Hilir mudik sampai lapak tutup. Ritual tersebut telah berlangsung lama. Pendar-pendar cahaya mengiringi pasukan kami mengusung serpihan makanan yang lumayan mahal.Â
Ya, harga Terang Bulan di lapak Koh Bun paling murah tujuh puluh lima ribu rupiah. Paling mahal seratus tiga puluh ribu rupiah. Hanya orang-orang menengah keatas yang kerap terlihat membelinya. Seorang pemulung tua-duduk ditrotoar- hanya mampu menelan ludah melihat bentuk Terang Bulan padat membengkak dengan lelehan topping berleleran. Baunya merupakan penghinaan paling menyesakkan. Kudapan itu bukan jangkauannya.Â
"Beruntung sekali kalian makhluk Tuhan", ucapnya lirih sambil menatap barisanku. Pak tua hanya bisa memandang iri, jakunnya bergerak-gerak tanda keinginan.Â
"Rejeki sudah diatur Tuhan, pak tua", kataku, bergegas menyesuaikan langkah kawan-kawan.
"Rejeki diatur Tuhan, rejeki diatur Tuhan", gerutu pak tua, "Dasar tengik! Makhluk sialan. Sok bijak"
Kebaikan Darwis memberi kontribusi telur-telur kami menjadi generasi unggul; kuat, cekatan, trengginas. Protein dan vitamin memasok gizi secara teratur buat asupan sang Ratu. Bertahun-tahun kebaikan Darwis menjadi buah bibir di kalangan koloni kami terkhusus serdadu pekerja.
Sebagai bagian dari ordo Hymenoptera, kami merupakan bagian dari peta hidup semesta. Sarang kami berada dibawah tanah, berkedalaman beberapa meter. Deretan toko-toko sepanjang jalan Oerip Soemohardjo merupakan benteng perlindungan. Lewat rekahan kecil antara dua tembok, disitulah akses keluar masuk para pekerja mengusung hasil tangkap buru.Â
***
Waktu bak komidi putar, berkelindan mengikat makhluk Tuhan sebagai hukuman selama kiamat belum datang. Jangan heran kalau ada yang merasa diperbudak olehnya. Menghitung waktu sambil bergumam,"Kapan usainya?". Bagi kami, waktu juga memberikan pembelajaran akan berbagai peristiwa. Leluhur kami menjalin cerita kuno untuk dibagi rantaikan sebagai petuah bijak dari generasi ke generasi.
Aktifitas kami menunggu percikan remahan tidak selamanya berbuah manis. ada saja halangannya,Â
"Dar, semut sebanyak ini kok nggak kamu singkirkan?", tanya Koh Bun sembari memukul mundur pasukan kami-yang menggumpal di pojok dekat meja pembungkusan-dengan kain busuknya hingga kami pontang-panting. Yang menempel dikibaskan terangkat keudara sebelum jatuh kelekaran.Â