Mohon tunggu...
Ronald Adipati
Ronald Adipati Mohon Tunggu... Guru - Guru

Suka menulis hal-hal yang remeh temeh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kunikahi Kau dengan "Wish Me Luck"

29 Mei 2018   15:23 Diperbarui: 29 Mei 2018   15:34 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

07 September 2009:

Pagi itu, aku masih asyik dengan segelas kopi pagiku. Naskah opini Prof. Cipta Lesmana yang sengaja ku kliping dari Koran Kompas menemani kopi dan pagiku. Sengaja aku agak santai hari itu. Jam kuliah yang dimulai pukul 09.30 membuatku sedikit berlama-lama berkutat dengan kata-kata Pak Cipta. Berharap bahwa kata-katanya juga inti tulisannya bisa jadi tambah referensi saat diskusi bersama kawan-kawan seperjuangan. Ah, itu waktu masih kuliah. 

Ketika opini jadi bahan diskusi favorite, ketika demonstrasi seperti sarapan pagi, dan mengkritik pemerintah jadi kesenangan. Aku masih mengingat jelas artikel itu: 'Apa yang kau cari anggota Dewan?', sebuah tulisan yang sedikit sarkas buat para pencari kerja menjadi anggota dewan. Aku tersenyum sendiri manakala Pak Cipta menyamaratakan upaya pencarian kawan-kawan anggota dewan dengan pencarian harta. Astaga!!!

Tapi bukan ini yang mau ku tulis hari ini.

Ketika masih asyik tersenyum sebuah panggilan yang suaranya begitu akrab di gendang telingaku terdengar dari luar pintu kamarku. 'Kaka Onak', suara adik perempuanku menggema pelan dari luar pintu kamarku. Tanpa menunggu jawabanku, gagang pintu mulai berputar perlahan kemudian adik perempuanku muncul bersama seorang temannya.

'Toe ngo sekolah meu bo?' (Kalian tidak pergi sekolah?), tanyaku retoris. Aku tahu memang kalau mereka ini suka bolos atau juga tidak sampai di sekolah meski sudah berseragam putih abu-abu.

'Toe manga kaka, rantang les matematika (Tidak pergi kaka, takut les matematika)', jawab temannya lugas. 'Lha, memangnya kenapa?', tanyaku penuh rasa ingin tahu. 'Gurunya kejam kaka, apalagi kalau tidak bisa menjawab pertanyaan, kami bisa berlutut sepanjang waktu. Aku pun diam. Nurani pemberontakan ala mahasiswa mulai muncul dalam pikiran.

Jika pendidikan tidak bisa memanusiakan, lalu untuk apa ia dilanggengkan? Jika para siswa saja dididik dalam kultur ketakutan mampukah pendidikan itu menghasilkan generasi yang mumpuni? Apakah kita masih punya pegangan untuk masa depan jika kultur lingkungan sekolah tidak memberikan rasa aman bagi peserta didik? Apalagi ini matematika, yang harusnya dipresentasi secara kreatif dan menyenangkan. Pikiran-pikiran itu timbul sesaat setelah aku berdiam diri terhadap kenyataan yang terjadi pada saudariku dan temannya ini.

'Kaka, kami lapar', adikku berkata sambil membuka rice cooker yang ada di bawah kaki meja kerjaku. Mereka beruntung pagi ini. Karena baru pada hari ini aku masak nasi untuk sarapan pagiku. Biasanya ketika kampus pagi segelas kopi dan sebatang surya 12 yang kubeli eceran jadi kawan akrab. Selain itu, jatah beras (sebetulnya RASKIN) yang baru kemarin dikirim dari kampung menambah semangatku untuk memasak. Ketika mereka lagi asyik makan, akupun bersiap ke kampus sembari tak lupa menitip pesan untuk mengunci pintu kamar jika mereka pulang.

Kampus, 09.00 wita:

Aku masih terkosentrasi pada adikku dan temannya. Temannya, kalau boleh ku gambarkan tinggi semampai, rambut air, hidung mancung, anggun menawan. Ah, lupakan. Dia masih SMA, pikirku. Tetapi lambat laun pikiranku makin tak menentu. Pertarungan antara logika dan naluri untuk menjalin hubungan dengan seorang anak SMA yang nota bene masih di bawah umur berkecamuk hingga tanpa sadar sebatang kapur lemparan Dosenku tepat telak mendarat di pipiku. 

Dosenku yang memang katanya jago lempar lembing mendapatkan kembali momennya saat kapur itu mendarat mulus di tengah pipi kananku. "Ronald, can you tell me what is phonology?, aku yang dari tadi memang tidak konsentrasi mengikuti mata kuliah itu hanya bisa menjawab: "Sorry, sir! I can't hear your voice". Jawabanku sontak membuat seisi kelas riuh dan berujung pada ngambek-nya sang Dosen lalu keluar dari kelas. Aku tertawa, semua tertawa.

Waktu terus berlalu. Jam kuliah sudah berakhir. 

Pesan rahasia yang kutitipkan ke adikku sebelum saya berangkat kuliah tadi pagi sudah disampaikan dan hasilnya pun maksimal. Kami berdua akhirnya jadian. C & R in love, begitulan kami menyingkat nama kami masing-masing biar terlihat agak keren. Romantisme ala remaja dipamerkan. Puisi malam yang dipandu penyiar handal serta request lagu di saluran 101.1 BS FM, Jalan Slamet Riyadi kerap mengudara di jam 22.00. 'Hero', dengan liriknya: I can be your hero baby, I can kiss when you pain, and I would stand by you forever, menjadi nada akrab pengantar tidur malam, aku juga dia.

Hingga akhirnya: 

 'Kaka, kita sudah sejauh ini. Saya harap kaka tetap berdiri di sisi saya. Menjadi partner saya dalam suka maupun duka, menjadi ayah dari anak kita nantinya, pintanya seraya bersandar di bahuku. Kemudian, Ia rebah. Sebentuk kecup mendarat akrab, rapat, dan lama pada keningnya. Ku Nikahi Kau dengan WISH ME LUCK, kataku setengah berbisik. 

Semoga kau memberiku keberuntungan. Hanya keberuntungan yang membuat kita berdua nantinya bertahan, hanya keberuntungan yang membuat kita berdua berdiri sama tinggi dengan mereka-mereka di luar kita. Sebab aku hanya punya cinta. Bukankah hanya cinta sejati yang sangggup meluluh lantakan tantangan? Aku mencintaimu segenap hatiku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun