Pengelolaan “hompongan” merupakan alternatif pemanfaatan lahan berupa pembuatan agroforesti berbasis tanaman karet di kawasan pinggiran TNBD sehingga membatasi interaksi luar dengan wilayah hidup Orang Rimba. “Hompongan” juga merupakan bentuk penataan ruang karena berfungsi sebagai sabuk daerah penyangga yang membentengi kawasan TNBD dari tekanan perambahan. Kemudian melalui Rencana Pengelolaan TNBD telah dibuat zonasi berdasarkan pola pemanfaatan ruang Orang Rimba, di samping juga penataan batas dengan mengeluarkan ladang masyarakat dari luar kawasan. Kegiatan di desa-desa interaksi difokuskan pada pembangunan mikro dan redistribusi lahan terlantar eks-perusahaan sekitar TNBD.
Capaian dari kolaborasi ini adalah hak wilayah hidup Orang Rimba seluas 60.500 ha telah diakui melalui proses panjang, termasuk pencabutan ijin perusahaan pemegang konsesi hutan sekitar TNBD pada tahun 2006. Selanjutnya “hompongan” sangat efektif untuk menahan tekanan perambahan, di samping menjadi sumber ekonomi Orang Rimba. Lembaga kemandirian berjalan dalam mengelola “hompongan” dan akses pasar hasil hutan yang dikembangkan kader Orang Rimba yang dididik juga oleh penghulu adat. Program pemberdayaan masyarakat mulai mendapatkan dukungan riil dari Pemerintah Daerah, berupa pemberian fasilitas kartu sehat Orang Rimba, bantuan bibit dan alat-alat pertanian.
Tanaman Obat Tradisional : Pintu Rehabilitasi Taman Nasional
Upaya kolaborasi ini berawal dari isu kebutuhan akses lahan dan rendahnya tingkat pendapatan masyarakat di sekitar Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Jawa Timur. Pada tahun 1996, Pemerintah Daerah Kabupaten Jember merintis kerjasama dengan Balai TNMB, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan LSM LATIN untuk mengembangkan model pengelolaan SDA yang berkelanjutan yang bertumpu pada masyarakat lokal dengan memanfaatkan sebidang lahan zona rehabilitasi TN Meru Betiri. Namun, pada tahun 1998-1999 telah terjadi penjarahan besar-besaran di TNMB sebagai imbas dari proses reformasi politik nasional. Tidak kurang dari 2.500 ha kawasan hutan tanaman (jati) dan hutan alam primer di TNMB mengalami penggundulan. Kondisi tersebut disebabkan karena dulunya masyarakat belum banyak dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan hutan, di samping minimnya akses dan kontribusi ekonomi dari kawasan TNMB.
Inisiatif kolaborasi konservasi lokal yang dibangun di TNMB bertujuan untuk memberdayakan masyarakat lokal sebagai aktor utama pengelolaan taman nasional dan mitra strategis Balai TNMB dalam mewujudkan kelestarian kawasan dan kesejahteraan sosial. Aktivitas yang dilakukan diantaranya: perencanaan rehabilitasi secara partisipatif, sosialisasi pembentukan kelompok, peningkatan kapasitas dan pembagian peran kolaborasi dalam pengelolaan zona rehabilitasi. Berbagai aktivitas tersebut difasilitasi oleh pendamping lapangan dari KAIL (LSM lokal) dengan asistensi dari LATIN.
Rehabilitasi hutan diimplementasikan dengan sistem agroforestri untuk pengembangan tanaman obat-obatan asli TNMB dan tanaman pangan. Dulunya pada tahun 1996 diawali dengan pembuatan demplot seluas 7 ha yang dikelola bersama masyarakat dengan aturan 1 KK menggarap 0,25-0,5 ha. Kemudian masyarakat lokal diberdayakan dengan pembentukan kelompok tani hutan (KTH) yang mengorganisir keterlibatan KK di tiap desa. Proses penguatan kelembagaan petani dan peningkatan kapasitas dijalankan agar masyarakat memiliki kemampuan manajerial dan teknis. Pengembangan industri tanaman obat skala rumah tangga menjadi entry point peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat dengan dukungan akses pasar. Tuntutan rehabilitasi lahan yang semakin besar mendorong sosialisasi dan replikasi di desa-desa lain. Perluasan skala pengelolaan zona rehabilitasi, baik luas lahan dan jumlah keterlibatan KTH ditindaklanjuti dengan berbagai aktivitas dengan tujuan spesifik yaitu penguatan kelembagaan lokal, pembentukan jaringan KTH antar desa, pembentukan lembaga konservasi tiap desa dan pemetaan partisipatif.
