Mohon tunggu...
Ronald Dust
Ronald Dust Mohon Tunggu... Seniman - Seniman Musik dan Jurnalis

Seniman Musik dan Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surat Terbuka untuk Mr. Kanghyun Lee

12 Maret 2017   10:30 Diperbarui: 15 Maret 2017   04:00 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan untuk pembaca: Kanghyun Lee adalah Vice President Corporate Business and Corporate Affairs di PT. Samsung Electronics Indonesia.

Mr. Kanghyun Lee, terima kasih atas kesediaannya mengadakan sponsorship untuk kemajuan Pendidikan di Indonesia melalui program Smart Learning Class. Namun ijinkan saya menilai bahwa program SLCSamsung tidak tepat guna. Metode yang digunakan SLC justeru memperlambat kemajuan yang kita harapkan itu, menurut saya.

Saya adalah salah satu yang sangat perduli dengan dunia Pendidikan kami di Indonesia. Mohon agar tulisan ini direnungkan.

Melalui program SLC, Samsung mengatakan “ingin memberikan pelatihan penggunaan gadget dan teknologi kepada guru-guru di Indonesia. Pelatihan tersebut diharapkan dapat membuat guru-guru semakin dekat dengan teknologi dan bisa memanfaatkannya untuk menciptakan metode belajar-mengajar yang lebih efisien, menarik dan interaktif dengan para siswa.

Samsung mengadakan pelatihan-pelatihan dengan mengandalkan Samsung Galaxy Tablet A8 dan untuk kurikulumnya menggunakan software umum seperti Ms. Office (powerpoint, excel, dsb.). Pelatihan ini juga dilengkapi dengan program e-learning yang dibuat oleh Ikatan Guru Indonesia.

Mr. Lee, selain concern terhadap dunia Pendidikan, saya juga mengetahui satu-dua hal mengenai pemrograman web.

Pertama, memberikan pelatihan kepada guru sekolah untuk menggunakan gadget atau teknologi tidak seharusnya dijadikan agenda utama pada program sponsorshipSLC. Itu sama dengan memberikan manual book suatu software/aplikasi dan kegiatan ini tidak efektif. Lagipula, pengetahuan penggunaan teknologi yang berkembang adalah kewajiban guru-guru dalam keseharian mereka, bukan sebagai rutinitas formal seperti ini.

Kedua, salah satu yang diberikan SLC adalah pelatihan menulis via media blog untuk menyampaikan metode atau teknik-teknik pengajaran guru. Apakah guru kami di Indonesia begitu tertinggal hingga harus diajarkan untuk menulis blog? Kami semua di sini, Kompasianers, adalah blogger dan tidak semua dari kami adalah guru. Tapi jika memang itu yang Anda lihat, bahwa pengetahuan menulis blog guru-guru di Indonesia masih tertinggal, apakah memberikan pelatihan menulis blog solusi yang tepat? Tidak. Menulis via media blog relatif mudah, yang sulit bagi guru adalah memikirkan ide tulisan mereka yang menyangkut metode pendidikan. Belajar menulis di blog dapat dilakukan guru dalam keseharian mereka.

Ketiga, SLC mengharapkan guru-guru dapat membuat/menggunakan program e-learning mereka sendiri melalui pelatihan-pelatihan. Saya tidak tahu persis apa saja detil materi yang ingin SLC berikan, tapi perlu Anda renungkan bahwa Pendidikan (sekolah umum) dan Programming adalah dua hal yang berbeda. Membuat program ­e-learning berarti mengembangkan software/aplikasi, kegiatan ini dilakukan oleh developer atau programmer. Apakah SLC akan memberikan pengajaran bahasa-bahasa pemrograman? Apa prinsip dan metode SLC untuk mengharapkan guru-guru dapat membuat/menggunakan program e-learning?

Keempat, saya sudah lihat satu aplikasi web IGI di sini. Aplikasi tersebut hanya menunjukkan soal-soal lalu user akan memilih jawaban. Apa ubahnya dengan memberikan Anda satu kertas dengan soal-soal tertulis pada ulangan harian? Dan apa fungsi aplikasi soal-jawaban (quiz) di sekolah? Hampir tidak ada, Mr. Lee.

***

Mohon koreksi jika saya salah memahami program SLC, namun berdasarkan hal-hal tersebut di atas ijinkan saya memberikan masukan.

Yang harus ditingkatkan dari guru-guru di Indonesia adalah kualitas mengajar, ini berhubungan dengan pengetahuan, mental dan metode mengajar mereka. Menggunakan teknologi adalah kewajiban seluruh pihak dalam keseharian dan dunia kerja mereka. Tapi guru tetap harus fokus kepada bidang ilmu pengetahuan yang mereka ajarkan.

Membuat program e-learning selalu harus disertai developer/programmer, dalam hal ini web developer. Ini adalah pekerjaan kolaborasi guru-programmer. Maka misi yang dijalankan seharusnya bukan memberikan guru pelatihan menggunakan e-learning, gadget atau tablet; berikan saja mereka manual book untuk keperluan itu.

Kegiatan yang dilakukan SLC akan jauh lebih bermanfaat jika Samsung dapat membiayai pengembangan aplikasi-aplikasi pendidikan yang dilakukan oleh programmer dan guru. Aplikasi-aplikasi pendidikan inilah yang di-install pada gadget untuk kemudian digunakan guru-siswa pada proses belajar-mengajar mereka. Atau tidak perlu di-install, tampilkan saja sebagai web app, semua orang bisa menggunakan aplikasi tersebut, sama seperti yang dilakukan dunia Pendidikan barat.

Sepanjang yang saya tahu, program-program e-learning di barat tidak dilakukan pendidikan-pendidikan umum seperti public school, yang banyak menggunakan program e-learning adalah lembaga-lembaga pendidikan swasta dan/atau lembaga-lembaga kursus; bisa berupa inisiatif individu-individu ata kelompok tertentu juga selain lembaga.

Ketimbang mengajarkan guru menggunakan e-learning, blog atau teknologi lain, adalah lebih baik memberikan bantuan berupa tenaga ahli IT (dan perlengkapannya) untuk memanfaatkan pengetahuan guru mengembangkan metode-metode mengajar.

Berikut kutipan mengenai aplikasi pendidikan dari artikel saya:

Di sektor pendidikan, pemanfaatan Internet juga masih dirasakan sangat lambat. Dalam dunia teknologi asing/barat, mereka terus memanfaatkan teknologi Internet termutakhir seiring dengan perkembangannya. Anda pun dapat melihat bahwa pada situs-situs berbahasa inggris, kita bahkan hampir tidak perlu bertanya, semua jawaban telah tersedia dan banyak dari mereka yang memberikan ilmu pengetahuannya secara cuma-cuma, gratis.

Perbedaan pemanfaatan Internet di sektor pendidikan Indonesia dan asing cukup jelas. Dunia pendidikan di Internet milik asing sudah menggunakan video-audio dengan software-software desktop pendukung untuk memperagakan suatu materi pembelajaran; mereka juga menggunakan teknologi MathML atau Latex untuk menampilkan simbol-simbol matematika pada tampilan website; mereka juga memanfaatkan Javascript Animation dan CSS yang mendukung untuk memperagakan materi-materi fisika, biologi, matematika, musik dan sebagainya secara animatif. Sementara informasi materi-materi bahan ajaran pendidikan Indonesia masih mengandalkan tulisan-tulisan artikel blog dengan alat peraga file gambar seperti JPG dan PNG; itupun dengan konten materi yang tidak cukup terstruktur dan kurang lengkap. Trend pendidikan yang sedang terjadi di dunia adalah aplikasi pendidikan yang interaktif dan secara online.

***

Mr. Lee, saya sangat memahami unsur komersil SLC, tapi memberikan perhatian terhadap dunia Pendidikan di Indonesia memerlukan pemikiran yang kritis. Bidang Pendidikan kami dibayangi masalah-masalah non-pendidikan seperti korupsi dan tidak meratanya pembangunan. Saya sangat mengharapkan swasta agar berpikiran kritis juga menangani masalah pendidikan di Indonesia.

Terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun