Mohon tunggu...
Rohmat Marzuki
Rohmat Marzuki Mohon Tunggu... -

corat-coretku...

Selanjutnya

Tutup

Nature

Kisah Sukses Kolaborasi Konservasi, Membangun Optimisme Kelestarian Hutan

15 Februari 2011   11:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:34 1687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel


Indonesia dikenal sebagai negara megabiodiversitas yang memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire (Kongo). Ironisnya, kerusakan hutan mencapai 77,8 juta ha (58,2%) dari total kawasan hutan seluas 133,7 juta ha (Departemen Kehutanan, 2006). Hutan pernah menyumbang devisa negara terbesar kedua setelah non migas pada era Orde Baru. Namun, eksploitasi hutan tropis yang tidak terkendali dalam kurun waktu 1968-1998 dengan maraknya ijin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan penanaman modal asing telah menyisakan degradasi hutan dan lahan (FWI, 2002). Ditambah lagi praktek illegal logging, perambahan, konversi hutan untuk kebun sawit, penambangan tidak ramah lingkungan dan kebakaran yang semakin memperparah kerusakan ekosistem hutan. Tak heran jika terjadi penurunan plasma nutfah, fragmentasi habitat satwa liar hingga bencana alam, berupa banjir, tanah longsor dan kekeringan.


Saat ini, hutan tropis Indonesia tersisa di daerah pegunungan dan pedalaman yang relatif terpencil. Jamrud khatulistiwa bukan lagi berwujud hamparan karpet hijau tetapi mirip sebaran kain perca. Sebagian besar kawasan hutan tropis tersebut berstatus sebagai taman nasional (national park). Sungguh tepat jika dikatakan bahwa pada era ini taman nasional seluas 16,9 juta ha (Departemen Kehutanan, 2007) merupakan “benteng terakhir hutan tropis Indonesia”. Sayangnya, kawasan konservasi juga tidak luput dari tekanan degradasi dan deforestasi. Padahal, taman nasional di Indonesia bukan hanya berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan di lingkup lokal maupun nasional, namun juga berkontribusi pada perlindungan manusia di muka bumi. Dunia kini dihadapkan pada pangkal persoalan perubahan iklim (climate change) yang berujung pada pemanasan global (global warming) sebagai dampak kehilangan hutan di seluruh dunia. Ancaman kedepan sangat nyata sehingga tidak ada kata lain, selain “selamatkan hutan kita yang tersisa”.

Tipologi Motif Ekonomi

Muara dari persoalan kerusakan hutan adalah rendahnya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan hidup. Penyebab utama adalah pergeseran basis ekonomi kebutuhan (needs economic) menuju ekonomi pendapatan (incomes economic) hingga ekonomi keserakahan (greeds economic). Sebagian besar masyarakat sekitar hutan masih berada pada jurang kemiskinan. Tercatat oleh Departemen Sosial (2007), tingkat kemiskinan di sekitar hutan mencapai 12 juta jiwa. Oleh karena itu, upaya membangun kepedulian lingkungan harus sinergi dengan pengembangan ekonomi lokal untuk mengentaskan kemiskinan.

Dalam pengelolaan kawasan taman nasional, tipologi motif ekonomi tampak nyata. Komunitas adat tradisional menganggap hutan sebagai tempat hidup. Mereka sangat bergantung pada sumberdaya hutan (SDH) untuk mencukupi kebutuhan pokok secara subsisten, misalnya: kayu bangunan, hasil hutan non kayu (HHNK), tempat berburu, ladang berpindah, kayu bakar dan air. Tipe masyarakat sekitar hutan yang sudah mengenal modernisasi, ketergantungan terhadap sumberdaya alam (SDA) condong pada peningkatan pendapatan ekonomi, misalnya: kebutuhan lahan pertanian dan HHNK yang produk olahannya dijual. Namun, mereka masih memerlukan kayu bakar, hijauan pakan ternak dan air. Sedangkan masyarakat sekitar yang sumber ekonominya berkaitan dengan tata niaga kayu berpotensi mengambil bahan baku dari hutan. Ditambah lagi ancaman oknum pengusaha kayu, kebun sawit dan tambang yang serakah dalam mengekploitasi SDA.

