Mohon tunggu...
Ronald Dust
Ronald Dust Mohon Tunggu... Seniman - Seniman Musik dan Jurnalis

Seniman Musik dan Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Segitiga Setan Demokrasi

28 Februari 2017   01:18 Diperbarui: 1 Maret 2017   14:00 1165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Latar Belakang

Keseharian bangsa Indonesia tidak pernah luput dari isu-isu nasional, setiap harinya. Justeru hal-hal yang berkaitan langsung dengan masyarakat Indonesia seolah menjadi persoalan abadi bangsa. Sebut bidang apa saja, pasti ada masalah besar yang harus ditangani. Hal yang tidak perlu dipermasalahkan saja sering menjadi masalah bagi orang Indonesia.

Selalu, setiap permasalahan bangsa tidak pernah lepas dari hubungan tiga elemen: Presiden, DPR dan masyarakat. Mungkin kemudian Anda bertanya-tanya “Apakah DPR dan masyarakat berbeda sehingga harus dipisahkan?”. Tentu saja.

Dari luasnya materi bidang hukum Tata Negara, saya hanya akan membahas pokok permasalahannya saja, yakni: Presiden, DPR dan masyarakat Indonesia dalam lingkungan Segitiga Setan. Mengapa segitiga? Karena bentuk lingkaran biasanya mewakili suatu siklus, proses bertahap yang berulang ke satu arah secara teratur. Hubungan Presiden, DPR dan masyarakat tidak terlihat seperti suatu siklus.

Segitiga Setan

Ada tiga elemen utama yang selalu menjadi pusat permasalahan bangsa dalam menangani isu nasional: Presiden sebagai pemimpin negara beserta jajaran pemerintahannya; DPR sebagai lembaga yang didefinisikan sebagai wakil rakyat; dan seluruh masyarakat Indonesia sebagai bangsa.

Di tengah-tengah ketiga elemen tersebut selalu terdapat isu, permasalahan bangsa.

ronaldhutasuhut.com
ronaldhutasuhut.com
DPR dikelola partai politik sehingga orang-orang di dalamnya mewakili partai masing-masing. Presiden dan jajaran pemerintahannya ditentukan melalui proses politik. Sementara masyarakat hidup berdomisili di suatu tempat yang dipimpin pemerintah-pemerintah daerah, yang dipilih melalui proses politik juga dan tidak terlepas dari tangan partai politik.

Hubungan tiga elemen ini tidak menyerupai suatu siklus, cenderung berantakan. Alih-alih berdemokrasi, kebebasan berpendapat dan kegiatan berpolitik malah selalu menempatkan bangsa di tepi jurang.

Idealnya, kepentingan rakyat disampaikan kepada wakilnya di DPR untuk disampaikan kepada Presiden. Setelah itu, seharusnya Presiden menentukan kebijaksanaannya atas permintaan rakyat yang disampaikan DPR. Idealnya juga, DPR diberikan kewenangan untuk mengikuti setiap kegiatan pemerintahan guna menjalankan fungsi pengawasan, bukan penentu kebijakan. Jika suatu kebijakan dirasakan tidak sesuai, masyarakat akan angkat bicara dan lalu menyampaikan keluh kesahnya ke DPR untuk dicarikan solusinya bersama dengan Presiden. Begitulah seterusnya.. idealnya.

Namun apa yang terjadi selama ini? Bangsa kita selalu meributkan segala sesuatu.

ronaldhutasuhut.com
ronaldhutasuhut.com
Ketika masyarakat ingin menyampaikan kebutuhannya, sering terjadi bahwa ternyata aspirasi masyarakat terpecah menjadi perbedaan pendapat. Seringkali DPR tidak mampu menyerap aspirasi apalagi mencarikan solusi-solusi bersama dengan Presiden dan tidak sedikit yang kita lihat di media bahwa banyak masyarakat langsung mencari Presidennya untuk berkeluh-kesah.

Presiden sekarang pun mampu membuka pintu bagi rakyatnya. Namun politik selalu memiliki oposisi yang siap menghadang kebijakan Presiden, termasuk kebijakan yang diinginkan dari rakyatnya secara langsung.

Sering pula kita lihat DPR menuntut suatu permintaan kepada Presiden dengan mengatas-namakan rakyat, sementara rakyat tidak merasa membutuhkan DPR untuk menyampaikan hal tersebut. Tuntutan seperti memberikan anggota DPR fasilitas yang mereka inginkan atau berusaha untuk tidak menyetujui kebijakan yang dirancang Presiden untuk kebutuhan rakyat.

A. Segitiga setan pada proses Pilpres

ronaldhutasuhut.com
ronaldhutasuhut.com
Pemilihan Presiden atau Pilpres dilakukan secara langsung dengan prinsip “Masyarakat memilih langsung siapa yang akan menjadi presiden”. Pilpres diselenggarakan oleh KPU, oleh karena itu posisi KPU berada di tengah di antara (calon) Presiden, DPR dan rakyat karena KPU harus menjadi pihak netral. Kita letakkan KPU dan pilpres-nya di pusat segitiga.

Yang ‘menyediakan’ calon presiden adalah partai politik, kelompok-kelompok yang nantinya mengelola DPR. Paradigma bangsa terahkan/diarahkan kepada sugesti bahwa calon presiden yang memiliki dukungan partai politik terbanyak yang akan menang. Pola pikir ini tentu salah karena yang benar seharusnya calon presiden yang didukung Masyarakat dengan jumlah terbanyaklah yang menang. Setelah didapatkan presiden yang terpilih secara sah, partai-partai politik dapat menentukan sikap mendukung atau menjadi oposisi dari pemerintahan presiden terpilih.

Proses seperti ini terlihat baik-baik saja dan cukup bisa diterima semua pihak. Tunggu dulu! Yang ‘menyediakan’ calon presiden adalah kelompok-kelompok yang akan menjalankan DPR.

Partai politik mengusung calon presiden yang berbeda dan tentu pilihan masyarakat akan terpecah. Setelah terpilihnya satu  orang presiden secara sah, apakah demokrasi berhenti sampai di situ? Tidak. Selalu ada masyarakat yang setuju dan tidak, ada yang senang ada yang kecewa. Begitu juga dengan partai politik, ada yang mendukung dan ada yang menjadi oposisi, ada yang bahkan ingin menolak hasil pilpres lalu menciptakan keributan. Partai politik dan masyarakat akan tetap terpecah, atas nama demokrasi. Maka setelah pilpres, sasaran berikutnya adalah DPR. Partai politik yang dapat menguasai DPR akan lebih mudah menjalankan peran sebagai partai pendukung pemerintah atau sebagai pihak oposisi.

Dengan demikian, siapapun presiden yang terpilih, masa depan bangsa kita akan tetap bergantung pada lemparan koin keberuntungan: Apakah presiden mendapatkan dukungan yang cukup dari DPR untuk menjalankan program-programnya dengan baik? DPR terdiri orang-orang yang mewakili partai politik; mereka bertarung di arena Pilpres, lalu mereka tetap akan meneruskan pertarungan di DPR karena masing-masing mereka membawa kepentingan yang berbeda, kepentingan dari partai-partai politik.

Bagaimana dengan perasaan masyarakat yang telah memilih presiden yang sah, apakah suara terbanyak masyarakat tidak cukup sah untuk memberikan mandat kepada presiden agar ia bisa menjalankan program-programnya? Sebab logikanya, masyarakat yang calon presidennya tidak menang dalam pilpres seharusnya secara otomatis memberikan dukungannya kepada presiden terpilih; karena setelah menjadi presiden, ia adalah pemimpin dari semua rakyat Indonesia. Bagi partai politik yang menang, mereka tentu ingin mempertahankan kekuasaan pemerintahan yang sah dan ingin agar presiden pilihannya dapat segera bekerja tanpa ada hambatan yang berarti, yang mampu menjatuhkan presidennya; sehingga mereka ingin menguasai DPR.

Sekarang saya balik posisi sudut pandangnya: Bagaimana dengan perasaan masyarakat yang tidakmemilih presiden yang sah? Atas nama demokrasi mereka masih bisa bersikap untuk menolak presidennya atau menolak kebijakan-kebijakannya hanya karena rasa kecewa, ketidak-puasan dan merasa tidak memilih presiden yang sah. Namun jika mereka tidak mengakui presiden yang sah atau melawan kebijakan pemerintahan yang sah, mereka akan dapat dikenakan sanksi hukum. Bagi partai politik yang kalah dalam pilpres dan menjadi oposisi, mereka tentu sangat ingin pemerintahan yang sah agar jatuh karena oposisi selalu punya calon presidennya sendiri; sehingga mereka ingin menguasai DPR juga.

Saat inilah arus hubungan antara Presiden, DPR dan rakyat terjadi secara tidak beraturan dan sering berbenturan. Rakyat terpecah; DPR terpecah. DPR bisa mengatas-namakan ‘seluruh rakyat Indonesia’ yang jelas suaranya terpecah dan begitu juga dengan Presiden. Partai politik mampu membangun kekuatan massa dari ormas-ormas; Presiden bisa menggunakan TNI/Polri dan Presiden pun memiliki suara masyarakat dengan jumlah lebih banyak, ia seseorang yang menjadi Presiden karena dipilih masyarakat dengan jumlah terbanyak.

Demokrasi yang diterapkan di Indonesia tidak jauh berbeda dari politik yang digunakan penjajah nenek moyang kita, Devide et Impera, pecah-belah; sementara masyarakat banyak masih terjebak demokrasi emosi. Jika demokrasi terus dilakukan dengan cara seperti ini, kemajuan bangsa kita akan sangat lambat sekali.

B. Segitiga setan pada isu hukum

Contoh lain dari cara orang Indonesia memanfaatkan demokrasi adalah ketika kita menyikapi kasus hukum.

ronaldhutasuhut.com
ronaldhutasuhut.com
Misalnya seorang Gubernur dituduh melakukan tindak kriminal. Partai-partai politik sangat bisa memanfaatkan kasus ini untuk menjatuhkan Gubernur tersebut melalui DPR. Mereka bisa mengumpulkan beberapa ormas untuk mengadakan demo, seolah demonstrasi beberapa ormas mewakili suara seluruh rakyat Indonesia. Dengan adanya demonstrasi ormas-ormas ini, DPR  lalu merasa memiliki alasan untuk mendesak Presiden memberhentikan sang Gubernur.

Yang DPR dan para pendemo tidak sadari adalah bahwa tidak semua orang mendukung aksi mereka. Hanya sebagian partai, beberapa ormas dan beberapa fraksi di DPR yang ingin sang Gubernur diberhentikan, tidak semua orang. Disinilah kekacauan dimulai. Semua merasa berhak berbicara dan mereka pikir mereka boleh memaksakan kehendak.

Suara rakyat boleh berbeda, tapi jika di dalam lingkungan DPR pun terpecah, lalu kapan bangsa ini mau maju? Untuk bersatu saja sulit. Apakah kita harus menentukan segala sesuatu dengan perang saudara, sebodoh itukah bangsa ini?

C. Segitiga setan dimana-mana

Hubungan segitiga setan hampir selalu terjadi dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Kesimpulan

Demokrasi yang Indonesia anut membentuk segitiga setan dimana DPR dan rakyat terpecah-pecah. DPR memiliki kepentingan politik yang berbeda-beda dan masyarakat memiliki kebutuhan yang berbeda-beda pula.

Inti dari kelemahan demokrasi di Indonesia, menurut saya, adalah DPR. Dewan Perwakilan Rakyat tidak seharusnya dikelola orang-orang yang berkepentingan politik; karena kepentingan politik partai belum tentu sesuai dengan aspirasi masyarakat banyak. DPR seharusnya bekerja hanya untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia, bukan sebagian! Kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

Maka hendaknya DPR dibubarkan agar masyarakat bisa membentuk lembaga rakyat yang baru, lembaga yang dikelola oleh masyarakat sendiri.

Bersihkan DPR dari partai politik. Seharusnya DPR dikelola oleh tenaga ahli, tokoh masyarakat, pengusaha, dokter, atlit, dosen, guru, tokoh adat, para pengamat dan lainnya; semua harus dari kalangan masyarakat yang profesional dan bersih dari segala urusan politik.

Biarkan partai-partai politik bertarung kekuasaan di arena yang lain. Masyarakat di DPR yang akan menilai dan menentukan pemenangnya. Kedaulatan di tangan rakyat.

Kuncinya ada di tangan masyarakat untuk memulai revolusi demokrasi, mengembalikan kedaulatan seutuhnya ke tangan rakyat. Namun ini tidak bisa dilakukan oleh masyarakat sendiri, akan terjadi perang saudara. Maka yang dibutuhkan adalah seorang pemimpin. Pemimpin seperti seorang.. presiden.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun