Jika A adalah program yang edukatif dan bermanfaat tapi tidak laku, dan B adalah program yang lebay tidak mendidik tapi laku, tentu saja perusahaan memilih B untuk disiarkan.
Kriteria mutu program yang baik tidak akan terlalu menjadi standar siaran jika urusannya sudah uang.
Beda lagi dengan media yang berpihak di bidang Politik (pemerintahan). Kita tahu bahaya dari kekuatan penguasaan media jika media tersebut berpolitik. Media yang berpolitik hanya akan menjadi alat propaganda, mempengaruhi kedaulatan demokrasi rakyat.
Jika sudah begitu, propaganda media sangat mampu untuk membodohi atau membohongi masyarakat banyak. Sehingga juga siaran-siaran beritanya tidak dapat dikatakan bermutu.
Perusahaan pasti akan memerintahkan para pekerjanya untuk menyiarkan program-program yang laku saja. Perusahaan broadcast yang berpolitik akan memanipulasi siaran sedemikian rupa untuk kegiatan propaganda terselubung. Dua hal ini sangat tidak membantu perbaikan mutu siaran-siaran di media kita.
Itu pekerjaan para produser, creative dan artis. Pada stasiun berita, itu pekerjaan para produser, jurnalis dan editornya.
Mari kita dalami sedikit pekerjaan mereka.
b. Para pelaku dunia broadcast
Dalam showbiz, para pekerja di dalamnya tidak akan bisa terlalu kreatif merancang program. Prinsipnya sama: Mana yang laku, itu yang dijalankan; sesuai arahan perusahaan.
Wajar memang. Tapi dengan begitu, ukuran mutu siaran, sistem pengawasan dan pencapaian rating akan selalu menjadi dilema penilaian. Saling bertubrukan.
Tidak hanya itu. Dari pengalaman saya, saya melihat bahwa orang Indonesia masih sulit untuk menerima kritik, tidak mau mengaku salah. Tidak akan maju. Gengsi dong, masa artis terkenal bisa salah? Fansnya pada kaburlah..
Sehingga timbul kondisi dimana program/artis yang tidak bermutu dikatakan baik karena cukup 'menjual'. Atau program/artis yang berdampak buruk menjadi baik ketika mendapat respon positif dari audiens dan mereka merasa tidak terdampak apa-apa. Â