Inisiatif Kolaborasi : Sinergi Ekonomi dan Konservasi

Kepedulian lingkungan harus dibangun pada kerangka pemanfaatan SDA yang berkelanjutan untuk kebutuhan lintas generasi. Hutan memang merupakan SDA yang terbaharui (renewable), namun dapat berubah menjadi tak terbaharui (unrenewable) jika laju rehabilitasi tidak sebanding dengan laju kerusakan hutan yang telah mencapai 2,83 juta ha per-tahun dalam kurun waktu 1997-2000 (Departemen Kehutanan, 2006). Pergeseran tipologi motif ekonomi pada dasarnya merupakan sebuah keniscayaan, namun keserakahan ekonomi harus diberantas karena tidak sesuai dengan amanah UUD 1945 yaitu tujuan pengelolaan SDA untuk sepenuhnya kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Jika laju kerusakan hutan tidak dapat dikendalikan, maka prediksi World Bank (2001) akan menjadi kenyataan yaitu bahwa hutan tropis Sumatera akan lenyap pada tahun 2010, sementara hutan tropis Kalimantan menyusul pada tahun 2015.

Pertentangan antara kepentingan ekonomi dengan konservasi hutan merupakan sumber konflik pengelolaan SDH, khususnya di taman nasional. Alternatif-alternatif usaha penyelerasan antara dua kepentingan tersebut perlu digagas, khususnya bertujuan untuk menyelamatkan hutan tropis yang tersisa. Kepedulian lingkungan harus disadarkan pada setiap individu masyarakat, namun tantangan terbesar adalah bagaimana memobilisasi kesadaran individu (individual awareness) menjadi aksi kolektif (collective action). Kolaborasi parapihak dapat menjadi gerbang awal sinergi ekonomi dan konservasi dalam pengelolaan taman nasional.

Kerusakan hutan tropis Indonesia sudah banyak diungkap diberbagai media, seminar ilmiah, maupun forum pertemuan parapihak, baik di tingkat lokal, regional, nasional, bahkan internasional. Banyak yang memandang pesimis bahwa hutan Indonesia akan lestari dan kemiskinan sekitar hutan dapat dientaskan. Namun sayangnya, kisah sukses (success story) tentang inisiatif konservasi lokal yang melibatkan kolaborasi parapihak belum banyak dimunculkan sebagai bahan pembelajaran (lesson learn). Generasi muda Indonesia harus didorong untuk selalu memiliki optimisme dalam upaya melestarikan kekayaan SDH sebagai sumber kehidupan dan kebanggaan nasional yang harus selalu dijaga dan dimanfaatkan untuk diwariskan kepada anak-cucu secara berkelanjutan. Beberapa studi kasus dibawah ini dapat menjadi lentera penerang bahwa kelestarian hutan itu masih ada. Bermitra Kita Bisa.

Fasilitasi ”Hunian” Orang Rimba dalam ”Rumah” Taman Nasional

Upaya kolaborasi yang didorong di Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD), Jambi menyangkut isu pengakuan eksistensi Orang Rimba. Mereka turun-temurun hidup dan bergantung pada SDH sebelum penunjukan TNBD pada tahun 2000. Ironisnya, rumah tinggal Orang Rimba semakin terdesak karena tekanan degradasi hutan melalui ekspansi perkebunan, illegal logging dan perambahan oleh masyarakat luar kawasan. Selain itu, kebijakan TNBD menyebabkan benturan antara kepentingan perlindungan kawasan dengan kultur Orang Rimba. Pengelolaan TNBD membatasi secara ketat pemanfaatan SDH oleh Orang Rimba yang hidup secara nomaden dan memanfaatkan HHNK. Benturan pun terjadi antara hukum formal dan hukum adat Orang Rimba.

Kolaborasi konservasi di TNBD dikembangkan untuk melestarikan kehidupan Orang Rimba dengan menyiapkan alternatif kehidupan yang sesuai dengan perkembangan dan pilihan masa depan mereka. Sejak tahun 2002, LSM WARSI, Balai TNBD dan BKSDA Jambi memfasilitasi pembentukan lembaga kemandirian Orang Rimba sebagai upaya penyiapan modal sosial agar berdaya dan mandiri dalam memperjuangkan hak kehidupannya serta mampu bermitra dengan parapihak dalam pengelolaan TNBD. Kegiatan peningkatan kapasitas Orang Rimba dilakukan dalam bentuk pendidikan baca-tulis-hitung, bantuan kesehatan, fasilitasi pengelolaan “hompongon” serta pengembangan kelembagaan.

Pengelolaan “hompongan” merupakan alternatif pemanfaatan lahan berupa pembuatan agroforesti berbasis tanaman karet di kawasan pinggiran TNBD sehingga membatasi interaksi luar dengan wilayah hidup Orang Rimba. “Hompongan” juga merupakan bentuk penataan ruang karena berfungsi sebagai sabuk daerah penyangga yang membentengi kawasan TNBD dari tekanan perambahan. Kemudian melalui Rencana Pengelolaan TNBD telah dibuat zonasi berdasarkan pola pemanfaatan ruang Orang Rimba, di samping juga penataan batas dengan mengeluarkan ladang masyarakat dari luar kawasan. Kegiatan di desa-desa interaksi difokuskan pada pembangunan mikro dan redistribusi lahan terlantar eks-perusahaan sekitar TNBD.

Capaian dari kolaborasi ini adalah hak wilayah hidup Orang Rimba seluas 60.500 ha telah diakui melalui proses panjang, termasuk pencabutan ijin perusahaan pemegang konsesi hutan sekitar TNBD pada tahun 2006. Selanjutnya “hompongan” sangat efektif untuk menahan tekanan perambahan, di samping menjadi sumber ekonomi Orang Rimba. Lembaga kemandirian berjalan dalam mengelola “hompongan” dan akses pasar hasil hutan yang dikembangkan kader Orang Rimba yang dididik juga oleh penghulu adat. Program pemberdayaan masyarakat mulai mendapatkan dukungan riil dari Pemerintah Daerah, berupa pemberian fasilitas kartu sehat Orang Rimba, bantuan bibit dan alat-alat pertanian.

Tanaman Obat Tradisional : Pintu Rehabilitasi Taman Nasional

Upaya kolaborasi ini berawal dari isu kebutuhan akses lahan dan rendahnya tingkat pendapatan masyarakat di sekitar Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Jawa Timur. Pada tahun 1996, Pemerintah Daerah Kabupaten Jember merintis kerjasama dengan Balai TNMB, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan LSM LATIN untuk mengembangkan model pengelolaan SDA yang berkelanjutan yang bertumpu pada masyarakat lokal dengan memanfaatkan sebidang lahan zona rehabilitasi TN Meru Betiri. Namun, pada tahun 1998-1999 telah terjadi penjarahan besar-besaran di TNMB sebagai imbas dari proses reformasi politik nasional. Tidak kurang dari 2.500 ha kawasan hutan tanaman (jati) dan hutan alam primer di TNMB mengalami penggundulan. Kondisi tersebut disebabkan karena dulunya masyarakat belum banyak dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan hutan, di samping minimnya akses dan kontribusi ekonomi dari kawasan TNMB.

Inisiatif kolaborasi konservasi lokal yang dibangun di TNMB bertujuan untuk memberdayakan masyarakat lokal sebagai aktor utama pengelolaan taman nasional dan mitra strategis Balai TNMB dalam mewujudkan kelestarian kawasan dan kesejahteraan sosial. Aktivitas yang dilakukan diantaranya: perencanaan rehabilitasi secara partisipatif, sosialisasi pembentukan kelompok, peningkatan kapasitas dan pembagian peran kolaborasi dalam pengelolaan zona rehabilitasi. Berbagai aktivitas tersebut difasilitasi oleh pendamping lapangan dari KAIL (LSM lokal) dengan asistensi dari LATIN.

Rehabilitasi hutan diimplementasikan dengan sistem agroforestri untuk pengembangan tanaman obat-obatan asli TNMB dan tanaman pangan. Dulunya pada tahun 1996 diawali dengan pembuatan demplot seluas 7 ha yang dikelola bersama masyarakat dengan aturan 1 KK menggarap 0,25-0,5 ha. Kemudian masyarakat lokal diberdayakan dengan pembentukan kelompok tani hutan (KTH) yang mengorganisir keterlibatan KK di tiap desa. Proses penguatan kelembagaan petani dan peningkatan kapasitas dijalankan agar masyarakat memiliki kemampuan manajerial dan teknis. Pengembangan industri tanaman obat skala rumah tangga menjadi entry point peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat dengan dukungan akses pasar. Tuntutan rehabilitasi lahan yang semakin besar mendorong sosialisasi dan replikasi di desa-desa lain. Perluasan skala pengelolaan zona rehabilitasi, baik luas lahan dan jumlah keterlibatan KTH ditindaklanjuti dengan berbagai aktivitas dengan tujuan spesifik yaitu penguatan kelembagaan lokal, pembentukan jaringan KTH antar desa, pembentukan lembaga konservasi tiap desa dan pemetaan partisipatif.

Pengembangan model pengelolaan zona rehabilitasi di TNMB hingga tahun 2006 ini memberikan implikasi positif, baik dari segi perluasan dampak fisik, ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan. Secara fisik, skala pengelolaan zona rehabilitasi dengan agroforesti tanaman obat sudah diperluas dari demplot 7 ha menjadi 2.250 ha. Secara ekologi, zona rehabilitasi sudah dapat dihijaukan dengan sekitar 250.000 pohon. Secara ekonomi, tumpang sari dapat memenuhi 52% kebutuhan pokok petani, sementara hasil tanaman pokok mampu menyumbang pendapatan sekitar Rp. 1 juta per-tahun. Sementara itu, home industry Tanaman Obat Keluarga (TOGA) mulai berkembang di tiap-tiap desa. Secara sosial, tercipta simbiosis mutualisme dengan Balai TNMB karena masyarakat sekitar ikut berperan dalam pengamanan kawasan. Secara kelembagaan, jumlah KTH berkembang mencapai 108 buah sehingga mendorong pembelajaran petani antar desa dan pengembangan kader konservasi potensial. Bahkan terdapat 32 buah usaha bersama yang dikembangkan oleh jaringan KTH tersebut.

Ekowisata Berbasis Masyarakat di Taman Nasional: ”Dari Lawan Menjadi Kawan”

Inisiatif kolaborasi konservasi ini berawal dari isu maraknya penebangan dan perambahan liar di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), khususnya di kawasan Tangkahan, Kab. Langkat. Masyarakat sekitar dulunya berprofesi sebagai penebang liar. Tuntutan ekonomi menyebabkan masyarakat melakukan illegal logging, di samping adanya pengaruh pihak luar. Kondisi ini merupakan ancaman, padahal masyarakat seharusnya menjadi modal sosial bagi pelestarian kawasan TNGL. Salah satu upaya yang dilakukan sejak tahun 2001 yaitu pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat di kawasan Tangkahan dengan dukungan kolaborasi parapihak yaitu di Desa Namo Sialang dan Sei Serdang. Tujuannya adalah mencari alternatif pendapatan ekonomi agar perilaku masyarakat yang destruktif dapat diubah.

Aktivitas dimulai dari perencanaan partisipatif dengan masyarakat lokal di 2 desa dalam pengelolaan ekowisata di zona pemanfaatan TNGL, kawasan Tangkahan. Kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan dan penguatan insitusi lokal berupa Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) melalui MoU antara masyarakat, Balai TNGL dan Perusahaan Indecon. Kesadaran konservasi pun muncul dari masyarakat dengan keluarnya Peraturan Desa Kawasan Ekowisata Tangkahan untuk pelestarian dan pemanfaatan SDA hayati dan ekosistem TNGL. Selanjutnya, LPT melakukan penyusunan master plan, perencanaan bisnis dan peningkatan kapasitas, diantaranya perencanaan pengembangan ekowisata, pembuatan jalur tracking dan kepemanduan wisata (community tour operator/CTO). Dari sisi aturan pengelolaan wisata, sudah terdapat kesepakatan kode etik pengunjung dan standard operation procedure (SOP). Akhirnya masyarakat lokal berperan dalam pengamanan kawasan Tangkahan dengan membentuk unit ranger.

Upaya pengembangan ekowisata berbasis masyarakat ini telah merubah pola pikir masyarakat dari “perusak” ke “pelestari” sehingga kawasan Langkat menjadi aman secara ekologis. Hal ini dibuktikan dari 63 eks perambah hutan berubah menjadi pegiat konservasi. Perlindungan ekosistem Langkat ini mendorong perbaikan habitat dan populasi primata. Peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat juga meningkat seiring berkembangnya kegiatan pariwisata alam. Puncaknya, model pengelolaan di kawasan Tangkahan dengan pola partisipatif ini mendapatkan pengakuan secara nasional melalui penghargaan ”Inovasi Pariwisata Indonesia” oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2005.

Kolaborasi Swasta dalam Konservasi Taman Nasional

Upaya kolaborasi ini berawal dari isu kepedulian perusahaan di sekeliling Taman Nasional Kutai (TNK) untuk mendukung kelestarian pengelolaan kawasan. Seperti tertuang dalam perjanjian kerjasama antara Departemen Kehutanan (Dephut) dengan Pertamina, PT. Badak NGL, PT. Porodisa, PT. Kiani Lestari, PT. Surya Hutani Jaya dan PT. Kaltim Prima Coal (KPC) pada tahun 1994, maka lahirlah perjanjian kerjasama antara Departemen Kehutanan dengan perusahaan sebagai ”Mitra Kutai” (Friends of Kutai). Kesepakatan tersebut akhirnya diperkuat dengan SK Dirjen Perlindungan Hutan Gagasan kolaborasi swasta ini didasari pada lokasi TN Kutai yang dikelilingi perusahaan industri besar sehingga dapat mengundang masyarakat pendatang yang berpotensi memberikan tekanan sosial terhadap hutan.

Pada tahun 1995 anggotanya bertambah menjadi 8 buah (ditambah PT. Pupuk Kaltim dan PT. Indominco Mandiri). Kemudian pada tahun 2000, Mitra Kutai juga sudah mulai membuka ruang bagi pihak lain yaitu LSM Yayasan BIKAL dan Natural Resource Management/NRM-USAID untuk berpartisipasi dalam kegiatan Mitra Kutai. Perluasan keanggotaan Mitra Kutai pada akhirnya terwadahi dalam Peraturan Menhut No. 19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).

Kegiatan yang dilakukan Mitra Kutai diantaranya penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas dan kemitraan pengelolaan TNK. Pertama, penguatan kelembagaan dilakukan melalui pertemuan reguler dan tahunan untuk membahas program kerja, membentuk sekretariat pelaksana dan rekruitmen staf, usaha pembentukan Yayasan Mitra Kutai dan kegiatan kampanye program, misalnya: program TV dan radio, pendidikan lingkungan hidup, lomba lintas alam “Kutai Wana Rally”, lomba cerdas cermat lingkungan hidup, hingga pembuatan bahan kampanye lingkungan (sticker, kaos, kalender, poster, papan informasi, dll.). Kedua, peningkatan kapasitas dilakukan dengan perbaikan sarana prasana (pengadaan citra landsat, sarana wisata, dll), pelatihan bagi SDM Balai TNK dan fasilitasi pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ketiga, kemitraan program pengembangan TNK yang melibatkan peran LSM, yaitu: resolusi konflik parapihak dan penguatan ekonomi masyarakat sekitar. Keempat, Mitra Kutai terlibat dalam kolaborasi penyusunan Rencana Pengelolaan TNK 2008-2012 bersama 3 pemda (Kab. Kutai Timur, Kutai Kartanegara dan Kota Bontang).

Kolaborasi konservasi ini akhirnya mendorong terbentuknya networking TNK, baik secara institusi maupun personal. Mitra Kutai juga mampu memotori penggalangan dana corporate social responsibility (CSR) yang membantu kegiatan konservasi TNK. Kemudian berperan meningkatkan kapasitas SDM Balai TNK dalam berbagai bidang, disamping bantuan pembangunan fasilitas pengelolaan TNK. Program pengelolaan TNK juga terpublikasikan melalui kegiatan promosi dan media melalui kolaborasi Mitra Kutai. Lebih lanjut, kolaborasi Mitra Kutai dengan LSM mampu meminimalkan konflik pengelolaan TNK dan menguatkan perekonomian masyarakat lokal.*rm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun