Mohon tunggu...
Romi Febriyanto Saputro
Romi Febriyanto Saputro Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan Ahli Madya Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen

Bekerja di Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen sebagai Pustakawan Ahli Madya. Juara 1 Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008. Email : romifebri@gmail.com. Blog : www.romifebri.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membangun Sinergitas Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat

26 Juni 2018   13:10 Diperbarui: 26 Juni 2018   13:39 3422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 30 Tahun 2017, pelibatan keluarga pada penyelenggaraan pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan tanggung jawab bersama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan.

Hal ini diharapkan bisa mendorong penguatan pendidikan karakter anak, meningkatkan kepedulian keluarga terhadap pendidikan anak, membangun sinergitas antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Dengan demikian akan terwujud  lingkungan belajar  yang aman, nyaman, dan menyenangkan.

Menurut Ki Hadjar Dewantara sebagaimana dikutip Neni Yohana (2017), lingkungan keluarga adalah suatu tempat yang sebaik-baiknya untuk melakukan pendidikan dan sosial, sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga adalah tempat pendidikan yang lebih sempurna sifat dan wujudnya daripada pusat yang lainnya untuk melangsungkan pendidikan kearah kecerdasan budi pekerti (pembentukan watak individual) dan sebagai bekal hidup bermasyarakat. Pendidikan keluarga merupakan pendidikan yang sempurna bagi pendidikan kecerdasan dan budi pekerti ketimbang pendidikan-pendidikan yang lain (selain keluarga). Pendidikan keluarga merupakan pendidikan yang sangat penting terutama pendidikan agama, yang mutlak harus dilakukan oleh kedua orang tuanya sejak dini sampai dewasa. Lebih-lebih kalau kita ingat, bahwa keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan utama, bahkan juga berfungsi sebagai peletak dasar pembentukan pribadi anak.

Pendidikan dalam keluarga merupakan hal fundamental atau dasar dari pendidikan anak selanjutnya. Artinya, hasil-hasil pendidikan yang diperoleh anak dalam keluarga menentukan pendidikan anak itu selanjutnya baik di sekolah maupun dalam masyarakat. Orang tua berperan sebagai pendidik dengan mengasuh, membimbing, memberi teladan, dan membelajarkan anak. Sedangkan anak sebagai peserta didik melakukan kegiatan belajar mengajar dengan cara fikir, menghayati, dan berbuat di dalam dan terhadap dunia kehidupannya.

Selanjutnya, Ki Hajar Dewantara menjelaskan bahwa tujuan pendidikan dalam keluarga adalah untuk memberikan nasehat-nasehat, materi-materi, anjuran-anjuran yang bisa mengarahkan pada anak akan perbuatan yang baik, disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak mulai dari masa kecilnya sampai dewasa agar terbentuk watak dan kepribadian yang baik, juga mampu menguasai diri sendiri untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin, dunia dan akhirat.

Dalam pelaksanaan pendidikan dalam keluarga, anak didik diharapkan mampu menjadi manusia yang luhur dan berguna bagi masyarakat luas. Kecerdasan otak bukanlah hal yang utama dalam pendidikan akan tetapi bagaimana anak didik memiliki budi pekerti yang mulia merupakan tujuan utama. Sehingga anak didik yang nantinya menjadi orang yang cerdas dan tidak akan menyalahgunakan kecerdasannya untuk merugikan orang lain.

Sinergi antara keluarga, sekolah dan masyarakat adalah sebuah keniscayaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Keluarga adalah pusat pendidikan pertama yang ditemui oleh setiap anak manusia. Sekolah adalah pusat pendidikan kedua bagi anak bangsa sebagai bekal untuk memakmurkan tanah kelahiran. Hidup bermasyarakat adalah pusat pendidikan ketiga untuk mengamalkan ilmu yang diperoleh di bangku sekolah maupun keluarga.

Ironisnya, menurut Sri Mulyani sebagaimana dikutip Kompas, 3 April 2017, keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak di sekolah masih tergolong minim. Padahal, sekolah dan orang tua harus menjadi mitra dalam pendidikan anak. Sebanyak 80 persen orang tua tidak pernah memberikan masukan dalam pengambilan keputusan di sekolah, dan sebanyak 30 persen tidak pernah berdiskusi dengan guru.

Keterlibatan orang tua adalah cara yang murah namun efektif dalam meningkatkan kinerja sistem pendidikan. Pendidikan adalah proses terus-menerus dari rumah, sekolah, ke masyarakat, dan kembali ke rumah lagi. Keseluruhan proses itu adalah proses belajar bagi seorang pelajar yang nantinya akan menjadi manusia Indonesia yang tangguh.

Penelitian yang dilakukan Eka Meilyani dan Adi Cilik Pierewan (2016) di SMA N 1 Karanganom Klaten, menemukan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara partisipasi orang tua dan prestasi belajar anak. Artinya, semakin tinggi  partisipasi orang tua maka semakin tinggi pula prestasi belajar yang diraih anak baik aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif.

