Suatu hari ketika saya duduk di bangku SD, saya merasa agak ragu untuk pulang ke rumah. Jika ayah saya sudah marah, tidak ada satupun yang berani bicara. Hari itu saya membawa hasil ulangan harian dengan nilai 0. Saya tidak berani memberikan hasil seperti itu sehingga saya membuang kertas ulangan tersebut ke tempat sampah.
Sore harinya, ayah memanggil. Ia meminta saya duduk di ruang tamu, hati saya pun tersentak merasa tidak enak. “Ayah sudah tahu..” pikir saya. Saya benar-benar tidak berani menatap ayah, ia pasti sedang sangat marah karena nilai 0 pada ulangan saya.
“Ini ayah ambil dari tempat sampah” katanya memulai pembicaraan sambil merapihkan kertas ulangan saya yang sudah kotor dan kusut. Badan saya terasa kaku dan gemetar. Ayah bertanya “Mengapa nilaimu bisa begini?”. Tidak ada sepatah kata pun dari mulut saya, untuk berkedip saja susah. Tapi kemudian ayah berkata-kata dengan tenang, menjelaskan satu per satu pertanyaan yang tertera pada kertas ulangan saya, ayah juga memberikan jawaban-jawaban serta penjelasannya kepada saya.
Saya memang hanya ingat satu pertanyaan saja dari ulangan saya berpuluh tahun lalu itu: “Kapan munculnya Super Semar”. Tapi sampai saya menuliskan artikel ini, saya masih ingat dengan jelas sikap ayah yang begitu sabar menghadapi kekurangan saya. Saya juga selalu mempelajari sesuatu dengan sungguh-sungguh sejak kejadian itu dan sampai sekarang saya menerapkan sikap yang sama kepada anak-anak.
Satu pelajaran hidup yang berharga bagi saya: Ada kalanya kita harus menjadi keras terhadap anak yang bebal, tapi terkadang kelemah-lembutan dapat menanamkan nilai moral yang akan diingat seumur hidup oleh seorang anak.
Pada masa setelah saya dewasa ini, saya melihat orang-orang meributkan betapa pentingnya membentuk karakter seorang anak di sekolah. Saya melihat mereka berusaha menanamkan nilai-nilai agama kepada murid-murid. Saya juga mendengar ada yang mengusulkan pendidikan moral untuk pembentukan karakter dimasukkan dalam kurikulum. Kurikulum?
Ayah saya pernah bercerita mengenai suatu kondisi dimana ia masih bersekolah di jaman kita baru merdeka. “Ketika kami melihat guru datang, dari jauh saja kami sudah tertunduk hormat kepada guru kami”. Saya bertanya apa alasannya, apa guru mereka sekejam itu sehingga murid-muridnya takut? Ayah saya mengatakan “Tidak ada alasan, kami cuma menghormati guru kami, itu saja”. Karena itu lalu ayah merasa heran mengapa anak-anak di jaman ini bahkan ada yang berani menantang gurunya atau menjadikan gurunya sebagai lelucon. Saya hanya mengatakan kepada ayah “Tergantung bertanyanya ke siapa..”. Maksud saya guru akan mengatakan muridnya korban pergaulan jaman sekarang dan murid akan mengatakan guru kami tidak ada wibawanya lagi dengan berbagai alasan.
Saya tidak pernah menyangkal bahwa agama atau bimbingan konseling dapat menumbuhkan citra moral murid, tapi saya dapat menilai bahwa hal-hal membentuk moral, mental dan karakter murid di sekolah belum banyak berhasil. Kita masih melihat terlalu banyak murid yang bermasalah.
Sikap ayah saya terhadap kekurangan anaknya ini mengajarkan kepada saya: Bahwa mendidik seorang anak untuk menjadi baik bisa dilakukan dengan berbagai cara, dimanapun, kapanpun dan tidak perlu formil.
Bukti lainnya ketika saya duduk di bangku SMA, saya mendapatkan teman sebangku yang sukunya sama dengan saya, ia sama sekali baru datang dari kampung, Naibaho marganya. Jika ia melihat saya malas mengerjakan PR, ia langsung marah-marah kepada saya dan mengatakan “Dasar anak kota!”. Tapi setelah ia marah, ia yang mengerjakan PR saya tersebut tanpa saya minta. Kejadian yang tampak sepele itulah yang membuat saya merasa malu sampai hari ini dan itu juga yang membuat saya selalu mengerjakan tugas-tugas saya sampai tuntas dengan sepenuh hati.
Pada prakteknya di lingkungan sekolah, guru haruslah menjadi orang tua yang bijaksana bagi murid-muridnya. Jika murid tidak mengerjakan PR, guru memberikan sanksi tertentu dengan nasihat-nasihat, bukan dengan amarah kebencian, lakukan itu terus-menerus. Jika murid lambat menangkap pelajaran, guru mencarikan solusi-solusi yang paling tepat bagi muridnya tersebut. Jika murid-murid berkelahi, guru melerai dan memastikan mereka betul-betul berdamai satu sama lain. Jika murid mengejek-diejek murid lainnya, guru memastikan kegiatan itu berhenti dan menjadikan murid-murid tersebut betul-betul berteman.
Jika murid sedang bermasalah dengan keluarganya, gurulah yang merangkul muridnya sebagai orang-tua. Jika murid sedang bermasalah dengan masalah asmara, guru pelajari ilmu psikologi remaja untuk bersiap memberikan nasihat sebagai orang-tua.
Apapun bidang yang seorang guru ajarkan di kelasnya, masukkan pendidikan moral, mental dan pembentukan karakter ke dalam bidang ilmu yang ia ajarkan. Mulailah dari pelajaran kedisiplinan dalam belajar, tanggung-jawab mengemban ilmu pengetahuan yang didapat di sekolah, bahwa merekalah yang akan bertanggung-jawab atas keluarga mereka sendiri, bahwa negara ini akan mereka kelola dengan tangan mereka sendiri. Lakukan itu dengan sungguh-sungguh kepada murid di sekolah.
Hanya ada empat hal yang mengelilingi kehidupan seorang murid: Keluarga, Teman, Guru dan yang ada dalam hatinya. Salah satu saja hilang dari lingkaran dapat menimbulkan reaksi berlebihan dari seorang anak. Jika semua hilang dari lingkaran kehidupannya, seorang anak akan menjadi sehelai rambut di lautan, terapung kemana-mana. Sebagai seorang guru, tentu saja Anda jangan sampai menjadi satu yang hilang itu, karena Anda tidak akan pernah tahu, kapan Anda menjadi orang yang paling dibutuhkan murid Anda.
Namun demikian, ketika guru menyisipkan hal-hal pendidikan moral, janganlah juga dilupakan inti dari bidang ilmu yang ia ajarkan. Misalnya jika guru terlalu dalam, mungkin terlalu sering juga, membicarakan soal-soal agama ketika sedang mengajarkan pelajaran Ekonomi atau Matematika, murid dapat kehilangan ilmu Ekonomi dan Matematikanya itu lalu akhirnya murid tidak mampu menguasai ilmu pengetahuan tersebut. Serahkanlah pendidikan-pendidikan mengenai agama kepada para pemuka agama di tempat ibadah, mereka yang tahu bagaimana mengajarkan agama kepada anak-anak sekolah. Diharapkan guru tetap fokus pada inti-inti materi pelajaran yang mereka pegang, walaupun guru harus juga mendidik secara moril kepada murid-muridnya.
Apakah sekolah memerlukan suatu mata pelajaran untuk moral, mental dan pembentukan karakter? Tidak. Kita tidak bisa meminta murid menuliskan nilai-nilai moral di atas kertas, kita hanya bisa menunjukkan apa yang disebut dengan moral itu. Apakah kita masih perlu bingung mendidik anak-anak mengenai moral? Tidak. Kita hanya perlu menjadi bijaksana.
Semoga cerita ini bisa bermanfaat untuk pengembangan proses Kegiatan Belajar Mengajar di sekolah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H