Mohon tunggu...
Humaniora

UMAT KRISTIANI DALAM MASYARAKAT PLURALISTIK

10 September 2017   23:30 Diperbarui: 11 September 2017   14:01 13762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pendahuluan

Masyarakat pluralistik  adalah karunia Tuhan yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Karena itu, sebagaimana anggota masyarakat lainnya, setiap umat Kristen harus dapat bekerjasama secara maksimal dengan umat beragama lainnya, hidup penuh toleransi tanpa harus menganut pandangan pluralisme agama yaitu satu faham yang mengajarkan bahwa keselamatan, terdapat dalam setiap agama. Alkitab mengajarkan bahwa keselamatan diberikan Allah kepada setiap orang yang menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya dan hidup berdasarkan firmanNya. Namun demikian memasuki abad ke-20, para teolog modern semakin marak mengajarkan bahwa keselamatan  juga terdapat dalam setiap agama dan kepercayan yang ada  didalam mayarakat pluralistik.  Lalu bagaimanakah sikap Kristen yang bertahan pada ajaran Alkitab. Apakah  orang Kristen harus menggeser imannya agar  dapat menyesuaikan dirinya dengan  masyarakat yang beragama dan kepercayaan lain? Bagaimanakah seharusnya orang Kristen hidup berdampingan bersama sudara-saudaranya dengan penuh toleransi?  Apakah memeluk agama Kristen menjadi penghalang baginya untuk hidup berdampingan dengan saudara-saudaraya dengan penuh toleransi ? Uraian singkat ini ditujukan untuk menjelaskan bagaimana seharusnya orang kristen memandang pluralisme (kemajemukan) dari sudut pandang iman Kristen ditengah-tengah saudara-saudaranya yang menganut kepercayaan berbeda dengannya. Dengan pemahaman yang baik diharapkan,  semakin terbangunnya semangat  hidup saling memahami dan mengasihi satu dengan lainnya, dalam satu masyarakat  pluralistik yang penuh damai sejahtera, jauh dari konflik antar suku, ras dan agama.

1. Indonesia negara banyak agama

Indonesia yang berpenduduk lebih dari  237  juta jiwa, terdiri dari 300 kelompok etnik dan 1.340 suku bangsa (sensus BPS tahun 2010) dan tersebar dari Sabang sampai Merauke.  Ada enam agama yang sampai saat ini diakui Pemerintah sebagai agama resmi yaitu Islam, Kristen (Protestan dan Katolik), Hindu, Buddha, dan Konghucu. Selain enam agama di atas, Pemerintah menetapkannya sebagai Aliran Kepercayaan.  Sesuai dengan banyaknya suku bangsa di Indonesia maka tidak heran banyak pula agama-agama asli  di  Indonesia. Beberapa diantaranya adalah Sunda Wiwitan (Jawa Barat), Kejawen (Jawa), Marapu (Sumba), Kharingan (Dayak), Parmalim (Batak), Talotang (Toraja) dan banyak lagi aliran kepercayaan lainnya, yang oleh Pemerintah digolongkan sebagai suatu Aliran Kepercayaan saja. Agama-agama atau Aliran Kepercayaan ini  sudah ada sejak dahulu sebelum masuknya agama besar dunia, seperti halnya Islam, Kristen, Hindu dan Budha.  Sampai abad ke-11 dominasi agama-agama di Nusantara ini,  adalah agama Budha, Hindu, aliran kepercayaan dan animisme. Sementara itu, agama Islam baru masuk ke Nusantara di abad 11 dibawa oleh para pedagang Arab dari Gujarat India.  Baru kemudian pada akhir abad ke-16, agama Islam, melampaui  jumlah penganut agama Hindu dan Buddha, yaitu agama-agama yang sebelumya dominan pada suku-suku di  Jawa dan Sumatra.  Adapun penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya didorong oleh meningkatnya jaringan perdagangan di luar kepulauan Nusantara sampai  ke Kesultanan Mataram (di Jawa Tengah sekarang), dan Kesultanan Ternate serta Tidore di Kepulauan Maluku di timur. Dominasi penyebaran agama Islam di Indonesia cukup rumit dan berlangsung lama sampai menempati posisi dominan di abad ke-21 ini. Dari sekitar 237 juta penduduk Indonesia, sekitar 87 persen sudah menjadi penganut agama Islam. Namun penting dicatat, bahwa agama-agama yang selama ribuan tahun menjadi agama utama di Nusantara ini adalah agama kepercayaan asli, Hindu dan Budha,  bukan agama Islam.  Budaya Indonesia yang beragam itu telah membuktikan betapa tinggi dan luhurnya budaya nenek moyang kita sehingga beralihnya berbagai suku bangsa di Indonesia dari  penganut agama yang satu menjadi penganut agama yang lainnya,  telah berlangsung dengan proses yang aman,  penuh rasa kekeluargaan dan kasih persaudaraan. Konflik-konflik memang pernah ada didalam prosesnya, namun hal tersebut lebih terkait kepada kondisi politik dan hegemoni  wilayah perdagangan di zaman itu.  Sejarah perjalanan bangsa Indonesia menunjukkan bahwa kemajemukan  khususnya agama-agama,  bukanlah menjadi sumber konflik seperti yang sering banyak disebut-sebut beberapa tahun terakhir ini.

2. Manusia sebagai mahluk beragama

Menurut Alkitab (Injil), didalam diri manusia yang hidup, terdapat  nafas hidup (roh) yang berasal dari Allah yang dihembuskan oleh Allah kedalam diri Adam pada waktu manusia pertama diciptakan (Kejadian 2:7). Didalam diri manusia ada unsur ilahi,  yang menjadikan manusia itu menjadi mahluk rohani dimana dalam dirinya telah tertanam keinginan untuk selalu mencari sumber keberadaannya atau Penciptanya. Kerinduan kepada Ilahi  menjadi rusak setelah Adam memberontak kepada Tuhan (jatuh didalam dosa), sehingga manusia tidak lagi menginginkan yang baik dari Tuhan saja, tetapi juga menginginkan yang jahat dari iblis.  Manusia  yang diciptakan  serupa dan segambar itu (Kejadian 1:26-27) memang masih memiliki  hati (tempat yang seharusnya diisi oleh Tuhan)  sehingga meskipun sudah jatuh didalam dosa, manusia itu masih dapat memahami adanya Tuhan melalui kebesaran ciptaanNya (Wahyu Umum). Itu sebabnya mengapa manusia itu pada dasarnya adalah mahluk rohani atau manusa agama. Bagaimana dengan mereka yang tidak percaya adanya Tuhan ? Ya, ketidakpercayannya itulah yang telah menjadi agamanya. Tetapi  jauh didlam lubuk hatinya manusia memiliki satu kesadaran adanya kekuatan yang jauh lebih besar daripada dirinya (supranatural), yang kerap mendorong batin manusia menanyakan dan mencari Tuhan yang maha kuasa.  Pertanyaan-pertanyaan tentang kuasa-kuasa supranatural itu biasanya menemukan jawabannya melalui lingkungan dimana manusia itu berada, (didalam kebudayaan),  termasuk ilmu  pengetahuan.  Sejak ribuan tahun manusia memiliki kepercayaan kepada Tuhan didalam berbagai  budaya etnik sendiri atau suku bangsa lainnya karena perjumpaan berbagai suku bangsa dalam wilayah-wilayah habitat manusia. Manusia memiliki pilihan menerima atau menolak agama-agama yang berada dalam wilayah kebudayaannya itu sebagai hak asasinya.

3. Keragaman agama bukanlah sumber konflik

Berkembangnya pemahaman pluralisme agama-agama antara lain dimotivasi oleh upaya menghindari berkembangnya radikalisme penganut agama-agama yang menganggap dirinya adalah suatu sistem kepercayaan yang paling benar dan yang lain harus berkonversi kepada yang paling benar. Sejak semula beberapa agama misi seperti Islam, Kristen mengajarkan sistem kepercayaan yang demikian. Akan tetapi apabila kita amati dengan teliti sebetulnya ajaran keyakinan iman yang sedemikian bukanlah ancaman, apalagi sampai menjadi sumber konflik  terhadap eksistensi satu masyarakat pluraris yang aman dan damai, apabila para penganutnya dapat memahami agamanya dengan benar sesuai dengan kitab sucinya masing-masing karena setiap agama mengajarkan pentingnya perbuatan-perbuatan baik. Jelas, setiap agama melarang umatnya melakukan tindakan kekerasan dan kejahatan kepada sesama manusia. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada salam yang disampaikan oleh masing-masing agama misalnya Assalamualaikum (Islam), Shalom (Kristen dan Yahudi) yang berarti salam damai sejahtera dan demikian juga "Om Shanti, Shanti, Shanti Om pada agama Hindu dan "Nammo Buddhaya" pada agama Budha. Apabila sampai terjadi konflik yang melibatkan agama, maka  pastilah ada penyimpangan ajaran ataupun penyimpangan aplikasi dari penganutnya. Sejarah membuktikan bahwa, selama ini, sebetulnya yang menjadi pemicu konflik bukanlah agama-agama,  tetapi lebih kepada friksi politik, terkait perebutan kuasa ataupun wilayah kekuasaan.  Perang Salib yang berlangsung ratusan tahun itu pun,  terjadi sebagai reaksi orang Kristen Eropa yang merasa dihalangi oleh Bani Saljuk (Islam) melaksanakan ziarah ke Yerusalem, karena Bani Saljuk  waktu itu telah merebut dan menguasai Yerusalem  sehingga raja-raja di Eropa serta Paus pun menyetujui diambilnya langkah perang suci untuk merebut kembali Yerusalem. Hal ini  merupakan catatan buruk didalam sejarah kekristenan yang pernah melibatkan agama Kristen dalam Perang Salib.  Demikian pula pertikaian yang terjadi antara Israel dengan Palestina hingga saat ini, pada dasarnya  bukanlah pertikaian antara agama Islam dengan Yahudi karena di Israel sendiri banyak warga negaranya adalah orang Arab Islam dan Kristen. Demikian juga di Palestina,  banyak juga warga negaranya menganut agama Kristen dan agama Yahudi. Disinilah kita melihat bahwa untuk kepentingan golongan tertentu, agama kerap digunakan untuk berbagai kepentingan politik. Demikian juga konflik antara pemeluk Hindu dan Islam di India bukan diakibatkan oleh masalah-masalah teologis dan agama. Memang agama adalah urusan spiritual antara individu terhadap Tuhan (hubungan personal) tapi jangan lupa agama-agama juga memiliki peranan yang penting dalam fungsi sosial kemasyarakatan yang mudah dijadikan alat  politik untuk mencapai tujuan-tujuan yang jahat yang justru sangat bertentangan dengan hakekat agama-agama itu sendiri. Dengan demikian, konflik yang sebenarnya bukanlah konflik antar agama melainkan konflik yang menjadikan sentimen agama sebagai alat politik untuk menghimpun dan memperkuat kekuasaan politik.  Belajar dari banyak kasus seperti itu, maka Indonesia pun akan terhindar dari konflik sara apabila para pemeluknya dapat memahami agama dengan benar. Pelaksanaan agama dengan benar akan menciptakan ketakwaan dan sikap toleransi yang tinggi dalam kehidupan masyarakt pluralistik  dan menjadi alat pemersatu sebagai kekuatan dalam pembangunan bangsa.

Penting difahami, semangat saling memaklumi dan menerima adalah satu sikap yang sudah sejak dulu diwariskan dan hidup dalam masyarakat Indonesia yang multi etnis, bahasa serta budaya. Didalam sikap saling  memahami itu, terkandung pikiran yang terbuka terhadap dialog dan saling menerima antara satu umat dengan dengan umat agama yang lainnya.  Tidak heran sejak dulu juga pernikahan antar suku di Indonesia yang berimplikasi pada konversi agama salah satu atau kedua belah fihak, tidak dikuti dengan terjadinya konflik sara. Masyarakat kita sudah sejak lama memahami, bahwa agama adalah soal hak asasi masing-masing dan hubungannya bersifat vertikal sehingga tidak boleh ada fihak yang memaksa apalagi mengancam dan mengenai kebebasan beragama ini  sudah final tercantum dalam Sila yang pertama dalam Pancasila dan dijamin oleh UUD 1945.  Dengan demikian keragaman agama-agama, khususnya Kristen yang mengajarkan keselamatan kekal hanyalah ada didalam Yesus Kristus, tidak memerlukan pendekatan pluralisme agama sebagaimana pendekatan Paul F. Knitter, Raimundo Panikar, dan Choan Seng Song, para teolog yang mengajarkan bahwa keselamatan bukan hanya terdapat dalam  Yesus Kristus sebagaimana ajaran Alkitab.