Prestasi belajar anak aspek kognitif 16,7% ditentukan oleh partisipasi orang tua, sementara 83,3% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Prestasi belajar anak aspek psikomotorik 21,9% ditentukan oleh partisipasi orang tua, sementara 78,1% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Prestasi belajar anak aspek afektif 12,5% ditentukan oleh partisipasi orang tua, sementara 87,5% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Hasil dari analisis data ini menunjukkan betapa kuatnya nilai partisipasi orang tua untuk bisa mendorong pencapaian prestasi belajar baik dalam aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif siswa SMA Negeri 1 Karanganom.

Dewi Astuti (2013) mengungkapkan bahwa pola sikap orang tua memberikan pengaruh pada perilaku anak karena hampir sebagian besar waktu anak bergaul dengan orang tua. Peranan orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama di dalam keluarga sangat penting. Perhatian orang tua sangat menentukan pola tingkah laku anaknya karena pada hakekatnya orang tua memegang peranan utama bagi pendidikan anaknya, sedangkan guru di sekolah merupakan pendidikan yang kedua setelah orang tua di rumah.

Berdasarkan penelitian Dewi Astuti di Pontianak, peran orang tua masih kurang dalam membimbing belajar anaknya di rumah. Dalam mengerjakan pekerjaan rumah orang tua jarang mendampingi anaknya. Jika ada pelajaran yang tidak dimengerti anak, orang tua selalu memberikan penjelasan kepada anak supaya anak memanfaatkan waktu belajar anak dengan baik. Ini dikarenakan latar belakang pendidikan orang tua yang rendah. Lingkungan tempat tinggal sangat berpengaruh terhadap anak terutama dalam belajar. Teman-teman sebaya anak kadang-kadang mengajak anak untuk berkumpul sehingga anak lupa untuk belajar.

Orang tua tidak memiliki waktu yang cukup untuk membimbing dan mengawasi anak dalam belajar. Kebanyakan orang tua siswa sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup karena faktor ekonomi. Selain itu, orang tua juga kurang mengawasi pergaulan anak di luar rumah sehingga kegiatan anak di luar rumah orang tua  tidak tahu. Orang tua siswa yang tidak bersekolah banyak mengalami kesulitan dalam membantu anak belajar di rumah.

Menurut W Yan (2000) sebagaimana dikutip oleh Ishartiwi dan Setyoraharjo (2011) ada empat jenis  interaksi yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk mendukung pendidikan anak di sekolah. Pertama, interaksi orang tua -- anak remaja, mencakup: (1) mendiskusikan pengalaman sekolah anak dan rencana masa yang akan dating; (2) mendiskusikan permasalahan dan minat anak; (3) berpartisipasi dalam aktivitas budaya bersama.

Kedua, interaksi orang tua -- sekolah, meliputi: (1) berpartisipasi dalam aktivitas organisasi sekolah -- orang tua; (2) mengontak sekolah tentang pengalaman sekolah anak dan rencana masa yang akan datang, berkait dengan: performan akademik, program akademik, rencana anak setelah SMA, pilihan college course; (3) mengetahui pengalaman sekolah anak dan rencana masa yang akan datang, dalam hal: kursus mana yang diambil anak, bagaimana anak menerima baik kerja di sekolah, kredit anak menuju keberhasilan/kelulusan, kredit anak membutuhkan untuk dicapai.

Ketiga, interaksi dengan orang tua yang lain (antar orang tua), mencakup: (1) mendiskusikan pengalaman sekolah anak dan rencana masa yang akan datang dengan orang tua ; (2) pengetahuan orang tua tentang teman-teman anaknya, antara lain: teman pertama anaknya, teman kedua anaknya, teman ketiga anaknya, teman keempat anaknya, teman kelima anaknya.

Keempat, norma keluarga, mencakup: (1) peran keluarga, dalam hal: pembatasan orang tua dalam menonton TV atau video game, pembatasan orang tua dalam bermain bersama dengan temannya, pembatasan orang tua dalam hak istimewa terhadap kelulusan yang rendah, anak memerlukan bekerja untuk sekitar rumah; (2) harapan pendidikan, misalnya seberapa jauh: ayah menginginkan anaknya pergi ke sekolah, ibu menginginkan anaknya pergi ke sekolah, anak berpikir dia akan pergi ke sekolah, orang tua mengharapkan anaknya pergi ke sekolah; (3) hubungan orang tua -- anak yang positif, misal: orang tua mempercayai anaknya untuk mengerjakan apa yang mereka harapkan, orang tua percaya anaknya akan menjadi sumber kebanggaan orang tua, anak dan orang tua memiliki hubungan baik dengan setiap orang yang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun