Sambil jongkok, Aku pandangi nisannya sebelum menyebar pada 10 nisan berikutnya. Sejarah ibu pertiwi tidak bisa lepas dari adu mulut anak-anak kandungnya. Tumpahan darah memercik, air mata terburai karena hasutan, adu domba, intrik kebangsaan dengan balutan pemaksaan ideologi. Pikiranku menggelayut merangkai patahan-patahan imajinasi ditengah siang yang sunyi....
Dua puluh orang bahu membahu menggali tanah. Perintah dadakan dari seseorang memaksa mereka bergerak secepat kilat. Genggaman di eratkan, ayunan dilesakkan. Tak ada gurauan. Padahal dalam kesehariannya, canda adalah makanan sehari-hari bila gotong royong terjadi. Suara benturan ujung cangkul dengan liat tanah merobek keheningan. Malam bertingkah dengan sedikit kerlip bintang. Jangan berharap langit Desember akan panen cahaya. Muskil jika itu terjadi. Kalender hujan sedang menuruti takdir musim. Entah kenapa keberuntungan berpihak pada para penggali. Malam ini cairan langit membeku hingga gagal turun. Ini sedikit meringankan mereka. Purnama bulan tersungging sempurna mengamati kondisi area. Walaupun penerangan minim, tapi hal itu tidak membuat mereka melambankan diri.
"Bisa dipercepat? ", suara lunak terkesan tegas mengguyur cuping telinga.
"Kurang beberapa depa lagi, pak"
"Tolong segerakan. Yang sudah capek naik, ganti yang lain"
"Min, turunlah". Yang dipanggil Rakimin memenuhi anjuran.
"Awas kaki, jangan sampai tercangkul"
Selepas Isya', pekerjaan gali lubang itu baru dimulai. Pantaslah, hampir tiga jam menggali belum kelar juga. Suara binatang nocturna menyulut aura mistis. Dengus napas terdengar menandakan jantung dipaksa kerja keras. Keringat membasah dinginpun menyesap bersama angin gunung. Membikin kulit kecup merinding.
Jika pagi hari, dari tempat ini gunung Lawu akan jelas terlihat. Njaratan itu juga menjadi tempat bermain anak-anak desa serta para penggembala kambing karena rumput yang terhampar begitu melimpah dan segar. Dua puluh laki-laki asal desa setempat memenuhi tugas tanpa berpikir panjang.