Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Walaupun Korup, Semoga Husnul Khotimah

13 Desember 2023   17:03 Diperbarui: 13 Desember 2023   17:04 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


"Setelah perang usai, Tentara Pelajar(TP) dibubarkan oleh pemerintah pada 1951 secara demobilisasi", kata om Fahmi, " Ayahmu melanjutkan karier militer dengan masuk TNI. Sampai pensiun dan berwirausaha"
"Bagaimana bisa ketemu om?"
"Rekan bisnis kecil-kecilan. Sampai akhirnya masuk dunia politik menjadi pimpinan daerah"
"Bapakmu termasuk telat menikah", lanjutnya, "Dia berjodoh dengan ibumu diusia 45 tahun. Sayang, ketika usiamu satu tahun, ibumu meninggal. Dan kamu dirawat oleh kakek dan nenekmu. Jadi tidak heran kalau kamu kurang begitu paham sama ayahmu"

Areal makam belum sepi. Malah tambah ramai oleh orang-orang dengan penampilan bersahaja.
"Mereka adalah kaum akar rumput yang dibantu ayahmu", ucap om Fahmi. "Semesta telah menggerakkan mereka untuk memberi penghormatan pada Bambang Sadewo. Tidakkah kau mau memaafkannya, Hen?"
Aku menghela napas. Ada daya tolak pada diriku.
"Ayo mendekat. Lihat itu ibu dan adik-adikmu", ajak om Fahmi, "Datangilah"
"Hanya ibu sambung, om", kataku. Om Fahmi menatapku tak mengerti.
"Bapakmu tidak seburuk prasangkamu"
"Jangan menolerir tindak korupsi, om"
"Aku mengerti itu. Tapi untuk bapakmu lain cerita"


Kepalaku menggeleng. Yang tersisa hanya cerita duka. Orang-orang bersahaja itu belum juga meninggalkan nisan bapak. Om Fahmi melangkah mendekati nisan. Ragaku tetap bersikukuh tak bergerak.
"Semoga Husnul Khotimah, pak", ucapku lirih.


Bau kenanga menyebar kuat mengikuti gelayut angin. Cericit burung bertingkah diantara pucuk-pucuk payung kertas yang menancap digundukan kubur. Tatapanku belum beranjak dari lengkung sedih didepan sana. Aku juga tidak yakin akan mengunjungi makamnya dikemudian hari.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun