Mohon tunggu...
Romel Masykuri
Romel Masykuri Mohon Tunggu... Jurnalis -

Pecinta buku dan kopi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Hidup Adalah Pendakian Panjang

27 Oktober 2015   19:23 Diperbarui: 27 Oktober 2015   20:32 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Catatan Pendakian Pertama di Gunung Prau, Wonosobo (14 Oktober 2015)

Sejak masih kuliah, saya ingin sekali merasakan pengalaman mendaki gunung. Ikut merasakan tentang nikmatnya pengalaman mendaki, seperti yang diceritakan oleh taman-teman saya yang sudah pernah naik gunung. Tapi sayang, hingga lulus kuliah keinginan itu tak terlaksana juga. Penyebab utama karena saya tidak bisa melawan rasa takut dalam diri saya. Setiap kali keinginan naik gunung terlintas dan hendak mengajak teman, saat itu juga pikiran saya terbayang akan ketakutan. Takut tersesat di jalan, takut tidak kuat tenaganya, dan ketakutan-ketakutan lainnya. Ya, kondisi inilah yang menyebabkan hingga saya lulus pada Agustus 2015, keinginan untuk naik gunung taktercapai jua.

Tapi inilah keinginan, selalu ada kesempatan untuk mewujudkannya. Tak disangka, di sela-sela ngopi, seorang teman dengan spontan mengajak saya untuk naik gunung. “Mel, besok naik gunung yuk,” ucap Lutfi, salah satu teman saya yang sudah biasa naik gunung. “Aku masih takut Lut, tahu sendiri kan aku belum pernah naik gunung,” jawab saya dengan terus terang. “Ah, sudah berapa tahun kamu di Jogja masak masih takut naik gunung. Sudahlah, ayo,” dengan nada serius Lutfi mencoba meyakinkan. Akhirnya, dengan pertimbangan yang cukup lama. Saya terima ajakan lutfi meski masih ketar-ketir. “Ini waktu yang tepat untuk mewujudkan keinginan semasa kuliah dulu,” gumam saya dalam hati.

Petualangan Dimulai

Pada tanggal 13 Oktober 2015, saya bersama teman-teman berangkat ke Dieng, Wonosobo. Tujuannya mendaki Gunung Prau.Menurut data, gunung Prau memiliki ketinggian 2.565 mdpl dengan spot alam bukit teletubies dan taman bunga daisy. Team pendaki terdiri dari 8 orang, yakni saya, Lutfi, Resar, Muis, Aab Salim, Didi, Akrom dan satu lagi perempuan sendiri, Rahma. Kita pergi dengan menggunakan kendaraan sepeda motor. Bererangkat dari Jogja sekitar pukul 18.30 WIB dan sampai ke Dieng Wonosobo sekitar pukul 23.30 WIB. Perjalanan cukup lama, sebab kita seringkali berhenti, baik untuk istirahat maupun makan.

Cuaca di Dieng seperti biasa, dingin sekali. Inilah salah satu khas kota Dieng, kota yang super dingin. Setelah kami merasa cukup beristirahat di basecamp pemberangkatan, kita registrasi dan langsung mendaki. Tak lupa sebelumnya kita melakukan prosesi do’a bersama dan mengatur barisan. Tepat pukul 01.12 WIB, pendakian dimulai.

“Oh seperti ini ya rasanya mendaki,” gumam saya dalam hati ketika pertama kali menginjakkan kaki di Gunung Prau. Angin berhembus kencang hingga terasa menusuk tubuh yang terbalut kaos dan jaket. Kondisi fisik saya masih stabil, malah yang tak disangka-sangka, Resar yang kelihatannya kuat malah mual akibat masuk angin. Rahma pun mulai mengalami mual yang sama. Sekalipun baru lepas landas, kita berhenti sejenak untuk memastikan Resar dan Rahma dalam kondisi stabil.

“Inilah prinsip mendaki, jika ada salah satu tim yang tidak fit, kita harus menunggu hingga benar-benar fit semua. Tidak ada yang boleh mendahului satu sama lain, semua harus berbarengan menuju ke puncak,” Ucap Muis, salah satu tim yang paling senior diantara kita. Dari sini aku mulai mengerti tentang hakikat kebersamaan dalam pendakian.

Setalah dirasa istirahat cukup dan kondisi tim sudah normal semua, pendakian dilanjutkan kembali dan tiba di Pos I pukul 01.41 WIB. Saya merasakan ada kebahagian kecil ketika sampai di Pos I. “Tinggal 3 pos lagi kenikmatan suasana puncak akan saya rasakan,” begitulah pesan yang terbesit dalam pikiran. Perjalanan dilanjutkan kembali dan sampai Pos II pkl 02.15 WIB.

Saya mulai merasakan tantangan ketika tiba di Pos II. Angin yang berhembus begitu kencang disertai debu membuat para pendaki cukup kesulitan, termasuk saya pribadi. Rasa letih dan kerongkongan yang kering membuat saya khawatir takut tidak kuat hingga puncak. Kondisi tubuh saya mulai sakit, terutama di bagian punggung. Tapi pendakian menuju puncak masih panjang, jadi saya harus kuat dalam kondisi apapun. “Masak sudah mau menyerah. Sungguh rugi,” ucap saya dalam hati untuk meyakinkan diri sendiri.

Dalam perjalanan, sesama pendaki saling sapa satu lain. Boleh nyalip, asal tidak menabrak satu lama lain. Prinsip saling menghormati sesama pendaki sangat dijunjung tinggi. Perjalanan dilanjutkan dan sampai di pos III pada pukul 03.05 WIB. Kita beristirahat sejenak untuk memulihkan tenaga dan melanjutkan kembali.

Perjalanan dari pos III menuju puncak inilah yang paling menantang. Kondisi trek perjalanan yang nanjak disertai dengan angin kencang berbalut debu membuat saya harus mengeluarkan seluruh energi untuk sampai puncak. Terus terang, tubuh saya merasakan sakit luar biasa, mulai dari punggung, paha, dan kaki. Hampir saya mau menyerah, tapi selalu saya yakinkan diri sendiri bahwa saya bisa dan kuat sampai puncak. Alhamdulillah, setelah melewati rintangan demi rintangan sampai juga di puncak gunung Prau pada pukul 03.39 WIB.

Saya benar-benar bersyukur dan bahagia karena sudah sampai puncak. Tidak kebayang betapa akan sangat menyesal ketika saya mewujudkan keingianan tubuh saya untuk menyerah dalam perjalan. Kebahagian saya semakin terasa tatkala saya menyaksikan terbitnya matahari dari arah timur, sang “Golden Sanrise” gunung Prau, ditambah pemandangan gunung kembar Sindoro dan Sumbing. Ini adalah pengalaman pertama saya menyaksikan langsung matahari terbit dari puncak gunung. Bersama ratusan para pendaki, saya benar-benar takjub akan keindahan alam yang tampil di sekitar puncak gunung Prau. Benar kata teman, keindahan di puncak gunung itu tak bisa dilukiskan oleh kata-kata. Kita harus berada langsung di puncak gunung dan merasakan keindahan alam. Tak heran bila Walter Bonatti, seorang pendaki lagendaris yang terkenal dengan pencapaiannya di K2 berucap “Alam dan gunung adalah sekolah terbaik bagi manusia,”. Ya, saya benar-benar merasakan sekolah alam ini secara nyata setelah sampai berada di puncak gunung Prau.

Setelah dirasa cukup untuk menikmati panorama alam dan mengabadikannya dalam kamera, saya dan teman-teman bergagas untuk turun. Kita turun sekitar pukul 07.30 WIB. Dalam perjalan turun, kita juga diberikan pelajaran penting untuk tetap berjuang membawa tubuh sendiri yang terasa berat sekali. Dengan diberikan pemandangan dataran tinggi dieng dan telaga warna, perjalanan terasa mengasyikkan. Tepat pukul 09.22 WIB, kita sampai di basecamp.

Ini adalah pendakian pertama yang tentunya sangat bersejarah bagi saya pribadi. Saya belajar banyak hal dari proses pendakian ini, tentang perjuangan hidup yang tidak boleh pasrah atau menyerah pada keadaaan. Hidup adalah pendakian yang panjang. Hamparan keindahan “puncak gunung” adalah manifestasi dari buah perjuangan setelah melewati rintangan, dan halangan. Satu hal yang pasti, ketakutan harus dilawan dengan kebarinian, pun untuk menggapai cita-cita.

Terima kasih kepada teman-teman satu tim pendakian yang sudah menemani dan mengajarkan saya banyak hal selama proses pendakian ini. Terima kasih juga kepada gunung Prau dan sekitarnya yang berkenan menjadi sahabat baik sekaligus guru bagi saya. Dan tentu, rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat ini.

[caption caption="Puncak Gunung Prau"][/caption][caption caption="Hamparan Puncak Gunung Prau"]

[/caption]

[caption caption="Pemandangan Perjalanan Turun."]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun