Tidak terasa perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China sudah hampir berlangsung selama satu tahun. Pertanyaannya, siapakah korban perang dagang AS vs China?
Baca : USD 470 miliar akan hilang akibat perang dagang
China
Suka atau tidak suka banyak orang yang mengakui termasuk saya, bahwa China masih berfungsi menjadi pabrik dunia. Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, sangat mudah bagi pabrik di China untuk mencapai skala ekonomi.
Belum lagi pasokan tenaga kerja yang besar dan didukung dengan sistem pendidikan yang semakin baik. Sehingga mudah bagi pabrik untuk mendapatkan tenaga kerja terampil dengan gaji yang lebih murah dibandingkan negara maju seperti Amerika Serikat (AS).
Tarif AS yang dikenakan kepada semua impor barang eks China membuat ekonomi mengalami perlambatan. Pemerintah China menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2019 menjadi 6 persen dari 6,5 persen sebelumnya.
Amerika Serikat
Donald Trump sebagai inisiator pernah berkata bahwa sangat mudah untuk memenangkan perang dagang. Apakah begitu? Yang jelas AS sampai saat ini tidak bisa mengklaim telah menang dalam perang dagang.
Malah yang terjadi adalah perusahaan dan konsumen di AS membayar biaya tambahan sebesar USD 4,4 miliar per bulan atau sekitar 61,6 triliun rupiah per bulan, pada tahun 2018 akibat tarif perang dagang. Menurut ekonom Bank Sentral New York, Universitas Princeton, dan Universitas Columbia, dapat disimpulkan bahwa pihak atau negara yang dikenai tarif perang dagang tidak membayar satu sen pun biaya tambahan akibat tarif.
Para petani kedelai AS menjadi korban, akibat perang dagang mereka tidak bisa mengekspor hasil produksinya ke China. Padahal China adalah pasar ekspor kedelai terbesar bagi petani AS. Tentu bukan hanya petani kedelai yang menjadi korban, perusahaan AS lain yang mengandalkan pasar ekspor juga mengalami hal yang sama. Harley Davidson sampai mempertimbangkan untuk memindahkan fasilitas produksi ke luar AS untuk menghindari tarif masuk yang salah satunya diterapkan oleh Uni Eropa.
Tujuan dari perang dagang yang dimulai Donald Trump adalah menurunkan defisit neraca perdagangan. Apakah berhasil?
Mengutip BBC.com, defisit perdagangan AS memecahkan rekor 10 tahun. Defisit perdagangan AS terhadap seluruh negara di dunia mencapai USD 621 miliar tertinggi dalam 10 tahun. Ekspor AS masih meningkat sebanyak USD 148,9 miliar namun impor meningkat lebih tinggi yaitu sebesar USD 217,7 miliar.
Dunia
Perang dagang yang melibatkan dua ekonomi terbesar dunia, tidak bisa tidak akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dunia. Terlebih lagi Uni Eropa juga tidak terlepas dari serangan perang dagang AS. Jangan lupa China, India, dan Indonesia adalah negara G20 (20 negara dengan nilai ekonomi terbesar di dunia) yang memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi.
China bahkan dianggap sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi dunia.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2019 versi IMF telah diturunkan menjadi 3,5 persen dari sebelumnya 3,7 persen. Harga komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia, juga menurun.
Kalau melihat data-data di atas, tidak ada negara yang diuntungkan dengan adanya perang dagang. Seluruh dunia menjadi korban perang dagang AS VS China.
Sekarang ini sudah ada sedikit titik terang bahwa perang dagang akan segera berakhir. Pihak AS dan China sama-sama mengatakan bahwa ada kemajuan yang berarti dalam negosiasi dagang kedua negara.
Artikel ini juga ditayangkan di situs pribadi penulis
Salam
Hanya Sekadar Berbagi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H