Mohon tunggu...
Ronald Dust
Ronald Dust Mohon Tunggu... Seniman - Seniman Musik dan Jurnalis

Seniman Musik dan Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Segitiga Setan Demokrasi

28 Februari 2017   01:18 Diperbarui: 1 Maret 2017   14:00 1165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ronaldhutasuhut.com
ronaldhutasuhut.com
Ketika masyarakat ingin menyampaikan kebutuhannya, sering terjadi bahwa ternyata aspirasi masyarakat terpecah menjadi perbedaan pendapat. Seringkali DPR tidak mampu menyerap aspirasi apalagi mencarikan solusi-solusi bersama dengan Presiden dan tidak sedikit yang kita lihat di media bahwa banyak masyarakat langsung mencari Presidennya untuk berkeluh-kesah.

Presiden sekarang pun mampu membuka pintu bagi rakyatnya. Namun politik selalu memiliki oposisi yang siap menghadang kebijakan Presiden, termasuk kebijakan yang diinginkan dari rakyatnya secara langsung.

Sering pula kita lihat DPR menuntut suatu permintaan kepada Presiden dengan mengatas-namakan rakyat, sementara rakyat tidak merasa membutuhkan DPR untuk menyampaikan hal tersebut. Tuntutan seperti memberikan anggota DPR fasilitas yang mereka inginkan atau berusaha untuk tidak menyetujui kebijakan yang dirancang Presiden untuk kebutuhan rakyat.

A. Segitiga setan pada proses Pilpres

ronaldhutasuhut.com
ronaldhutasuhut.com
Pemilihan Presiden atau Pilpres dilakukan secara langsung dengan prinsip “Masyarakat memilih langsung siapa yang akan menjadi presiden”. Pilpres diselenggarakan oleh KPU, oleh karena itu posisi KPU berada di tengah di antara (calon) Presiden, DPR dan rakyat karena KPU harus menjadi pihak netral. Kita letakkan KPU dan pilpres-nya di pusat segitiga.

Yang ‘menyediakan’ calon presiden adalah partai politik, kelompok-kelompok yang nantinya mengelola DPR. Paradigma bangsa terahkan/diarahkan kepada sugesti bahwa calon presiden yang memiliki dukungan partai politik terbanyak yang akan menang. Pola pikir ini tentu salah karena yang benar seharusnya calon presiden yang didukung Masyarakat dengan jumlah terbanyaklah yang menang. Setelah didapatkan presiden yang terpilih secara sah, partai-partai politik dapat menentukan sikap mendukung atau menjadi oposisi dari pemerintahan presiden terpilih.

Proses seperti ini terlihat baik-baik saja dan cukup bisa diterima semua pihak. Tunggu dulu! Yang ‘menyediakan’ calon presiden adalah kelompok-kelompok yang akan menjalankan DPR.

Partai politik mengusung calon presiden yang berbeda dan tentu pilihan masyarakat akan terpecah. Setelah terpilihnya satu  orang presiden secara sah, apakah demokrasi berhenti sampai di situ? Tidak. Selalu ada masyarakat yang setuju dan tidak, ada yang senang ada yang kecewa. Begitu juga dengan partai politik, ada yang mendukung dan ada yang menjadi oposisi, ada yang bahkan ingin menolak hasil pilpres lalu menciptakan keributan. Partai politik dan masyarakat akan tetap terpecah, atas nama demokrasi. Maka setelah pilpres, sasaran berikutnya adalah DPR. Partai politik yang dapat menguasai DPR akan lebih mudah menjalankan peran sebagai partai pendukung pemerintah atau sebagai pihak oposisi.

Dengan demikian, siapapun presiden yang terpilih, masa depan bangsa kita akan tetap bergantung pada lemparan koin keberuntungan: Apakah presiden mendapatkan dukungan yang cukup dari DPR untuk menjalankan program-programnya dengan baik? DPR terdiri orang-orang yang mewakili partai politik; mereka bertarung di arena Pilpres, lalu mereka tetap akan meneruskan pertarungan di DPR karena masing-masing mereka membawa kepentingan yang berbeda, kepentingan dari partai-partai politik.

Bagaimana dengan perasaan masyarakat yang telah memilih presiden yang sah, apakah suara terbanyak masyarakat tidak cukup sah untuk memberikan mandat kepada presiden agar ia bisa menjalankan program-programnya? Sebab logikanya, masyarakat yang calon presidennya tidak menang dalam pilpres seharusnya secara otomatis memberikan dukungannya kepada presiden terpilih; karena setelah menjadi presiden, ia adalah pemimpin dari semua rakyat Indonesia. Bagi partai politik yang menang, mereka tentu ingin mempertahankan kekuasaan pemerintahan yang sah dan ingin agar presiden pilihannya dapat segera bekerja tanpa ada hambatan yang berarti, yang mampu menjatuhkan presidennya; sehingga mereka ingin menguasai DPR.

Sekarang saya balik posisi sudut pandangnya: Bagaimana dengan perasaan masyarakat yang tidakmemilih presiden yang sah? Atas nama demokrasi mereka masih bisa bersikap untuk menolak presidennya atau menolak kebijakan-kebijakannya hanya karena rasa kecewa, ketidak-puasan dan merasa tidak memilih presiden yang sah. Namun jika mereka tidak mengakui presiden yang sah atau melawan kebijakan pemerintahan yang sah, mereka akan dapat dikenakan sanksi hukum. Bagi partai politik yang kalah dalam pilpres dan menjadi oposisi, mereka tentu sangat ingin pemerintahan yang sah agar jatuh karena oposisi selalu punya calon presidennya sendiri; sehingga mereka ingin menguasai DPR juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun