Mohon tunggu...
Romi Setiawan
Romi Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Big Man Big Hug

Still big

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Sandwich Generation di Indonesia, Sebuah Renungan

1 Februari 2020   11:19 Diperbarui: 1 Februari 2020   20:03 2585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Niek Verlaan dari Pixabay

Salah satu financial influencer di Indonesia saat ini sedang membuat polling di media sosialnya tentang sebuah kasus. Kasus tersebut bercerita tentang kegalauan seorang anak muda yang dilema berada di sebuah persimpangan antara nikmat-nikmatnya berinvestasi atau membantu orangtua yang sedang kesusahan. 

Si anak muda ini kemudian mencoba bertanya mencari solusi kepada sang influencer apa yang harus ia lakukan.

Namun, ternyata sang influencer pun bingung harus menjawab apa karena menurutnya ini adalah urusan relationship, bukan finansial.

Tidak perlu berpikir terlalu panjang bagi saya, si "boomer", begitu panggilan akrab kaum milenial terhadap orang-orang yang berumur 40an tahun ke atas, untuk menyelesaikan masalah ini. Tanya nomor rekening dan langsung transfer berapa kebutuhan mereka. Atau datang langsung ke rumah mereka untuk menjenguk dan "menyetor langsung" sekaligus membawakan sebungkus martabak atau cemilan lain sebagai oleh-oleh.

Menurut hasil penelitian Pew Research Center yang dipublikasikan pada tahun 2013, hampir setengah dari penduduk Amerika membiayai keluarga dan sekaligus orangtuanya.

Orang-orang ini dinamakan sebagai sandwich generation. Penelitian dilakukan dengan sampel saat itu berumur 20-60 tahun, orang-orang "generasI X" hingga "Baby Boomer". 

Seperti halnya sandwich, orang-orang ini dihimpit dengan kesulitan keuangan dari dua sisi, keluarga dan orangtua.

Sandwich generation adalah orang-orang yang hidup bersama atau menghidupi orangtua yang berumur minimal 65 fahun dan sekaligus anak yang berusia dibawah 18 tahun. 

Sebagian besar dari mereka hidup pas-pasan namun mereka menganggap bahwa menghidupi orangtua mereka juga adalah sebuah tanggung jawab layaknya menghidupi anak mereka.

Dari data tersebut menyatakan bahwa ternyata lebih dari 80 % dari mereka senang dengan kehidupan mereka itu.

Juga, ketika dibandingkan dengan sampel orang-orang yang tidak membiayai orangtuanya, tingkat happiness sandwich generation tidak jauh berbeda dengannya. 

Hal ini menunjukkan bahwa hal ini tidaklah menjadi masalah yang berarti bagi kehidupan sandwich generation. Sandwich generation tetap bisa "happy" walaupun hidup dihimpit oleh dua beban keuangan.

Namun, sandwich generation di Indonesia kemungkinan memiliki dampak yang berbeda. Hofstede (2010) menyatakan bahwa karakteristik budaya Indonesia salah satunya adalah sebagai masyarakat kolektif, dimana kebersamaan adalah hal yang utama. 

Hal ini memungkinkan bagi sebagian masyarakat Indonesia untuk hidup dan menghidupi tidak hanya keluarga nuklir - ayah, ibu, dan anak - tetapi juga keluarga tambahan, seperti orangtua - kandung ataupun mertua - paman, bibi, dan lainnya.

 Semakin luas keluarga tambahan yang dihidupi, maka semakin besar pula beban yang harus dipikulnya. Hal ini dapat berdampak buruk bagi kekuatan finansial seseorang. Apalagi ketika kekuatan finansial orang tersebut berada di bawah standar hidup daerah. 

Pengaruh buruk dapat terjadi bukan hanya pada individu, tetapi juga terhadap keluarga dan lingkungan sekitar. Untuk itu, perlu rasanya sebagian penghasilan yang didapatkan kemudian diinvestasikan demi menjaga masa depan yang tidak pasti seperti sekarang.

Investasi masa depan adalah yang terpenting bagi mereka, kaum yang hidup dalam disruption era saat ini. Ketidak-pastian menghantui kehidupan sehingga dirasa perlu lumbung-lumbung investasi yang banyak dan tersebar di mana-mana. Punya investasi bermiliar-miliar adalah impian mereka. Sekali-kali bolehlah berlibur, asal sebelumnya telah melakukan "deal" ratusan, bahkan milyaran rupiah. 

Baginya, pengeluaran juga perlu diperhatikan sama halnya dengan sumber pemasukan. Investasi perlu modal dan hasilnya harus dapat menutupi modal bahkan memberikan keuntungan yang lebih dari nilai modal. Pengeluaran, bagi mereka, hanya dilakukan untuk sesuatu yang memiliki "nilai". Sesuatu yang tidak menguntungkan akan mereka jauhi dan hindari.

Memberikan "jatah" kepada orangtua terlihat mulia bagi kita namun tidak bagi mereka. Tampaknya, sesuatu yang telah mereka kumpulkan dengan hasil jerih payah mereka sendiri terasa tidak adil ketika itu diberikan kepada sesuatu yang tidak memiliki andil secara langsung atas pendapatan yang dihasilkan.

Karena kontribusi akan diberikan sesuai dengan nilai benefit yang mereka dapatkan secara langsung. Dan juga, membantu orangtua menurut mereka adalah liabilitas, beban yang harus mereka hindari. Membantu orangtua adalah sesuatu yang tidak memberikan benefit secara langsung dan dapat mengurangi modal untuk berinvestasi.

Di atas kertas, hal ini tidak ada salahnya. Jangankan membantu orangtua, memiliki anak pun termasuk liabilitas atau beban menurut Robert Kiyosaki dalam bukunya Rich Dad Poor Dad (1997). 

Mulai dari susu, pampers, pakaian yang layak, tempat tinggal, sekolah, jajan, dan lain-lain sangat membebani serta membutuhkan biaya yang sangat besar.

Belum lagi biaya pengobatan dan asuransi yang tidak bisa kita perkirakan namun harus dipenuhi. Memiliki seorang anak bukan hanya menguras "dompet" tapi juga membuat seseorang akan kehilangan "me time"-nya.

Ketika masih kecil, kita tidak pernah berpikir apa yang dilakukan orangtua dengan mengubur "me time" mereka demi memenuhi kebutuhan dan keinginan kita.

Yang kita tahu, ketika lapar, makanan sudah tersedia di meja makan. Ketika lelah, kasur telah terhampar di kamar tidur. Uang sekolah, buku pelajaran, jajan, sepatu, dan seragam telah disiapkan orangtua sebelum kita berangkat sekolah. 

Bagi yang memiliki kelebihan keuangan, kendaraan seperti motor atau mobil telah disiapkan lengkap dengan uang bensinnya.

Namun, pernahkah kita berpikir bagaimana mereka, para orangtua, menyiapkan dan memberikan itu semua kepada kita? Tak pernahkah kita bayangkan bagaimana sulitnya mereka pada saat itu mencari uang untuk menafkahi kita, anak-anaknya? 

Bagaimana bisa dengan "kepintaran" yang telah kita dapatkan sekarang bisa melupakan kontribusi orangtua kita terhadap pencapaian kita saat ini?

Lalu apakah hanya gegara kalimat "investasi butuh modal" dan/atau "kita hidup di jaman ketidakpastian" kemudian dijadikan alasan untuk tidak membantu membiayai orangtua kita seberapa besar pun itu?

Ciumbuleuit, 1 Februari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun