Mohon tunggu...
Ronald Anthony
Ronald Anthony Mohon Tunggu... Dosen - Penulis Lepas

Hanya seorang pembelajar yang masih terus belajar. Masih aktif berbagi cerita dan inspirasi kepada sahabat dan para mahasiswa. Serta saat ini masih aktif berceloteh ria di podcast Talk With Ronald Anthony on spotify.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Saturday Morning #51 - "The Eccendentesiast"

22 Mei 2021   13:34 Diperbarui: 22 Mei 2021   13:35 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kuliah tadi malam berlangsung seru sekali, waktu satu setengah jam yang syaa pakai rasanya belum cukup untuk berdebat soal berbagai macam hal, masih banyak rasanya yang perlu dibahas. 

Tadi Malam perbincangan dan diskusi seru itu berlangsung karena bicara soal Korupsi di Indonesia dan berbicara soal "KARAKTER". Mengapa Koruptor di Indonesia ketika tertangkap selalu bahagia sedangkan mereka di luar negeri wajahnya sangat menyedihkan.

Mahasiswa pada menyinggung soal kepribadian orang Indonesia yang selalu menganggap enteng suatu persoalan, sehingga mungkin dianggap sebagai cobaan dan pasti ada jalan keluarnya nanti. 

Di sisi lain ada juga mahasiswa yang menjawab dengan istilah psikologi "The Eccendentesiast". Wah semakin menarik, saya pernah dengar soal ini tapi kemudian di flash back oleh mahasiswa soal ilmu dalam psikologi ini.

"The Eccendentesiast" adalah sebuah istilah dalam dunia psikologi, yang mana orang yang selalu mampu menunjukkan raut wajah yang gembira meski hatinya tengah terluka. Ia pandai menyembunyikan perasaaanya yang sebenarnya. Gara-gara ini saya ingat cerita jaman kuliah dulu yang saya baca di majalah kampus soal "MENJADI BADUT". 

Kisahnya kurang lebih seperti ini, suatu hari ada seorang pria datang ke psikiater untuk berkonsultasi kepada psikiater itu, ia menceritakan berbagai keluhan dan masalahnya  yang ia alami. 

Setelah panjang lebar ia bercerita sampailah ia pada tahap mengeluh atas hidupnya. Mulai dari "Kenapa saya harus terus ditimpa masalah?" , "Kok rasanya saya selalu ditimpa masalah terus?". Saya Bingung sampai rasa-rasnaya saya tidak mau hidup lagi saja. Berat rasanya menjalani hidup ini. 

Keluhan-keluhan itu saja yang berulang kali yang terus dilontarkan oleh pria tersebut, setelah mulai tenang dan pria itu tidak bebricara lagi tentang keluhannya, maka sang psikiater mulai berbicara dan menelurkan beberapa solusi salah satunya adalah "Apakah anda tahu bahwa di sekitar taman kota, ada seorang badut yang sangat terkenal? 

Dia pandai membuat orang frustrasi seperti anda tersenyum. Mengapa anda tidak mencoba menghampirinya nanti sore? Anda akan merasa sedikit terhibur.

Seketika ruangan konsultasi menjadi hening membisu, tidak ada suara sama sekali. Tak lama sang pasien kemudian berdiam diri dan menunduk, lalu air mata nya mulai menetes semakin lama semakin banyak. Kemudian pasien mulai berbicara sambil terisak-isak "Bagaimana saya bisa terhibur oleh badur resebut?" tanyanya. 

Si Psikiater pun kemudian bingung sambil ia bertanya kembali tanyanya "Memangnya ada apa? Banyak kok pasien saya yang melakukan hal yang sama?" jawab sang psikiater. Lalu sambil menahan air mata dan sesak di dadanya, pasien itu lalu menjawab: "Karena... sayalah badut itu."

Kisah soal badut diatas bisa jadi juga ada dalam diri kita, Tiap manusia pun pasti punya masalah. Bahkan mereka yang nampaknya ceria dan bahagia pun, pasti juga punya sesuatu yang sedang mereka pusingkan. Lantas apakah bisa kita katakan badut yang selalu ceria diatas sebagai sebuah "KEPALSUAN"? 

Karena kerap kali orang mengatakan, ahhh depannya saja bagus kalau di dalam bisa jadi mereka punya banyak maslaah. Menanggapi itu, saya bisa dengan tersenyum saja dan sambil mengatakan, bahwa kisah badut diatas adalah memang tugas dia untuk menghibur orang, Kan tidak mungkin ada badut yang raut wajahnya sedih dan kerjanya cuma melamun saja? Itu mah bukan badut namanya.

Gara-gara ini saya juga teringat kejadian kurang lebih sebulan yang lalu, dan sudah sempat saya ingin tulus, namun sampai sekarang belum ketemu benang merahnya, syukurlah cerita atau kejadian ini bisa saya masukkan disini. Kejadian ini sebetulnya sangat sederhana sekali tapi menurut saya bisa berdampak bagi orang lain. 

Ceritanya hari senin, saya mampir ke pasar untuk beli sayuran, kemudian ketika sibuk membeli sayur kemudian saya mendengar percakapan antara dua orang yang kurang lebih bunyinya seperti ini, "Kamu Ndak Sekolah Kah?" Tidak, ujar penjual sayur yang masih belia itu, "Kenapa ndak sekolah, pasti malas ya, atau tidak punya biaya?" ujar orang itu menimpali.

Saya tidak mau sekolah jak, ndak alasan apa-apa, ujar tukang sayur yang masih belia itu. Lalu jawaban bapak tadi sangat di luar dari nalar saya "Pasti malas kan, maka-nya ndak sekolah, sekolah negeri kan gratis", ujar bapak-bapak itu. 

Ternyata setelah saya liat wajah bapak itu saya akhirnya kenal siapa bapak itu, Seorang yang resek dan pernah menjadi kepala sekolah di yayasan dalam sekolah kami. Yang kemudian berhenti karena tidak tahan dengan idealis yang ia miliki.

Sejenak saya kaget dengan respon itu, seraya kemudian saya melihat raut wajah penjual sayur yang belia itu sedikit muram. Yang awalnya sangat bersemangat menjadi lemah tak berdaya. 

Hmmm ujar saya, biarkan jak kak, bapak itu memang resek biarkan je. Saya kemudian berpikir kok bisa tega-teganya bapak itu mengatakan hal seperti itu. 

Mudah dalam menilai orang lain, tanpa memikirkan perasaan orang itu sendiri. Mungkin setelah kamu mengatakan hal itu kamu bisa berlalu dengan enteng, tetapi ada orang yang menjadi murung akibat perkataan mu itu. 

Idealnya, dalam hidup setiap kebahagiaan maupu kesedihan itu harys diekspresikan dengan apa adanya. Tidak ditutup-tutupi. Klau sedih ya sedih, kalau bahagia ya bahagia simple. 

Pada dasarnya mirip dengan prinsip jika ya, katakan ya, jika tidak maka katakan pula tidak. Tapi, jangan lupa juga bahwa kita hidup di bawah nilai-nilai kepantasan dan kepatutan.

Seringklai kita tidak bisa blak-blakan mengekspresikan apa yang kita rasakan bukan karena kita adalah orang yang palsu, tapi lebih karena kita merasa bahwa semua memang ada waktu dan tempatnya sendiri. Sehingga, lebih baik jika anda ingin mengekspresikan segala sesuatu sesuai dengan tempat dan kondisinya.

*)Ronald Anthony  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun