak bisa lebih giat mengajak mereka kembali ke jalan Mu..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H