"Kondisi ragawi secara keseluruhan. Juga pakaian yang dikenakan". Seruput kecil dari bibirnya memberi rangsang pada orang-orang untuk mengikuti lakunya. Gelas belimbing terangkat bersamaan mendekat bibir, sambil mata tak lepas dari mbah Wulu.
"Orang jaman dulu pakaiannya sangat sederhana, seni berbusana belum detail. Terutama rakyat jelata. Juga jarang mandi, terkesan jorok," ungkap mbah Wulu. "
"Kalau kalian melihat patung atau relief di candi-candi sekitar wilayah kita, akan terjumpai cara berbusana mereka. Perempuannya tidak pakai kemben. Jadi payudaranya terpampang"
"Gambar ini kan juga begitu. Tanpa kemben....", bela Sadikun.
"Iya, cuma ini kelihatan bersih. Menurut mbah Wulu tidak begitu", kata Dalbo. "Susune gondal-gandul berdebu"
Kalimat terakhir memaksa gelak tawa membahana. "Ngene iki sing seneng, Tarmin"(begini ini yang suka, Tarmin). Yang disasar hanya cekikikan. "Halah, kowe yo seneng"(halah, kamu juga suka).
"Gambar ini terlalu bagus". Telunjuk mbah Wulu menempel. "Pengalamanku melihat para penghuni asrham, mereka tidak sebersih ini. Benar, hanya beberapa lapis kain. Beberapa diantaranya kumal, karena satu-satunya pelindung badan dari deraan panas, hujan serta pandangan mata"
"Kalau rajanya bagaimana, mbah?"
"Rajanya juga sederhana. Istananya tidak besar atau mewah. Atapnya saja dari ijuk. Sama, jarang mandi. Kalau bangun tidur hanya cuci muka. Suka nginang-memakan daun sirih ditambah kapur. Kemudian menggosokkan tembakau ke gigi"
"Apa tidak bau, mbah?"
"Kalau itu jangan tanya saya", tegas mbah Wulu.