4. Bhineka Tunggal Ika dan Toleransi

Bhineka Tunggal Ika berarti  "berbeda-beda tetapi tetap satu" adalah falsafah yang digali dari kekayaaan bumi nusantara yang sejak dulu sudah berhasil mempersatukan kemajemukan suku, bangsa, dan agama-agama yang ada.  Falsafah ini telah sejak dulu berhasil mempersatukan  Nusantara (Sriwijaya di abad ke-7) meskipun kemudian falsafah tersebut dituliskan oleh Mpu Tantular pada zaman Kerajaan Majapahit  dalam buku Sutasoma lalu dicetuskan kembali oleh Bung Karno, bung Hatta dan para pemimpin lainnya  saat mendirikan Republik Indonesia yang ber Bhineka Tunggal Ika  ini. Selama ribuan tahun Bhineka Tunggal Ika adalah falsafah atau semboyan hidup bahwa pluralistik adalah realitas Indonesia yang menuntut satu toleransi yang tinggi (intelek). Walaupun Indonesia terdiri dari banyak suku, agama, ras, kesenian, adat, bahasa, dan lain sebagainya namun tetap satu kesatuan, yaitu sebangsa dan setanah air. Dipersatukan dengan satu nasionalisme Indonesia untuk mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur. Keanekaragaman termasuk dalam agama,  tidak boleh menjadi sumber pertikaian atau perpecahan tetapi sebaliknya justru keanekaragaman haruslah dapat diterima sebagai asset pemersatu bangsa. Perbedaan haruslah dipandang sebagai suatu hal yang wajar  dan perlu agar dapat menjadi harmonis dan serasi  dalam satu masyarakat majemuk.

5. Masyarakat Pluralistik  dan iman Kristiani  

Masyarakat pluralistik terbentuk dari  keberagaman latar belakang etnis, budaya dan agama ataupun  kepercayaan. Dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia, bangsa Indonesia diikat oleh falsafah hidup atau "Pancasila" sebagai ideologi Negara yang mempersatukan kebelbagaian potensi bangsa. Kemajemukan  sebagai sebuah kerangka yang mengakomodasi interaksi berbagai kelompok masyarakat dengan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Tanpa konflik, mereka hidup bersama (koeksistensi) dan mewujudkan hasil yang dicita-citakan bersama.  Masyarakat plural adalah  salah satu ciri khas masyarakat modern yang sangat diperlukan dalam mencapai tujuan modernisasi, kemajuan  ilmu pengetahuan, dan pembangunan bangsa. Dalam masyarakat plural, dibutuhkan demokrasi yang dapat menghasilkan partisipasi dan komitmen untuk mencapai tujuan bersama.  Namun demikian, pluralisme agama  belum tentu sesuai dengan pemahaman masing-masing agama karena masing-masing keyakinan bersifat absolut. Pluralisme agama (Religious Pluralism) jangan disalahmengertikan dengan 'toleransi', karena istilah 'Pluralisme Agama'  adalah berbeda sama sekali. Dalam tradisi Kristen sendiri, terdapat tiga cara pendekatan teologis terhadap agama lain :

  • Eksklusivisme: Pendekatan  yang memandang hanya orang-orang menerima Alkitab (Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat) yang akan diselamatkan. Di luar itu, tidak ada  keselamatan.
  • Inklusivisme : Pendekatan yang berpandangan, meskipun Kristen adalah  merupakan agama yang benar, tetapi keselamatan juga mungkin terdapat pada agama lain.
  • Pluralisme: Pendekatan yang memandang semua agama adalah jalan yang sama-sama benar sehingga  tidak ada agama yang dipandang lebih superior dari agama lainnya.

Didalam Negara Pancasila setiap warga dan agama memiliki kebebasan untuk memilih salah satu dari pendekatan tersebut diatas dalam konteks kesatuan dan persatuan. Memilih  salah satu pandangan diatas tidak boleh mengurangi semangat toleransi antar umat beragama dan hal ini sudah terbukti dapat dilakukan, saling menghormati antar suku dan ras dan agama meskipun berbeda-beda. Dalam menunaikan kepercayaannya  setiap kelompok agama tidak boleh mengganggu kenyamanan atau memaksakan kehendaknya kepada yang lain. Namun penting dicatat, sebagai agama misi maka sebagaimana agama-agama lainnya juga, setiap agama tidak boleh dilarang untuk memberitakan ajaran-ajaran agama-agama itu dan bagi mereka yang tertarik, dapat mempelajarinya secara terbuka dan apabila tertarik mereka pun dengan bebas dapat menganutnya atau berpindah kepercayaannya sesuai dengan undang-undang kebebasan untuk memeluk agama dan menjalankan ibadahnya. Tidak boleh ada yang menekan dan mengancam.  Agama Islam, Kristen, Hindhu dan Budha sudah seharusnya  memandang agamanya yang paling benar. Demikianlah didalam kekristenan, Alkitab mengajarkan bahwa kebenaran absolut hanya terdapat didalam Alkitab yaitu Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat satu-satunya. (bandingkan Yohanes 14:6, Kisah 4:12).  Dalam hal ini Alkitab tidak dapat menerima pendekanan inklusivisme  apalagi pluralisme dalam agama-agama.  Sejalan dengan itu, para penganut agama-agama termasuk Kristen, tidak dapat dilarang menjalankan ibadah dan memberitakan atau mengkhotbahkan apa yang mereka percayai.  Sebagaimana juga dengan ibadah dimesjid-mesjid yang disiarkan melalui pengeras suara maka agama Kristen  semestinya dapat juga melakukan hal yang sama, meskipun hal itu tidak dilakukan, karena memang belum diperlukan. Dengan demikian, sebagai wujud saling menghargai dan saling menghormati, seharusnya pembangunan rumah ibadah dan syiar agama-agama lain termasuk Kristen pun dapat dilakukan tanpa hambatan. Dalam kondisi ini maka orang Kristen dapat dengan leluasa mensyiarkan apa yang mereka imani, dengan tetap menghormati agama saudara-saudaranya. Inilah wujud nyata kerukunan umat beragama.

6. Dialog antar agama

Pada dasarnya manusia memiliki roh Allah  didalam dirinya sehingga, setiap manusia yang hidup,  memiliki keinginan  mencari siapakah Allah pencipta dan kebenaran itu. Alasan itu jugalah yang menyebabkan manusia menyadari adanya  kekuatan yang besar diluar dirinya yang mungkin belum ditemukannya sehingga keinginan itu melahirkan agama-agama. Karena itu dialog-dialog antar agama, antara lain dilakukan  untuk juga  menjelaskan ajaran agama lainnya serta implikasinya  bagi kehidupan bersama. Sebagai konsekuensi logisnya, melalui dialog tersebut mungkin seseorang akan menemukan kebenaran yang lebih dapat diterimanya tanpa mengurangi rasa saling memahami dan kerjasama antar agama sebagai sesama warga masyarakat majemuk. Alkitab menyebutkan bahwa Yesus Kristus adalah jalan satu-satunya kepada Allah dan jalan satu-satuya kepada keselamatan (Yohane 14:6 dan Kisah 4:12) maka umat Kristen harus menjelaskan hal ini  apabila ada pertanyaan didalam dialog-dialog tersebut. Akan tetapi dialog-dialog tersebut haruslah dilakukan dengan keseimbangan dan dalam semangat  kasih dan persaudaraan. Inilah landasan dialog antar agama, sehingga dialog dapat berlangsung dengan lancar, tidak saling menekan, memaksakan kehendak. Dialog yang baik akan dapat dicapai bila pijakan dasar ini sudah terbentuk dalam diri para pemimpin umat beragama. Melalui dialog ini para pemeluk agama dapat saling mengenal satu dengan yang lain, saling bertukar informasi tentang agama masing-masing, saling memahami dan terjalinnya rasa persaudaraan dan toleransi yang erat sebagai sesama anak bangsa. Toleransi dalam satu masyarakat majemuk, memungkinkan setiap orang dapat dengan bebas dan mudah membaca kitab suci agama-gama, mempelajari  dan mendiskusikanya baik sendiri maupun dengan bimbingan guru.  Sebagai konsekuensinya apabila didalam diaolog-dialog terebut pada akhirnya mengakibatkan lebih diterimanya salah satu agama yang lain dari yang selama ini dianutnya, maka  semua fihak harus menerima realita terjadinya koversi dari agama yang lama kepada agama yang baru yang lebih diyakininya.

7. Kesalehan  dan kedamaian  dalam  masyarakat pluralistik

Meningkatnya kegiatan ritualitas agama semestinya diikuti pula dengan semakin menurunnya tingkat kejahatan masyarakat. Namun, sangat memprihatinkan kejahatan tigkat tinggi seperti korupsi dengan nilai nominal yang fantastis dan sangat merugikan Negara,  ternyata masih terjadi dan dilakukan oleh para pemimpin masyarakat yang juga adalah tokoh agama.  Meningkatnya pelaksanaan ritualitas keagamaan semestinya meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat karena mereka  akan memiliki etos kerja dan etika bermasyarakat yang lebih baik. Diisinilah para pemuka agama ditantang untuk menampilkan peranan agama dalam memperbaiki kualitas manusia Indonesia. Bukan hanya memamerkan simbol-simbol yang tidak dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata yang meningkatkan kesejahteraan kehidupan bersama dalam masyarakat. Pengamalan ajaran-ajaran agama seharusnya semakin dapat memberikan kesejukan dan kebahagiaan bersama  dalam satu masyarakat pluralistik tanpa harus diikuti dengan pluralism agama.  Sebagai contoh, sejak dulu di Indonesia, banyak rumah sakit-rumah sakit dan sekolah-sekolah Kristen dan Katholik yang memiliki kualitas yang baik yang dapat dirasakan manfaatnya oleh semua orang tanpa membeda-bedakan agama. Hal seperti ini harus dipertahankan bahkan ditingkatkan.

8. Hak memeluk agama dalam masyarakat pluralistik

Sudah menjadi rahasia umum konsekuensi konversi atau  perpindahan agama dalam agama-agama mengakibatkan keretakan hubungan individu dan hubungan kekeluargaan bahkan ancaman berat. Tentunya hal ini sudah bertentangan yang seharusnya mengingat kebebasan memeluk agama dijamin oleh undang-undang dasar Negara dimana setiap warga negara bebas untuk menetukan pilihannya sendiri. Setiap warga masyarakat pluralistik harus menyadari bahwa toleransi dan keterbukaan memiliki konsekuensi terbukanya pilihan-pilihan dan adanya kebebasan untuk menetapkan pilihan itu sendiri sebagai iman individu. Disinilah, setiap individu boleh mempelajari lebih jauh apakah pilihan agamanya selama ini sudah tepat. Lebih dari itu,  kebangitan agama-agama jangan sampai diartikan hanya sebagai meningkat pesatnya penggunaan simbol-simbol keagamaan tanpa diikuti dengan peningkatan kualitas amal kebaikan  dan kerukunan antar umat beragama. Apalagi kebangkitan agama-agama yang hanya menimbulkan fanatisme sempit dan kebencian antara kelompok yang satu dengan yang lain. Tentu saja konsekuensinya masing-masing agama perlu memberikan pemahaman kepada setiap pemeluknya agar dapat memahami agamanya dengan sebaik-baiknya  agar para penganutnya tidak beralih  kepada agama lain. Apabila pemahaman yang seperti ini dapat ditata dengan baik maka penyiaran agama-agama dan perpindahan keyakinan dapat dimaklumi didalam satu masyarakat pluralistik.

Penutup :

Semakin pluralistiknya masyarakt di zaman teknologi informasi sekarang ini tidak mungkin lagi dapat dihalangi. Sebagaimana agama-agama besar lainnya,  umat Kristen diperintahkan untuk mengabarkan Injil (Kabar Baik) yaitu, pengampunan dosa dan kehidupan yang kekal akan dianugerahkan oleh Allah kepada setiap orang yang mau bertobat, meninggalkan perbuatan-perbuatannya yang jahat dan percaya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat pribadi, yang menebus mereka dari segala dosa.  Perintah ini jelas dimandatkan oleh Yesus kristus : "Yesus mendekati mereka dan berkata: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Matius 28:18-20). Orang Kristen hanya disuruh mengabarkan saja, sedangkan yang memberikan pencerahan dan mengakibatkan percaya adalah Tuhan sendiri dalam hal ini "Roh Kudus"  dan tidak dapat dipaksakan dengan cara apapun oleh kehendak manusia. Selain itu Yesus Kristus memerintahkan agar pemberitaan Kabar Baik (Injil) dimana saja di seluruh dunia harus ditopang oleh kesaksian perbuatan yang baik (kebaikan hati)  sebagaimana tertulis : Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang,  supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan  Bapamu yang di sorga." (Matius 5:16). Demikianlah orang Kristen dapat memainkan peranannya hidup didalam masyarakat pluralistik dengan memberikan kontribusi terbaik dalam masyarakat.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun