Mohon tunggu...
Romi Setiawan
Romi Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Big Man Big Hug

Still big

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Sandwich Generation di Indonesia, Sebuah Renungan

1 Februari 2020   11:19 Diperbarui: 1 Februari 2020   20:03 2585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Niek Verlaan dari Pixabay

Hal ini menunjukkan bahwa hal ini tidaklah menjadi masalah yang berarti bagi kehidupan sandwich generation. Sandwich generation tetap bisa "happy" walaupun hidup dihimpit oleh dua beban keuangan.

Namun, sandwich generation di Indonesia kemungkinan memiliki dampak yang berbeda. Hofstede (2010) menyatakan bahwa karakteristik budaya Indonesia salah satunya adalah sebagai masyarakat kolektif, dimana kebersamaan adalah hal yang utama. 

Hal ini memungkinkan bagi sebagian masyarakat Indonesia untuk hidup dan menghidupi tidak hanya keluarga nuklir - ayah, ibu, dan anak - tetapi juga keluarga tambahan, seperti orangtua - kandung ataupun mertua - paman, bibi, dan lainnya.

 Semakin luas keluarga tambahan yang dihidupi, maka semakin besar pula beban yang harus dipikulnya. Hal ini dapat berdampak buruk bagi kekuatan finansial seseorang. Apalagi ketika kekuatan finansial orang tersebut berada di bawah standar hidup daerah. 

Pengaruh buruk dapat terjadi bukan hanya pada individu, tetapi juga terhadap keluarga dan lingkungan sekitar. Untuk itu, perlu rasanya sebagian penghasilan yang didapatkan kemudian diinvestasikan demi menjaga masa depan yang tidak pasti seperti sekarang.

Investasi masa depan adalah yang terpenting bagi mereka, kaum yang hidup dalam disruption era saat ini. Ketidak-pastian menghantui kehidupan sehingga dirasa perlu lumbung-lumbung investasi yang banyak dan tersebar di mana-mana. Punya investasi bermiliar-miliar adalah impian mereka. Sekali-kali bolehlah berlibur, asal sebelumnya telah melakukan "deal" ratusan, bahkan milyaran rupiah. 

Baginya, pengeluaran juga perlu diperhatikan sama halnya dengan sumber pemasukan. Investasi perlu modal dan hasilnya harus dapat menutupi modal bahkan memberikan keuntungan yang lebih dari nilai modal. Pengeluaran, bagi mereka, hanya dilakukan untuk sesuatu yang memiliki "nilai". Sesuatu yang tidak menguntungkan akan mereka jauhi dan hindari.

Memberikan "jatah" kepada orangtua terlihat mulia bagi kita namun tidak bagi mereka. Tampaknya, sesuatu yang telah mereka kumpulkan dengan hasil jerih payah mereka sendiri terasa tidak adil ketika itu diberikan kepada sesuatu yang tidak memiliki andil secara langsung atas pendapatan yang dihasilkan.

Karena kontribusi akan diberikan sesuai dengan nilai benefit yang mereka dapatkan secara langsung. Dan juga, membantu orangtua menurut mereka adalah liabilitas, beban yang harus mereka hindari. Membantu orangtua adalah sesuatu yang tidak memberikan benefit secara langsung dan dapat mengurangi modal untuk berinvestasi.

Di atas kertas, hal ini tidak ada salahnya. Jangankan membantu orangtua, memiliki anak pun termasuk liabilitas atau beban menurut Robert Kiyosaki dalam bukunya Rich Dad Poor Dad (1997). 

Mulai dari susu, pampers, pakaian yang layak, tempat tinggal, sekolah, jajan, dan lain-lain sangat membebani serta membutuhkan biaya yang sangat besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun