Menyambut tema yang diangkat Kompasiana, kali ini artikel saya mengenai hal-hal yang sudah basi. Tapi walaupun basi, tema ini tetap saja relevan di masa kini. Aneh, tidak ada perkembangan yang berarti.
Semenjak 9 tahun terakhir ini saya sudah secara aktif mengkritisi dunia broadcast (televisi) dan dunia hiburan (musik dan film). Saya menulis di blog, website pribadi, menyurati KPI dan pihak-pihak industri, jarang sekali ada yang merespon.
Satu masalah pun tidak ada yang terlalu berubah. Masih sekitar dada perempuan, perilaku dalam tayangan, tata bahasa yang digunakan dan lain sebagainya.
Sering juga ketika saya mengkritisi kata-kata kasar atau tidak sopan yang diucapkan para artis di TV, bukannya dapat respon dari pihak-pihak terkait, malah saya yang dimarahi spectator lain dan si artis juga tidak ada terlihat introspeksi diri, malah kelihatannya sengaja menambah kata-kata kasar.
Contohnya ketika saya mengkritisi Radio M*** FM bandung. Saya sampai membuat artikel 'Surat Terbuka' untuk Radio tersebut di Kompasiana.Â
Pasalnya, mereka menyiarkan obrolan vulgar emak-emak yang bahasanya tidak senonoh, seronok tapi menohok. Sampai ada kata-kata "Kont*l" segala di siaran live radio. Eh.. malah saya yang dibilang kekanak-kanakan sama 'komentator'.
Ketika kata-kata kasar menjadi kasus hukum seperti hatespeech dan penghinaan, ketika tata bahasa menjadi sorotan, semuanya baru kelihatan menyalahkan para pelaku.
Untung saja Kompasiana mengangkat kembali tema ini, sehingga yang saya harapkan kita semua sadar bahwa menyuarakan kritik terhadap media/siaran itu penting.
Pandangan kritis saya sama dengan banyak masyarakat lainnya. Saya yakin yang lain juga sudah banyak menyuarakan pandangannya, tapi mereka juga tidak direspon, karena problem-nya tidak berubah.Â
Walaupun saya merasa akan sia-sia kita mengulanginya lagi di sini, ya sudahlah, yang penting kita menyuarakan pendapat.
Artikel ini mengenai mutu siaran di Indonesia.
Pendahuluan
Dunia broadcasting (TV dan radio), sistem rating dan lembaga pengawasan (KPI, LSI, KPAI) adalah tiga elemen utama dalam identifikasi permasalahan bisnis broadcast. Ketiga pihak ini adalah kunci perbaikan mutu siaran.
Masalahnya, masing-masing pihak memiliki masalah yang fundamental tapi tidak ada yang mencoba untuk memperbaikinya. Maka agak sulit menentukan langkah-langkah perbaikan mutu secara nasional.
Kita langsung ke permasalahan. Tulisan ini hanya menyampaikan garis-garis besarnya saja.
Pihak ketiga: Lembaga-lembaga pengawasan
a. Ajang Popularitas lembaga-lembaga pengawas.
Perilaku yang paling mencolok dari lembaga-lembaga yang mengawasi dunia broadcast adalah mereka seolah hanya buka suara pada momen viral 'pilihan' mereka saja.Â
Jika sudah ramai diperbincangkan media dan netizen, mereka angkat suara. Jika 'insidennya' tidak populer, sepi. Dan yang mereka lakukan kelihatannya hanya bersuara, minim tindakan.
Pengawas resmi yang khusus mengawasi dunia siaran ini di antaranya adalah KPI, LSI dan DPI (Dewan Pers Indonesia). Dari disiplin lain bisa juga Komnas HAM dan KPAI, dan lain sebagainya.
b. Dasar pemahaman yang labil dan regulasi yang tidak kuat.
Lalu permasalahan mereka adalah dasar dari pandangan mereka ketika mengawasi siaran-siaran.
Contoh dalam siaran berita, ketika ada headline di media mengenai petugas sekolah mencabuli murid-murid sekolah, KPI dan KPAI akan bersuara mengenai penayangan wajah para korban.Â
Tapi di sisi lain, ketika televisi menayangkan perilaku artis/selebriti yang mengeksploitasi anak mereka untuk kegiatan bisnis, suara para 'pengawas' sepi, karena mungkin dianggap lumrah; sudah biasa.
Demikian juga sensor atas kegiatan kekerasan. Unsur darah di film-film Barat dijadikan black and white, paha dan dada wanita di-blur, adegan menodong dan memukul/menendang di-cut.
Sementara, kekerasan verbal atau lisan pada dialog-dialog di sinetron sama sekali tidak ada tindakan. Hal-hal seperti adegan bully atau perundungan, pertengkaran, perdebatan, dan sebagainya.
Masih mengenai sensor, pertanyaannya adalah mengapa dada perempuan wanita Barat tidak boleh dilihat di TV, sedangkan lekuk tubuh gemulai nan aduhai penyanyi dangdut berkostum ketat boleh dilihat, apalagi jika pantat sudah bergoyang? Itu kan sama nikmatnya lho..
Apakah KPI dan LSI anti asing, hanya suka yang lokal?
Yang ingin saya katakan adalah jika ukuran pengawasan adalah dampak positif-negatif, semua hal mengandung dua sisi baik-buruk tersebut. Maka ketika ingin diaplikasikan kepada berbagai elemen broadcast melalui regulasi (tertulis dan apalagi tidak tertulis), itu akan menjadi rumit.
Kita tahu rupa kekerasan bisa bermacam-macam seperti kekerasan fisik dan verbal. Dampaknya bisa baik, bisa buruk. Sama dengan paha wanita, bisa menjadi estetika kecantikan semata atau rangsangan seks; tergantung otak siapa yang menterjemahkan itu semua dan tidak semua agama menganggap paha wanita itu 'dosa' para pria.
Sesuatu yang kita lihat bisa menjadi edukatif atau menjadi inspirasi kita melakukan hal-hal yang buruk.
Penayangan korban suatu kasus kriminal dan pengeksploitasian anak dalam kegiatan bisnis bisa berdampak sama buruk, tetapi mengapa respon pengawasannya dibedakan? Sehingga regulasi dan pengawasan tersebut tidak imbang.
Intinya adalah dasar pemahaman dan regulasi dari sistem pengawasan siaran-siaran tidak begitu kuat untuk dijadikan satu acuan. Semuanya menjadi debatable karena sudut pandang yang beragam dicoba untuk di generalisir.
Akibatnya juga sekarang kita tidak bisa mendeskripsikan secara pasti: Apa sih kriteria mutu siaran itu?
Antara Siaran dan Rating
a. Perusahaan Broadcast
Di mana ada gula, di situ ada semut. Perusahaan-perusahaan broadcast pasti selalu berorientasi kepada uang, bisnis. Program-program mereka didesain untuk mencari profit melalui sponsor. Sponsor tentu ingin melihat perkembangan perusahaan broadcast, salah satunya dilakukan melalui rating. Wajar.
Tetapi kewajaran itulah yang menghambat kreatifitas dunia broadcast.
Jika A adalah program yang edukatif dan bermanfaat tapi tidak laku, dan B adalah program yang lebay tidak mendidik tapi laku, tentu saja perusahaan memilih B untuk disiarkan.
Kriteria mutu program yang baik tidak akan terlalu menjadi standar siaran jika urusannya sudah uang.
Beda lagi dengan media yang berpihak di bidang Politik (pemerintahan). Kita tahu bahaya dari kekuatan penguasaan media jika media tersebut berpolitik. Media yang berpolitik hanya akan menjadi alat propaganda, mempengaruhi kedaulatan demokrasi rakyat.
Jika sudah begitu, propaganda media sangat mampu untuk membodohi atau membohongi masyarakat banyak. Sehingga juga siaran-siaran beritanya tidak dapat dikatakan bermutu.
Perusahaan pasti akan memerintahkan para pekerjanya untuk menyiarkan program-program yang laku saja. Perusahaan broadcast yang berpolitik akan memanipulasi siaran sedemikian rupa untuk kegiatan propaganda terselubung. Dua hal ini sangat tidak membantu perbaikan mutu siaran-siaran di media kita.
Itu pekerjaan para produser, creative dan artis. Pada stasiun berita, itu pekerjaan para produser, jurnalis dan editornya.
Mari kita dalami sedikit pekerjaan mereka.
b. Para pelaku dunia broadcast
Dalam showbiz, para pekerja di dalamnya tidak akan bisa terlalu kreatif merancang program. Prinsipnya sama: Mana yang laku, itu yang dijalankan; sesuai arahan perusahaan.
Wajar memang. Tapi dengan begitu, ukuran mutu siaran, sistem pengawasan dan pencapaian rating akan selalu menjadi dilema penilaian. Saling bertubrukan.
Tidak hanya itu. Dari pengalaman saya, saya melihat bahwa orang Indonesia masih sulit untuk menerima kritik, tidak mau mengaku salah. Tidak akan maju. Gengsi dong, masa artis terkenal bisa salah? Fansnya pada kaburlah..
Sehingga timbul kondisi dimana program/artis yang tidak bermutu dikatakan baik karena cukup 'menjual'. Atau program/artis yang berdampak buruk menjadi baik ketika mendapat respon positif dari audiens dan mereka merasa tidak terdampak apa-apa. Â
Ketika muncul insiden-insiden di 'belakang layar', pihak broadcast dan audiens bisa berargumen saling menyalahkan. Satu pihak mengatakan media yang 'memaksakan' tayangan mereka untuk ditonton. Di pihak lain mengatakan bahwa ada masyarakat yang suka dan itu tidak masalah bagi mereka.
Mari kita lihat juga perilaku masyarakat sebagai audiens.
c. Audiens
Masalahnya kita tidak bisa mengatur apa yang masyarakat ingin sukai atau tidak.
Jika masyarakat lebih suka program yang katakanlah tidak bermutu, tidak ada juga yang mencoba memberikan edukasi mengenai nilai mutu siaran. Jikapun ada, ya namanya juga sudah suka, sulit untuk merubah pilihan masyarakat.
Yang paling vokal disuarakan hanya sebatas ketentuan-ketentuan umum seperti batas usia tontonan. Ya paling juga dengan hal sensor-menyensor; Itu paha, jangan dilihat.
Jika disalahkan, masyarakat dapat berargumen bahwa media yang sebetulnya memaksa mempertontonkan program mereka. Atau biasanya pendapat masyarakat terpecah menjadi pro-kontra, sementara siaran tetap berlangsung. Lalu gimmick-nya redup lagi.
Konklusi Permasalahan
Intinya, permasalahan banyak dan semua pihak memiliki itu. Perusahaan broadcasting, regulator, pengawas dan audiens. Masalahnya lebih banyak dan problematik dari yang dituliskan di sini.
Masalah dari masalahnya adalah apakah pihak-pihak ini mau introspeksi atau tidak.
Tetapi kita bersyukur bahwa kita masih bisa mengapresiasi program-program yang memang bermutu. Ada banyak juga kok program yang sudah baik dan bermutu. (tidak akan saya sebutkan contoh-contohnya, takut dibilang iklan, padahal kan tidak ada yang bayar saya :p )
Saran
Saran dari saya mengenai peningkatan mutu siaran hanya sederhana saja: Belajar menerima kritik dan introspeksi.Â
Ada banyak masukan kreatifitas dan pandangan hukum di luar sana, tetapi kuncinya adalah diri kita sendiri untuk kemajuan; terutama kualitas diri para pembuat keputusan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H