Pengembangan model pengelolaan zona rehabilitasi di TNMB hingga tahun 2006 ini memberikan implikasi positif, baik dari segi perluasan dampak fisik, ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan. Secara fisik, skala pengelolaan zona rehabilitasi dengan agroforesti tanaman obat sudah diperluas dari demplot 7 ha menjadi 2.250 ha. Secara ekologi, zona rehabilitasi sudah dapat dihijaukan dengan sekitar 250.000 pohon. Secara ekonomi, tumpang sari dapat memenuhi 52% kebutuhan pokok petani, sementara hasil tanaman pokok mampu menyumbang pendapatan sekitar Rp. 1 juta per-tahun. Sementara itu, home industry Tanaman Obat Keluarga (TOGA) mulai berkembang di tiap-tiap desa. Secara sosial, tercipta simbiosis mutualisme dengan Balai TNMB karena masyarakat sekitar ikut berperan dalam pengamanan kawasan. Secara kelembagaan, jumlah KTH berkembang mencapai 108 buah sehingga mendorong pembelajaran petani antar desa dan pengembangan kader konservasi potensial. Bahkan terdapat 32 buah usaha bersama yang dikembangkan oleh jaringan KTH tersebut.
Ekowisata Berbasis Masyarakat di Taman Nasional: ”Dari Lawan Menjadi Kawan”
Inisiatif kolaborasi konservasi ini berawal dari isu maraknya penebangan dan perambahan liar di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), khususnya di kawasan Tangkahan, Kab. Langkat. Masyarakat sekitar dulunya berprofesi sebagai penebang liar. Tuntutan ekonomi menyebabkan masyarakat melakukan illegal logging, di samping adanya pengaruh pihak luar. Kondisi ini merupakan ancaman, padahal masyarakat seharusnya menjadi modal sosial bagi pelestarian kawasan TNGL. Salah satu upaya yang dilakukan sejak tahun 2001 yaitu pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat di kawasan Tangkahan dengan dukungan kolaborasi parapihak yaitu di Desa Namo Sialang dan Sei Serdang. Tujuannya adalah mencari alternatif pendapatan ekonomi agar perilaku masyarakat yang destruktif dapat diubah.
Aktivitas dimulai dari perencanaan partisipatif dengan masyarakat lokal di 2 desa dalam pengelolaan ekowisata di zona pemanfaatan TNGL, kawasan Tangkahan. Kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan dan penguatan insitusi lokal berupa Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) melalui MoU antara masyarakat, Balai TNGL dan Perusahaan Indecon. Kesadaran konservasi pun muncul dari masyarakat dengan keluarnya Peraturan Desa Kawasan Ekowisata Tangkahan untuk pelestarian dan pemanfaatan SDA hayati dan ekosistem TNGL. Selanjutnya, LPT melakukan penyusunan master plan, perencanaan bisnis dan peningkatan kapasitas, diantaranya perencanaan pengembangan ekowisata, pembuatan jalur tracking dan kepemanduan wisata (community tour operator/CTO). Dari sisi aturan pengelolaan wisata, sudah terdapat kesepakatan kode etik pengunjung dan standard operation procedure (SOP). Akhirnya masyarakat lokal berperan dalam pengamanan kawasan Tangkahan dengan membentuk unit ranger.
Upaya pengembangan ekowisata berbasis masyarakat ini telah merubah pola pikir masyarakat dari “perusak” ke “pelestari” sehingga kawasan Langkat menjadi aman secara ekologis. Hal ini dibuktikan dari 63 eks perambah hutan berubah menjadi pegiat konservasi. Perlindungan ekosistem Langkat ini mendorong perbaikan habitat dan populasi primata. Peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat juga meningkat seiring berkembangnya kegiatan pariwisata alam. Puncaknya, model pengelolaan di kawasan Tangkahan dengan pola partisipatif ini mendapatkan pengakuan secara nasional melalui penghargaan ”Inovasi Pariwisata Indonesia” oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2005.
Kolaborasi Swasta dalam Konservasi Taman Nasional
Upaya kolaborasi ini berawal dari isu kepedulian perusahaan di sekeliling Taman Nasional Kutai (TNK) untuk mendukung kelestarian pengelolaan kawasan. Seperti tertuang dalam perjanjian kerjasama antara Departemen Kehutanan (Dephut) dengan Pertamina, PT. Badak NGL, PT. Porodisa, PT. Kiani Lestari, PT. Surya Hutani Jaya dan PT. Kaltim Prima Coal (KPC) pada tahun 1994, maka lahirlah perjanjian kerjasama antara Departemen Kehutanan dengan perusahaan sebagai ”Mitra Kutai” (Friends of Kutai). Kesepakatan tersebut akhirnya diperkuat dengan SK Dirjen Perlindungan Hutan Gagasan kolaborasi swasta ini didasari pada lokasi TN Kutai yang dikelilingi perusahaan industri besar sehingga dapat mengundang masyarakat pendatang yang berpotensi memberikan tekanan sosial terhadap hutan.
Pada tahun 1995 anggotanya bertambah menjadi 8 buah (ditambah PT. Pupuk Kaltim dan PT. Indominco Mandiri). Kemudian pada tahun 2000, Mitra Kutai juga sudah mulai membuka ruang bagi pihak lain yaitu LSM Yayasan BIKAL dan Natural Resource Management/NRM-USAID untuk berpartisipasi dalam kegiatan Mitra Kutai. Perluasan keanggotaan Mitra Kutai pada akhirnya terwadahi dalam Peraturan Menhut No. 19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).