Di Cilenguk(celinguk), hanya satu pengunjung yang kami dapati. Namun beberapa menit kemudian datang dua motor lagi yang parkir berdampingan. Kebisingan akan datang tanpa diprediksi. Lalu lalang warga padukuhan menaiki bebek besi janganlah membuat kita terusik. Sebagai pendatang, sopan santun harus diterapkan.
Sosok Merapi sangat jelas dari titik pijak kami. Itu kalau kabut sedang mager(malas gerak). Kalau pas blayangan ya putih semua. Seperti saat kami datang. Merapi hanya terlihat kakinya. Puncaknya terkukung kabut. Dan kabut itu pelan-pelan mendekat penuh arogansi.
"Dhe, kabute midhuk"
"Wesben, paling mengko munggah meneh"
"Hawane adem, Dhe"
Kondisi pegunungan ya begini. Kabut muncul karena kelembaban serta suhu  udara hangat bergumul dengan udara yang lebih dingin.
Semakin sore rasa dingin menyepak kulit.
"Mulihe kapan, Dhe?"
"Bariki nek wes adhan Azar"
Saya membuat kesepakatan, nanti kalau panggilan sholat datang, kami
turun sekalian mencari masjid di sekitaran Simpang PB IX. Akmal asik menikmati kudapannya, padahal tadi bilang sudah kenyang. Logistik kami sangat berguna manakala dingin merebak. Kondisi dingin membuat perut keroncongan. Jadilah kami berpesta di atas bukit Cilenguk. Kami nikmati hari itu dengan rasa syukur[]
NB:
Tak ada tiket masuk di tempat yang kami kunjungi. Hanya senyum keramahan serta adab yang perlu disiapkan sebagai tiketnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H