Hak angket DPR terhadap KPK, masih berjalan walaupun sebenarnya sebagian besar rakyat tidak setuju dengan tindakan DPR ini. Membuat kontroversi dengan mengunjungi para narapidana korupsi di LP Sukamiskin dan tindakan lainnya yang sebenarnya sudah terlihat sebagai upaya untuk melemahkan KPK. Walaupun selalu dibantah bahwa penggunaan hak angket bertujuan untuk menguatkan KPK.
Membaca artikel pada harian Kompas Selasa 22 Agustus 2017, dengan judul " Niat Panitia Angket Terkuak" membuat saya tergelitik untuk menulis artikel ini.
Kompas mengatakan bahwa niat panitia angket sedikit banyak bisa terbaca ke arah revisi UU KPK. Hal ini terlihat dari kesimpulan sementara panitia angket KPK nomor tiga,
 " KPK yang dibentuk atas mandat UU 30/2002 tentang tindak pidana korupsi perlu mendapatkan pengawasan yang ketat dan efektif dari lembaga pembentuknya secara terbuka dan terukur, yakni DPR"
Hal yang menurut saya menggelikan. Pada saat ini DPR dipersepsikan sebagai lembaga terkorup di Indonesia menurut Survei Transparency International "Global Corruption Barometer 2017". Belum lagi banyak anggota DPR yang sudah terbukti korupsi dan banyak juga yang terindikasi terlibat dalam mega korupsi e-KTP dan korupsi lainnya.
Ketua panitia hak angket adalah Agun Gunandjar Sudarsa (fraksi Golkar) yang terindikasi menerima USD 1 juta dalam mega korupsi e-KTP. Ketua DPR Setya Novanto sudah dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus mega korupsi ini.
Bagaimana DPR bisa mengawasi secara objektif?
Saya teringat cerita bagaimana seekor musang yang dijadikan penjaga kandang ayam. Habislah ayamnya!
Dalam temuan sementara pansus KPK yang kedua dikatakan,Â
"Pansus menganggap KPK dengan argumen independennya mengarah pada kebebasan atau lepas dari pemegang cabang-cabang kekuasaan negara."
Tanpa independensi bagaimana KPK akan bekerja dengan baik?
Saya setuju bahwa KPK bukanlah suatu lembaga tanpa dosa atau kesalahan.
Silahkan bawa ke ranah hukum jika memang ada kesalahan yang dibuat oleh KPK. Seperti contoh mantan hakim Syarifudin (terpidana kasus suap KPK pada tahun 2011) yang menang dalam gugatan perdata terhadap KPK atas penyitaan barang bukti. KPK harus membayar Rp 100 juta kepada Syarifudin.
Cara pengawasan KPK yang baik, hukum dilawan dengan hukum. Â Bukan hukum dilawan dengan kekuatan politik.
Apalagi kekuatan politik yang tidak mencerminkan suara rakyat.
Referensi Harian Kompas Selasa 22 Agustus 2017, Kompas 1, Â Kompas 2, Kompas 3
Salam
Hanya sebuah pemikiran
Tulisan ini juga tayang di Ngawursiana.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H