Saya mengenal secara pribadi tokoh-tokoh yang ada dalam cerita-cerita nyata di bawah ini. Disampaikan untuk memberikan gambaran kehidupan pemakai narkoba.
Pergaulan di sudut kumuh
Anto (nama samaran) adalah seorang pemuda usia 20-an dari keluarga yang hidup miskin. Ia dan keluarga tinggal di pinggiran kota yang kumuh di Bandung. Anto memiliki satu orang adik laki-laki bernama Andi (nama samaran) yang usianya tidak terlalu jauh berbeda.
Teman-teman sepermainan Anto di lingkungan sekitarnya kebanyakan para berandalan yang lekat dengan aksi kriminal, atau setidak-tidaknya mereka adalah pemuda-pemuda yang gemar dengan aksi-aksi kenakalan remaja. Mereka sering berseteru dengan kelompok pemuda lain dan tidak jarang permasalahan di antara mereka diselesaikan melalui cara tawuran.
Kedua orang-tua Anto bekerja untuk menghidupi keluarga, sementara Anto dan Andi yang sudah putus sekolah mengisi keseharian bersama teman-teman mereka.
Awalnya Anto dan Andi terjerumus kecanduan alkohol dan ganja. Mereka meminum minuman keras kelas kampung yang relatif lebih murah. Dengan modal patungan sekitar 3000-5000 rupiah bersama teman-temannya, mereka bisa menghabiskan satu malam penuh untuk bermabuk-mabukan di pinggir jalan yang sepi.
Andi sang adik lebih cenderung menggemari ganja dan berkelahi di sana-sini. Sedangkan Anto lalu mulai mengkonsumsi obat-obatan terlarang sejenis ecstasy, magadon dan nipam yang disodorkan temannya. Ia juga bergabung dengan kelompok fans musik underground, walaupun Anto tidak bisa bermusik sama sekali. Di lingkungan baru inilah kehidupannya semakin terjerumus.
Fisik Anto semakin rusak dan kurus. Keluarganya pontang-panting mencari dana untuk biaya perawatan karena Anto harus berkali-kali menjalani pemeriksaan Rumah Sakit dan rehabilitasi. Hal itu rupanya membuat Andi marah kepada kakaknya. Tidak jarang mereka berkelahi karena Anto tidak bisa menerima teguran adiknya. Lama kelamaan perasaan marah Andi berubah menjadi benci terhadap kakaknya, Anto.
Suatu hari Anto tidak berikan uang karena orang-tuanya tidak memiliki banyak uang. Anto ditinggal sendiri di rumah sementara yang lain beraktifitas di luar. Anto menjual sendok-sendok makan yang ada di rumahnya untuk membeli ganja. Lalu Anto mengambil kitab suci milik orang-tuanya. Ia kemudian merobek lembaran-lembaran kitab suci tersebut untuk dijadikan linting ganja yang baru ia beli.
Tidak berapa lama kemudian setelah kejadian itu, sang ibu meninggal dunia. Tidak diketahui secara pasti penyebab kematiannya, namun kami semua meyakini bahwa ibunya terlalu berat menahan kesedihan dan kecewa, karena ibunya sering berkeluh-kesah sambil menangis. Ayah Anto tidak terlalu banyak bicara kepada orang lain mengenai putranya itu. Ia hanya berharap doa dari semua pihak untuk kesembuhan Anto.
Hari-hari berlalu tanpa perubahan pada kondisi Anto. Akhirnya ia pun meninggal dalam usia muda. Ada yang mengatakan karena over dosis, tetapi yang lain mengatakan bahwa tubuhnya sudah sangat rusak sehingga tidak bisa diperbaiki.
Andi berusaha lepas dari pergaulan dan kehidupan yang buruk. Ia mencoba mencari kerja namun sampai sekarang belum terdengar lagi kabarnya.
Gaya hidup anak seorang kaya raya
Bodut (nama samaran) adalah anak dari seorang kaya raya. Ia tinggal di Jakarta Selatan di sebuah rumah yang besar lengkap dengan patung Garuda di atap depan rumah.
Ayah Bodut dulu memiliki usaha sebuah kasino di jamannya. Didalamnya identik dengan kegiatan judi, mabuk dan kekerasan. Di masa tua, ayah bodut memiliki suatu perkumpulan judi kartu yang kegiatannya dilakukan dirumahnya sendiri, di lantai dua.
Pergaulan Bodut menyentuh kegiatan kenakalan remaja yang suka berkelahi. Ia pernah memberhentikan sebuah metro mini yang menyalip mobilnya. Kemudian Bodut menaiki metro mini tersebut dan menendang supirnya. Ya.. walaupun akhirnya Bodut sendiri yang celaka karena otot pinggangnya tertarik setelah menendang; pada saat kejadian itu Bodut harus dibopong ke rumah dan harus tergeletak beberapa hari.
Bodut mengenal sabu dari teman-temannya. Suatu hari Bodut berkendara dengan temannya keliling seputar Monas untuk mencari pengedar langganannya. Setelah dapat, Bodut menghisap sabu itu dengan temannya yang perempuan di dalam mobil. Mereka tertawa-tawa dan melanjutkan perjalanan dengan mobil kesana-kemari. Kegiatan seperti ini sering dilakukan Bodut dan teman-temannya.
Ketika Bodut tidak punya uang untuk membeli narkoba, ia mulai mencuri barang-barang yang ada di rumahnya sendiri untuk dijual. Mengetahui kondisi candu Bodut semakin parah, orang-tua melakukan tindakan-tindakan pencegahan dan mengusahakan program rehabilitasi bagi Bodut. Namun sia-sia, Bodut terlanjur menjadi pecandu kawakan. Orang-tuanya sangat bersedih dan berita ini sampai ke telinga seluruh keluarga besar.
Tapi pada akhirnya Bodut berhasil lepas juga dari bayang-bayang narkoba setelah proses yang cukup lama. Sekarang ia bekerja menjadi salah satu pembimbing di pusat rehabilitasi BNN di Lido, Sukabumi.
Keluarga Happy
Wanto (nama samaran) adalah dari keluarga yang berantakan (broken home). Ibunya berkali-kali kawin cerai. Wanto tinggal di Garut bersama 3 orang saudara laki-lakinya yang berbeda-beda ayah.
Wanto dan saudara-saudaranya tinggal di lingkungan yang keras dan lekat hubungannya dengan minuman keras dan kekerasan. Tidak jarang Wanto bersaudara berkelahi satu sama lain. Wanto juga memiliki banyak tato di tubuhnya.
Dari semua anak-anak tersebut, hanya Wanto yang tidak mengetahui ayahnya yang asli. Berkali-kali ia menanyakan siapa ayahnya, namun entah kenapa ibunya tidak pernah memberitahukan kebenarannya. Seseorang yang mengetahui kehidupan ibu Wanto dulu mengatakan kepada saya bahwa ayah Wanto tidak pernah menikahi ibunya. Pekerjaan ayah Wanto dulu adalah supir truk. Saya pun tidak pernah menyampaikan hal itu kepada Wanto. Sampai hari ini Wanto tidak tahu siapa ayahnya.
Setelah Wanto dewasa, ia tinggal dengan pamannya di Jakarta. Disanalah ia terjerumus ke dalam kehidupan narkoba yang hebat. Paman, tante dan hampir semua anggota keluarga di sana memakai narkoba. Tiada hari tanpa pesta narkoba dan mencari kesenangan di dunia hiburan malam. Satu keluarga.
Semasa muda di Garut, Wanto memang sudah dekat alkohol dan ganja. Tapi pengalamannya di Jakarta lah yang membuat ia semakin rusak. Setiap hari menggunakan narkoba berbagai jenis. Seolah hidup mencari pekerjaan, berumah-tangga yang baik, membangun bisnis yang sehat tidak ada artinya lagi bagi keluarga ini. Dan hubungan keseluruhan keluarga besar semakin retak. Waktu itu, Wanto dan saudara-saudaranya, tidak ada satupun yang mau tinggal dengan ibunya, menerima kedatangan ibunya saja mereka enggan.
Selama ini Wanto hidup tanpa arah tanpa harapan. Ia diombang-ambingkan waktu dan jaman. Ia dimusuhi banyak orang dan hanya sedikit kawan yang tersisa.
Untungnya masih tersisa pemikiran yang dewasa jauh di dalam benak Wanto; ia masih menyimpan rasa hampa dan dosa dalam hatinya. Ia memutuskan untuk berhenti dari dunia alkohol dan narkoba. Wanto melakukan itu atas kesadarannya sendiri dengan motivasi yang kuat untuk berubah. Tanpa menjalani proses rehabilitasi ia mampu berubah menjadi lebih baik.
Untuk beberapa lama ia menghilang tanpa kabar. Belakangan terdengar kabar ia sudah sehat dan bekerja di sebuah restoran chinese food di Jakarta.
**
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI