Aku bertemu dengannya bukan pada saat yang tepat waktu itu. Mungkin bisa dibilang, pertemuan dengannya adalah kebetulan sekali. Pertemuan yang harus terjadi ketika aku saat itu sedang diputus oleh pacarku di bawah pohon rindang. Aku tidak mengerti kenapa aku bisa sampai diputus. Aku hanya ingin hubunngan ini terus berlanjut, namun orangtua cewekku tidak merestui hubungan kami. Maka dari itu cewekku memutuskan hubungan kami. Aku hanya bisa bersedih saja saat itu ketika kejadian ini menimpaku.
Dia datang di saat yang tidak tepat, tapi aku benar-benar sedang membutuhkan seseorang untuk membagi ceritaku, membagi lukaku, agar aku bisa melupakannya. Saat dia menanyakan hal yang menyinggung mantan pacarku dia selalu meminta maaf.
“Kamu nggak usah meminta maaf, Lia, semua itu sudah terjadi, biarlah waktu yang membantuku untuk melupakannya. Berat sih, tapi mau gimana lagi?” Aku hanya tersenyum saat dia melihat ke arahku. Gadis itu cantik, kulitnya putih, rambutnya yang hitam itu tergantung sebahunya.
“Waktu? Untuk apa meminta tolong waktu? Aku bisa membantumu, aku bisa menjadi tempat curahan hatimu, Alfon. Kita bisa menjadi sahabat hehehehe.” Dia tertawa renyah sekali. Hatiku serasa damai ketika sudah mendengar suaranya, entah kenapa.
Aku bertemu dengannya hampir tiap hari. Kelas kami bersebelahan. Dia selalu datang ke kelasku ketika waktu istirahat tiba. Kami sering bercanda di kantin, membicarakan mengenai hal-hal yang tidak penting tapi bisa membuat suasana di antara kita berdua tidak pernah garing.
“Alfon!” Panggilnya, suatu hari saat aku sedang bermain basket bersama-sama dengan teman-temanku setelah jam pulang sekolah lewat. Aku menolehkan kepalaku ke arah suara milik Lia. Gadis itu melambaikan tangannya sambil memicingkan mata karena terik matahari yang terasa sangat menyengat.
Aku berlari menghampirinya, aku tersenyum sekilas padanya. Keringatku bercucuran membasahi tiap sudut badanku.
“Ada apa, Li?” tanyaku kemudian. Dia hanya terdiam sesaat.
“Sopirku hari ini ga masuk, jadi dia ga bisa jemput aku. Aku boleh nebeng kamu ga pulangnya?” Lia menggigit bibirnya.“Oh, kirain apaan! Boleh dong! Tapi tunggu dulu ya, aku masih main basket, ga apa-apa kan?” tanyaku sambil menyeka pelipisku dengan menggunakan telapak tanganku yang lembab.
“Iya, ga apa-apa kok, aku ga terburu-buru.” Dia tersenyum lagi untuk yang kesekian kalinya saat itu. “Ya udah main dulu sana, aku tunggu di bawah pohon rindang ya!” lanjutnya. Aku hanya mengangguk, menepuk kepalanya pelan lalu kembali ke dalam lapangan untuk bermain basket.
Ketika aku bermain basket pandanganku tidak bisa lepas dari sosok di bawah pohon rindang. Lia. Gadis itu benar-benar mengalihkan duniaku. Dia memang bukan yang pertama di hatiku, tapi dia adalah orang yang selalu ada ketika aku berada dalam suka dan duka.
Aku sengaja berhenti dari permainan basket yang sudah aku lakukan 20 menit yang lalu, aku merasa kasihan kepada Lia yang sudah menungguku sekian lama. Aku menghentikan permainanku, dan segera menghampiri gadis itu.
“Kok udah selesai Fon?” tanyanya, aku tersenyum diantara sisa-sisa tenagaku yang telah terkuras untuk bermain basket.
“Aku nggak mau kamu nunggu terlalu lama, Li.” Aku mengambil handuk untuk mengeringkan wajahku dari keringat.
“Ah, ga lama kok Fon, palingan cuma 20 menitan aku nunggunya.”
“Aku traktir bakso deh, aku tahu tempat bakso yang enak sekitar sini, kamu pasti laper, kan?” Aku mengembalikan handukku dan kemudian meneguk air mineral yang berisi hanya seperempat botol saja, menghabiskannya dalam sekejap.
“Banget Fon hehehehe.” Dia tertawa lagi.
“Ayo deh, ambil tasmu ya, jangan sampe ada yang ketinggalan.” Aku berusaha menasehatinya.
“Ya, ya, ya Pak Boss!” Dia mengambil tasnya yang berwarna biru muda dan menggantungkannya di pundak. Aku segera mentraktirnya memakan bakso di dekat SMA kami.
Aku tidak pernah melewatkan sedikitpun saat-saat dalam hidupku tanpa kehadiran Lia. Dia selalu ada di segala situasi di dalam hidupku. Hingga hari itu tiba kepadaku, hari yang semakin meyakinkan perasaanku bahwa aku mencintai gadis itu. Benih-benih cinta mulai tertebar di setiap sudut hatiku.
Siang itu, waktu pulang sekolah telah lewat 15 menit yang lalu. Para siswa sudah pulang dan hanya segelintir orang saja di lapangan sekolah. Aku berjalan keluar dari kelasku, mendongak melihat tempat duduk yang terdapat di bawah pohon rindang yang seperti biasanya aku mendapati sosok Lia duduk menungguku. Hari ini bukanlah hari yang spesial, entah kenapa aku ingin mengutarakan perasaanku kepadanya. Mungkin aku sudah memendamnya terlalu lama.
“Lia,” Aku memegang tangannya dengan lembut, dia tersentak kaget. “Aku ingin berbicara beberapa kata denganmu.” Aku duduk di sebelahnya. Semilir angin siang ini membelai wajah kami. Jantungku berdegup seirama dengan ketukan kakiku yang naik turun tak seirama.
“Apa yang mau kamu bicarakan, Fon?” ujar Lia kemudian. “Ah, pasti kamu habis dihukum sama guru lagi ya gara-gara ga buat PR?” Lia nyerocos sok tahu. Aku menggelengkan kepalaku.
“Nggak.” Aku menyiapkan kata-kata yang pas dan hendak aku keluarkan dari dalam mulutku, aku berharap tidak lupa dengan kata-kata yang telah aku siapkan. “Aku mau bicara soal cinta, Li.”
“Oh, pasti kamu lagi jatuh cinta ya? Eh siapa cewek beruntung yang kejatuhan cintamu? Cerita dong, ga pernah cerita deh kamu!” Lia cemberut, aku hanya tersenyum memandangnya.
“Aku sebenarnya nggak tahu cinta itu apa, yang aku pahami hanyalah, aku…” Aku menunduk, tidak berani menatap wajahnya. Lia mengintip wajahku yang menunduk.
“Kamu kenapa?” tanyanya lagi.
“Aku hanya paham makna cinta bahwa aku mencintaimu, entah sejak kapan aku merasakan perasaan ini. Yang pasti perasaan itu semakin kuat dan semakin meyakinkanku bahwa kamulah cintaku. Aku nggak memaksamu untuk membalas cintaku. Aku hanya mengutarakan perasaanku padamu saja, Li. Maafkan aku.” Aku segera beranjak dari tempat itu, perasaan malu dan berharap akan dibalas hari itu juga bergelayut di pundak dan di hatiku.
“Alfon!” panggil Lia, suaranya yang terdengar melemah itu membuat aku menghentikan langkahku. “Kamu nggak salah. Kamu nggak perlu meminta maaf, aku juga paham maksudmu. Aku juga merasakan hal yang sama sepertimu.” Aku tidak tahu sihir apa yang digunakan oleh Lia sehingga dia berhasil membiusku dengan kata-katanya barusan. Dedaunan pohon yang menaungi kami berdua mulai jatuh ke tanah akibat tertiup angin kencang, aku membalikkan badanku, sedetik kemudian aku berlari ke arahnya dan memeluknya.
“Jadi?” tanyaku memecah keheningan di antara kita berdua. Aku melepaskan pelukanku
“Kamu cinta aku kan? Aku juga cinta kamu, Fon!” Lia tersenyum memandang wajahku.
“Makasih Lia.” Aku memeluknya sekali lagi, lega, bebas dan bahagia, seperti itulah perasaanku. “Maafkan kalau selama ini aku penuh kekurangan di matamu.” Suaraku yang semula meninggi akibat bahagia mendadak menjadi melemah.
“Apakah cinta harus selalu memiliki kelebihan? Cinta adalah saling melengkapi.” Lia berbicara dengan nada yang menyejukkan hati. Aku menggenggam tangannya erat sekali.
“Terima kasih udah menyempurnakan hidupku yang kurang sempurna ini, Lia.” Aku tersenyum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H