"Susilo Bambang Yudhoyono. Beliau berasal dari wilayah sini"
"Elok men?"
"Begitulah, Panglima. Setelah era reformasi, estafet kepemimpinan silih berganti. Siapapun berpeluang bisa memimpin republik ini"
Tas yang melingkar dibadan aku buka. Dua botol air mineral aku ambil. "Minum dulu, panglima". Aku putar dengan cekatan. Segera kuteguk. Kesegaran menghujam tenggorokan. Pria disebelahku mengamati kelakuanku. "Kenapa, panglima?". Dia hanya mengamati botol air. "Jamanmu makin membingungkan juga menakjubkan". Dia letakkan kembali botolnya. Wajahnya belum beranjak dari kesedihan. "Aku tidak haus".
"Permen?". Segenggam permen aku tawarkan, aku rogoh dari dalam kantong kecil. Aku sebar dihamparan batu hitam. Aku sobek satu lalu memasukkannya kemulut. Aroma kopi menguar tajam menganggu penciuman. Pria kurus menatapku, "Apakah perjuangan pendahulumu hanya dibalas dengan jualan air dan permen?"
"Bukan begitu. Jangan salah paham, panglima"
"Ceritamu tentang jaman Suharto memberi gambaran kalau kedamaian, pemerataan dan keadilan masih jauh dari harapan". Wajahnya muram. "Boleh minta permennya?". Bunyi sobekan menggelincir. Benda kotak aku sodorkan, meloncat ke mulut panglima. Mengulumnya, "Enak". Perubahan paras terlihat, tenang.
Tanpa kami sadari, keberadaanku  dengan Panglima Besar mengundang orang-orang sekitar tempat tersebut. Mereka memandang kami dari kejauhan. Mbok Sainem kasihan melihat polahku, "Mase ngomong dewe. Opo kesambet penunggu kene?"
"Sopo sing kondo dewek an?"(siapa yang bilang sendirian). Laki-laki tua muncul. Jalannya pelan, mendekati mereka. "Mase lagi omong-omong karo pak Dirman"
"Lho, mbah Redi".
"Dia beruntung bisa bertemu pejuang besar". Mbah Redi, pria berumur 83 tahun. "Aku ijek kelingan. Mbiyen simbokku masakke dinggo tentara sing neng omah kae"(aku masih ingat. Dulu simbokku memasak buat tentara yang di rumah itu). Tangannya menunjuk ke lokasi rumah gerilya. "Wektu kuwi umurku 12 taun, kerep kon ngewangi karo wong ndeso"(waktu itu umurku 12 tahun, sering disuruh membantu sama orang desa).